Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketika Maling, Pengutil Menjadi Badut

Tayangan kriminal yang sepi dari pertumpahan darah dan adegan sadistis lainnya. Ada yang sukses, ada yang gagal menghadirkan kelucuan.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada komedi yang berujung tragedi. Ada juga tragedi yang sekonyong-konyong menjadi komedi.

Seorang siswi SMU baru saja turun dari angkutan kota. Kakinya belum menginjak aspal saat pencopet berusaha merebut telepon seluler dari tangannya. Teman si siswi, yang kebetulan membawa kamera, tak membuang kesempatan. Wajah pencopet yang berhasil menggondol telepon dijepret berkali-kali. Sang pencopet lari, tenggelam di tengah keramaian. Tapi, tak lama kemudian ia kembali dengan telepon hasil curiannya. "Saya takut foto wajah saya disebarkan ke koran," ujarnya sambil menyerahkan hasil curiannya.

Pemilik telepon yang siap menangis itu kini terkejut. Air matanya memang tumpah, tapi bukan karena sedih, melainkan geli karena kamera temannya belum diisi film. Peristiwa dalam program Tangkap di stasiun Trans TV akhir bulan lalu itu bermula dari kejadian nyata di Jalan Pajajaran, Bandung. Rumah produksi Integrated Broadcast Solution (IBS), Jakarta, menangkap, merekonstruksi, dan menyajikannya untuk pemirsa. Dari rekonstruksi itu, mengalirlah sebuah tayangan kriminal yang hangat, menggelikan, manusiawi, dan steril dari adegan berdarah-darah, mencekam, sadistis.

Tayangan setiap Senin dan Kamis sore sejak 5 September 2003 ini melengkapi sekompi acara serupa di stasiun televisi kita. Tangkap tampil beda bukan semata karena sepi dari muncratan darah, tapi juga lantaran pilihan peristiwa. Di sinilah kisah maling jemuran, pencongkel spion mobil, pengutil tahu di warung tegal, sampai pencuri sandal jepit disajikan. "Kita memang menghindari kejadian berat seperti pembunuhan," kata Darmawan Haryanto, Scriptwriter & Creative Head IBS. Meski begitu, tak semua kejadian bisa ditayangkan, karena harus memenuhi syarat ringan dan berpotensi mengundang senyum.

Pilihan tema itu merupakan strategi di tengah maraknya tayangan kriminal, seperti Buser (SCTV), Patroli (Indosiar), TKP (TV7), Sidik (TPI), Lampu Merah (Lativi), Fakta (ANTV), dan Sergap (RCTI). "Kalau membuat seperti yang ada, risiko pasarnya juga besar," tuturnya. Acara yang dipandu Joe P. Project itu membidik celah yang tak dilirik para pendahulunya. Tak mudah mengawalinya, karena kejadian berbau kriminal identik dengan kekerasan. Seorang awak IBS dikirim ke kantor polisi untuk menyisir kejadian yang memenuhi syarat. Awak yang lain berbagi pengalaman menarik dan mereka-ulang pengalaman itu sebagai menu awal Tangkap.

Untuk menjamin pasokan cerita, IBS mengandalkan partisipasi masyarakat lewat kotak pos, surat elektronik, dan faksimile. Cerita yang memenuhi syarat segera direka ulang. Untuk memastikan kebenaran cerita, pengirim atau saksi peristiwa diminta memberi kesaksian yang ditayangkan pada saat bersamaan. Jika mereka di luar jangkauan, seperti di Papua, kesaksian cukup didengar lewat saluran telepon. Cara ini rupanya cukup ampuh karena setiap hari mengalir tak kurang dari 200 kisah nyata. Metode inilah yang membedakan Tangkap dengan Jek Lamer, tayangan serupa setiap pukul 12.30 WIB di TPI sejak 5 April 2004.

Hanya, keduanya punya perbedaan. Jek Lamer, hasil kerja sama rumah produksi Quatro dan harian Lampu Merah, tak menabukan peristiwa tragis seperti pada episode 28 Mei lalu. Kisahnya tentang perempuan baru menikah yang pusing karena tak bisa melupakan bekas pacar. Agar sakitnya hilang, ia nekat menenggak obat pusing 24 biji sekaligus. Ia tewas, tapi narator cerita memaksakan warna humor dengan kalimat "Maunya menghilangkan pusing, eh, malah nyawanya yang hilang". "Tugas narator memang membangun kelucuan lewat gayanya," kata Andi Yuwono, penanggung jawab produksi Quatro. Kalimat yang digunakan dalam narasi tak ubahnya gaya bahasa harian Lampu Merah.

Kelucuan Jek Lamer?diangkat dari berita kriminal Lampu Merah?memenuhi syarat lucu. Akhirnya program tentang peristiwa tragis ini berakhir tragis juga. Baru dua bulan mengudara di TPI, harus dihentikan sejak 28 Mei lalu karena peringkatnya dalam rating tak beranjak dari angka 1. "Setelah melihat hasil 25 episode, untuk sementara kita stop dulu," kata Wijang Bayu Waskito, produser TPI. Perolehan peringkatnya memang tak sebagus Tangkap, yang pernah menyentuh 5,9 pada Desember lalu. Kini peringkatnya bertahan pada 3. Bisa jadi ini karena harus berhadapan dengan program Diary AFI di Indosiar dan Indonesian Idol di RCTI pada jam tayang yang sama.

Arif Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus