Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tentang Hidup di Atas Angin

Munir memihak Megawati pada putaran kedua Pemilihan Presiden 2004. Jadi maskot gerakan antimiliterisme.

8 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Munir untuk terang-terangan mendukung Amien Rais pada Pemilihan Presiden 2004 mengejutkan semua personel Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Mereka serentak memprotes, tapi Munir bertahan. "Dia berargumen bahwa hanya Amien Rais yang punya komitmen terhadap hak asasi," kata Daniel Hutagalung, peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Jumat dua pekan lalu.

Pada 2004, Daniel adalah koordinator riset YLBHI. Pada tahun itu Munir sudah tak aktif di YLBHI, tapi sibuk mengurus Imparsial, lembaga pegiat hak asasi yang didirikannya pada 2002. Walau sudah di Imparsial, Munir tetap sering bertemu dengan anak-anak YLBHI. Di YLBHI, Munir pernah menjabat Wakil Ketua Dewan Pengurus.

Menjelang pemilihan presiden putaran pertama, Munir tampil di iklan kampanye Amien Rais. Dia memberikan testimoni tentang Amien. Sebelum iklan itu dibuat, Munir memberi tahu Rachland Nashidik, koleganya di Imparsial. "Saya diminta nih," kata Rachland, kini politikus Partai Demokrat, menirukan Munir.

Dua lembaga itu, YLBHI dan Imparsial, sedang getol-getolnya menolak militerisme. YLBHI melalui berbagai aksi demonstrasi menolak pasangan calon presiden yang berasal dari militer. Adapun Imparsial giat mengkritik Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia dan Rancangan Undang-Undang Intelijen. Munir awalnya lebih aktif di gerakan yang terakhir ini.

Daniel Hutagalung mengatakan kelahiran gerakan antimiliterisme saat itu berangkat dari spontanitas. Awalnya mereka menolak pencalonan Wiranto. Catatan hak asasi manusia masa lalu mantan Panglima TNI ini dianggap tak menggembirakan. Belakangan, sasaran gerakan melebar ke Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga pensiunan tentara.

Menurut Daniel, sempat muncul perdebatan ketika gerakan mulai menguat. Bagaimanapun, gerakan akan menguntungkan calon presiden yang berlatar belakang sipil. "Ada yang bilang itu risiko," kata Daniel. Tak peduli dimanfaatkan pihak tertentu, gerakan antimiliterisme yang dimulai di Jakarta itu kemudian menular ke daerah-daerah.

Di Jakarta, YLBHI kerap membuka lapak diskusi antimiliterisme di markas mereka di Jalan Diponegoro. Yang datang mahasiswa hingga aktivis. Menurut Daniel, aktivis tersebut bukan hanya eksponen 1998, melainkan juga yang lebih senior: angkatan 1990-an awal. "Banyak aktivis yang mendukung Mega-Hasyim terlibat dalam gerakan itu," kata Daniel. "Tapi mereka bukan orang PDIP."

Sokongan Munir tak mendongkrak Amien Rais. Pemilihan putaran pertama pada 5 Juli 2004 hanya meloloskan Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Munir kemudian berpaling ke Megawati. Orang-orang Megawati menawari Munir jadi Jaksa Agung asalkan membantu kampanye putaran kedua.

Menurut Rachland, pada kampanye putaran kedua ini Munir direncanakan sebagai maskot gerakan antimiliterisme. Ia mengetahui hal itu dari Munir sendiri. "Munir sudah tertarik," ujar Rachland. Gara-gara Munir memihak salah satu kandidat presiden, Rachland sempat merutuk.

Panda Nababan, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang disebut aktif melobi Munir, menyatakan gagasan Munir banyak yang sejalan dengan kubunya. "Tapi jangan diartikan kami menunggangi Munir dan kawan-kawan," katanya Senin pekan lalu. "Mereka bergerak bebas atas kehendak sendiri. Sudah saya bilang, Munir itu hidup di atas angin."

Sebelum Munir terlibat politik praktis lebih jauh, istri Munir, Suciwati, menariknya dari jeram. Suciwati mengingatkan Munir untuk mengambil kuliah master di Belanda ketimbang ikut arus politik praktis. Menurut Suciwati, pada Juli itu Munir sudah dipastikan diterima kuliah di jurusan hukum kemanusiaan di Universitas Utretch. "Kami sudah berbicara apakah aku dan anak-anak akan ikut atau dia pulang Desember, lalu bawa kami semua," kata Suciwati.

Sejak itu, Munir secara resmi melepaskan diri dari gerakan antimiliterisme. Namun, kata Rachland, Munir di belakang tetap menerima ajakan diskusi dari mahasiswa atau aktivis gerakan. Tanpa Munir, gerakan menolak militerisme terus bergulir hingga pencoblosan putaran kedua pada 20 September, 13 hari setelah Munir tewas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus