Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Tengah Ragu Berharap Mukjizat

Megawati mulai rajin menghampiri publik. Penampilannya di televisi dinilai tak asyik. Bisa gugur di putaran pertama.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATIN Subyantoro terduduk lunglai. Ruang tamu Mega Center di Jalan Teuku Umar 33, Jakarta Pusat, yang berhias semarak itu mendadak gerah baginya. "Saya merasa seperti pengemis saja," ujar Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Yogyakarta itu, Rabu pekan lalu.

Karena berharap sang Ketua Umum masih tetap duduk di kursi kepresidenan, Katin dan kawan-kawan menggalang massa akar rumput PDI Perjuangan di Yogyakarta, 1,2 juta orang jumlahnya. Massa yang tergabung dalam Mega Force ini akan dikerahkan menggerakkan masyarakat untuk memilih Mega dan mengawasi pemilu. Ia lalu ke Jakarta mencari dana. "Menggerakkan massa kan perlu biaya, jer basuki mawa bea," ujarnya.

Singkat kata, mereka butuh Rp 3,6 miliar. Setiap kader akan diberi Rp 3.000. Tapi rupanya Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, menganggap Rp 10 juta sudah cukup. Lunglailah Katin. Ia merasa strategi yang diusungnya untuk memenangkan Mega dianggap sepele. Padahal, menurut dia, langkah ini lebih efektif daripada penampilan Mega di televisi dan pasar selama musim kampanye. "Buat apa siaran di televisi atau ke pasar tapi penampilannya begitu," ujarnya.

Sejak 1 Juni lalu, para kandidat presiden memang mulai rajin menghampiri masyarakat. Hari itu, lapangan Tugu Monas di Jakarta menjadi saksi awal gelar kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden. Sebuah prasasti "Siap Menang, Siap Kalah" ditandatangani kelima pasangan kontestan, sesuai dengan urutan nomor peserta pemilu.

Tapi, pada penampilan resmi pertama dalam kampanye, Mega telah memasang jurus angker. Hadir di lapangan Silang Monas, dengan wajah ditekuk beliau menyalami dua kandidat presiden, Amien Rais dan Wiranto. Empat sejawatnya bahkan tak dilirik: Hamzah Haz, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, dan Agum Gumelar. Di layar kaca, pemandangan itu jadi tak asyik.

Usai teken-meneken prasasti, Mega meluncur ke Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta. Dari sana ia menuju Pasar Jatinegara. Di sini terjadi adegan unik. Ketika Mega tergoda membeli sekilo kacang mete, penjual menyebutkan harga Rp 40 ribu. Mega menawar Rp 20 ribu seraya langsung mengulurkan uangnya. Sang pedagang cuma bisa bengong menyaksikan kacang metenya dicangking Ibu Presiden.

Belum lagi ketika Mega diwawancarai SCTV. "Jawaban-jawabannya kurang menarik," kata bekas Wakil Ketua Balai Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan, Sukowaluyo Mintorahardjo. Akibat wawancara itu, tim sukses Mega kelimpungan. Sebagian besar merasa pusing karena jagoan mereka tak tampil prima dan meyakinkan.

Padahal beberapa pengurus teras PDI Perjuangan sudah mengusulkan berbagai langkah menyukseskan kampanye. Mantan Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR, pengusaha Arifin Panigoro, misalnya, mengusulkan berbagai langkah strategis kenegaraan yang dapat membentuk program pengendalian kebijakan, seperti penundaan kenaikan harga beberapa komoditas, gaji ke-13, dan sebagainya.

Mereka juga berharap Mega memperbaiki performance dan empatinya. Tapi, apa hendak dikata, "Sudah gawan (bawaan), jadi susah diubah," kata seorang anggota tim sukses. Masalah bertambah ketika tim sukses Mega tampak kurang tertata dan serba lamban mengantisipasi masalah. Apalagi salah satu anggota Mega Center dituding menggalang black propaganda dengan memanfaatkan aktivis anti-militerisme.

Setelah pemilu legislatif, Mega memerintahkan pembentukan Mega Center. Lembaga ini dipimpin Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, untuk mem-back-up Mega selaku calon presiden. Kegagalan PDI Perjuangan meraih target perolehan suara 42 persen dalam pemilu legislatif menjadi pemicu munculnya lembaga ini.

Selain Laksamana, lembaga ini juga melibatkan Sekjen PDIP Sutjipto dan Wakil Sekjen Pramono Anung Wibowo. Bekas Wakil Sekjen DPP Golkar, Daryatmo Mardiyanto, dan Ketua Fraksi PDIP MPR, Tjahjo Kumolo, serta peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hermawan Sulistyo, juga bergabung.

Selain Mega Center, dibentuk pula lembaga Mega for President, diketuai Sutjipto. Masih ada satu lembaga lagi yang diketuai Sutjipto, yakni tim kampanye Mega-Hasyim, wadah gabungan tim sukses Mega dan tim sukses Hasyim Muzadi. Tim inilah yang menggelar aksi ke bawah dan penggalangan bersama dengan unsur nahdliyin.

Pada pemilu eksekutif nanti, tim Mega-Hasyim menargetkan perolehan suara 19 juta dari PDIP, suara pecahan warga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekitar 6 juta, pemilih Partai Damai Sejahtera (PDS) sekitar 1,5 juta, dan swing voters. Karena itu, sejumlah isu?misalnya pluralisme dan perlindungan kelompok minoritas?digarap untuk menggandeng kelompok Tionghoa, Kristen, Hindu, Buddha.

Bagi kalangan Nahdlatul Ulama (NU), kampanye disasarkan mengangkat harkat masyarakat miskin dan terbelakang di NU serta pemberdayaan ekonomi pesantren. Untuk kalangan mahasiswa, isu supremasi sipil menjadi andalan. Tim sukses Mega-Hasyim pun berupaya menjelaskan ke publik bahwa pemerintah Mega bukannya tidak berprestasi. "Selama ini kurang sosialisasi tentang keberhasilan itu," kata Sutjipto.

Dukungan kubu Hasyim lumayan solid. Dalam tim sukses Mega-Hasyim, Khatib Syuriah NU, Said Agil Siradj, kebagian menggarap warga NU di Banten. Jawa Timur ditangani Kiai Mutawakkil Alallah. Namun, Agil juga diminta membantu Kiai Mutawakkil karena Jawa Timur merupakan medan pertarungan berat untuk menarik suara warga nahdliyin.

Agil dan beberapa tokoh Pengurus Besar (PB) NU kebagian menjelaskan kepada warga NU dan pesantren tentang fikih presiden perempuan. Ia mengakui, ihwal ini lumayan berat. Apalagi belakangan muncul fatwa pengharaman pemimpin wanita. "Mengapa waktu Gus Dur menggandeng Marwah tak ada yang mempersoalkan?" Agil bertanya, rada gusar.

Kendala lain adalah rivalitas Hasyim dengan Salahuddin Wahid. Muruah "darah biru", yang tak kalah penting di kalangan NU, bagaimanapun menguntungkan Salahuddin. Tapi Hasyim juga tak bisa diremehkan. "Pak Hasyim lebih banyak berjuang untuk NU dari bawah," kata Ali Maschan Moesa, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) NU Jawa Timur. "Kalau Gus Solah, kan, baru saja."

Karena lobi bagus, sejumlah kiai kini mendukung Mega-Hasyim. Malah, Selasa pekan silam, ratusan kiai bertemu di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, untuk menyatakan dukungan. Dalam acara Silaturahmi Alim Ulama Se-Eks Keresidenan Kediri itu, pengasuh Lirboyo, K.H. Idris Marzuki, meminta warga NU mendukung Mega-Hasyim. Bahkan K.H. Zainuddin Djazuli menegaskan, santri yang tak mendukung Hasyim adalah murtad. Jelas ini merupakan "balasan" atas seruan kelompok kiai khos NU yang melarang warga NU memilih pemimpin wanita, tentu maksudnya menjegal Mega-Hasyim.

Meski dalam pemilu legislatif lalu PDI Perjuangan Jawa Tengah hanya beroleh 5,2 juta dari total 22 juta suara, pada pemilu presiden nanti tim kampanye Mega-Hasyim (TKMH) di provinsi itu menargetkan perolehan suara 60 persen dari total pemilih. "Kami menargetkan 12 juta suara," kata Agustina Wilujeng, Sekretaris TKMH Jawa Tengah, kepada Sohirin dari TEMPO.

Wilujeng optimistis target terpenuhi karena tim Mega-Hasyim meliputi empat unsur: PDI Perjuangan, NU, PDS (dan kalangan Kristen), serta "kalangan nasionalis lain". Diperkirakan, warga NU akan menyumbang 4 juta suara, PDS dan kalangan Kristen 1 juta, serta simpatisan PDI Perjuangan yang belum terdaftar pada pemilu legislatif.

Massa pendukung anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga masuk hitungan. Menurut Wilujeng, anggota DPD Jawa Tengah, Nafisah, akan mengerahkan 1,8 juta pendukungnya dalam pemilu legislatif lalu untuk memilih pasangan Mega-Hasyim. Begitu pula K.H. Chalwani, yang didukung 800 ribu suara. Dari warga NU yang mendukung calon anggota DPD Jawa Tengah yang lain, tim sukses Mega-Hasyim menargetkan 1,2 juta suara.

Tapi, justru kubu nasionalis yang melayang. Di Jawa Tengah, lobi tim PDI Perjuangan disalip tim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sehingga sebagian jaringan nasionalis ikut tim sukses SBY. Sebagian "ikut" mantan Rektor Universitas Diponegoro, Prof. Muladi, untuk mendukung pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid. Ada pula yang memihak tim Amien Rais-Siswono Yudho Husodo.

Untunglah, di Jawa Timur, tim sukses Mega-Hasyim bergerak cepat. Sebelum kampanye, mereka sudah menggalang dukungan dari berbagai daerah, terutama tim sukses dari kubu NU. Mereka lebih agresif menggalang arus bawah dan kiai pengasuh pondok pesantren yang lebih dekat dengan massa. "Kami sedang menguatkan tim di tingkat kecamatan dan desa," kata Wakil Ketua Tim Sukses Mega-Hasyim Jawa Timur, H.M. Sholeh Hayat, kepada Adi Mawardi dari TEMPO.

Menurut Wakil Sekretaris PDI Perjuangan Jawa Timur, Ali Mudji, mereka telah merangkul kembali warga partai nasionalis untuk mendukung Mega. Misalnya para kader daerah Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. "Meski di pusat mendukung Amien-Siswono, di Ja-Tim justru mendukung Mega-Hasyim," katanya kepada Kukuh S. Wibowo dari TEMPO.

Tapi, menurut Sukowaluyo, agenda kampanye Mega-Hasyim terlalu condong pada kunjungan ke pesantren. Selain istigasah dan kunjungan, nyaris tak ada aksi kampanye ke kelompok masyarakat lain yang berpotensi menyokong Mega-Hasyim. Misalnya bertemu masyarakat bekas tahanan politik atau eks anggota Partai Komunis Indonesia, yang jumlah suaranya hampir 20 juta.

Padahal Mega tak perlu repot menyusun konsep bertemu mereka. Cukup bicara rehabilitasi dan rekonsiliasi. "Apalagi yang mereka perjuangkan salah satunya adalah rehabilitasi nama baik Sukarno, ayah Megawati sendiri," ujarnya. Masyarakat keturunan dan warga Kristiani, Hindu, dan Buddha juga dinilainya kurang diperhatikan.

Selama ini Mega hanya mengutus orang untuk mendekati mereka, bukan turun sendiri. Padahal, Suko memperkirakan, suara mereka sekitar 16 juta-20 juta. Pendekatan kelompok ini pun mudah dilakukan melalui pertemuan tokoh agama. "Untuk warga keturunan, Mega bisa bicara soal surat bukti kewarganegaraan yang diskriminatif itu," ujarnya.

Seorang anggota tim sukses Mega-Hasyim di Jawa Timur juga menceritakan, problem utama mereka adalah tiadanya pengalaman mengelola proyek seperti ini. Penggarapan kadang tak sistematis. Pola pikir anggota tim pun masih seperti cara 1999. "Kurang kreatif dan seret duit," katanya.

Di Solo, Jawa Tengah, pendukung Mega malah nyaris kehilangan greget. Jangankan pengerahan massa, menggenapi kursi undangan saja sulit, termasuk deklarasi tim kampanye Mega-Hasyim. Menurut James Pattiwael, Ketua TKMH Solo, mereka baru punya Rp 90 juta, padahal diperkirakan butuh paling sedikit Rp 1,25 miliar. "Kalau tidak ada dana, bagaimana bisa bergerak?" tuturnya kepada Imron Rosyid dari TEMPO.

Meski demikian, Ketua TKMH Yogyakarta, Djuwarto, tetap optimistis duet jagoannya meraup dukungan maksimal. Sebab, selain punya pendukung fanatik yang tak terlalu mempermasalahkan duit, warga pedesaan tidak terpengaruh oleh tayangan televisi "Kalau tidak optimistis, artinya kalah sebelum bertanding," ujarnya.

Menurut sebuah sumber di PDI Perjuangan, dana dari pusat memang "diincrit-incrit". Ini diakui koordinator tim sukses Mega-Hasyim Sumatera Selatan, Nazaruddin Kiemas. "Gimana mau turun. Dananya tidak ada, kok," ujarnya kepada Arif Ardiansyah dari TEMPO. Konon dana difokuskan pada pemilihan putaran kedua, karena mereka hakulyakin lolos putaran pertama.

Akan halnya Sutjipto, ia yakin pendukung Mega di tingkat bawah tak akan terseret calon lain, kecuali terjadi "serangan fajar" seperti pada pemilu legislatif lalu. Menurut dia, grass root tetap mendukung Mega. "Pada pemilu lalu, mereka banyak mutung karena kecewa pada kualitas anggota parlemen dari PDI Perjuangan," ujarnya. Ia yakin kini banyak warga PDI Perjuangan balik kandang.

Kembali ke duit, Suko mengaku mendengar kas tim sukses Mega tinggal US$ 20 juta. Ia juga tak sepakat dengan asumsi bahwa Mega-Hasyim pasti lolos putaran pertama. Sebab, jika tidak melakukan penggalangan serius, bisa-bisa suara pendukung Mega bakal melayang. Mesin partai, menurut dia, sebetulnya sudah lumpuh. "Dari mana mereka menghitungnya?" ujarnya.

Apalagi, menurut hasil polling International Foundation for Election System (IFES) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI)), posisi Mega kini dalam bahaya. Ia berada di posisi kedua dan terancam disalip Wiranto. Setelah menilik hasil jajak pendapat, tim sukses Mega seyogianya memperbaiki performance-nya dalam tiga pekan ini. "Jika tidak, Mega bisa gugur di putaran pertama," kata peneliti LSI, Saiful Mujani. Suko malah hanya bisa berdoa. "Di tengah ketidak-optimisan saya, saya berharap adanya miracle, mukjizat," ujarnya, rada pilu.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, Jobpie Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus