Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dia Bergerak dengan Hati

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melanie Subono,
Penyanyi dan Aktivis Lingkungan

JAKARTA, Juli 2003. Seperti biasa, gue ada di antara satu kota dan kota lain untuk tur promo album gue, dan kali itu jadwalnya di Bali. Otak gue langsung berpikir untuk mengunjungi satu tempat di Gang Poppies 2. Namanya sering gue dengar; katanya milik musikus band lokal Bali, yang di industri musik Indonesia sering tak dianggap. Entah apa nama band itu. Saat itu gue tak tahu, dan tak mau tahu. Di luar Bali, sedikit yang tahu atau suka band itu. Bahkan, di Bali, band itu mengundang pro dan kontra.

Agustus 2003. Tibalah jadwal gue ke Bali. Sepenuh niat gue jalankan untuk mengunjungi tempat ini. Katanya, scene local music di sana sering berkumpul di Twice Bar. Anehnya, di saat tempat lain suka memilah musikus yang akan tampil, gue diterima dengan ramah, tanpa musik gue harus didengar lebih dulu.

There I am, Twice Bar. Gue manggung, nyanyi, bermusik, dan diterima dengan seru. Semua berjalan baik. Setelah itu, gue melihat kehadiran seseorang yang "songong", dari cara mendongak, melihat, sampai berjalan.

Ia ramah. Gue merasa dia terlalu percaya diri. Gue pun berkenalan. Ia bernama I Gede Ari Astina alias Jerinx. Itulah awal perkenalan gue dengan drumer band yang dianggap sombong dan trashy, Superman Is Dead.

Gue masih tak mengerti apa yang orang anggap sombong. Mengapa dia dan band-nya dianggap eksklusif. Padahal yang mereka lakukan dan nyanyikan adalah tentang kecintaan mereka pada tanah mereka sendiri: Kuta Rock City dan lagu lainnya.

Sampai September 2003. Datanglah tawaran yang mungkin sekarang akan diambil oleh semua musikus—tapi dulu belum tentu banyak orang mau menyambut baik—yaitu tawaran bernyanyi di album mereka.

Gue sambut baik tawaran ini sejak menit pertama, atas dasar hormat gue kepada tiga musikus. Mereka mengusung prinsip yang sama dengan gue, cinta tanah sendiri. Untuk gue, itu cukup. Dari situlah hubungan gue dengan mereka bermula. Termasuk dengan dia yang kata orang kontroversial, JRX.

Tahun 2014. Sudah lama gue tidak meneteskan air mata saat mendengar lagu Indonesia, sampai gue mendengar lagu Sunset di Tanah Anarki dan Jadilah Legenda. Di saat bersamaan, gue melihat berita dan kemudian diajak dalam gerakan #TolakReklamasiTelukBenoa. JRX sangat vokal.

Hari ini sebagian orang menganggap dia sombong atau angkuh. Terlalu vokal. Terlalu Bali. Mendadak vokal, membela Bali. Know what? Gue mengatakan anggapan itu salah. Andai orang mengenal dia bukan di luarnya saja, orang akan tahu bahwa yang dia lakukan itu berasal dari hati. Sebab, ia mencintai tanah air yang dia injak, yang memberi dia makan.

Saat orang berpikir dia kosong karena enggan berbicara dengan media, mulailah berpikir bahwa dia sebenarnya cerdas dan berpikir jauh. Itu mungkin yang membuat dia berani. Bahkan ia pasang badan dan mempertaruhkan karier musiknya. Ia berdiri lantang di depan untuk membela apa yang dia cintai.

Saat orang mudah termakan janji mafia rakus berdasi, dia berpikir jauh ke depan. Setiap kali gue bertanya, dia menjelaskan apa efek yang akan timbul kelak. Pengalaman gue mengajarkan, itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang bergerak dengan hati.

Menit ini, gue mengetik sambil mendengarkan dua lagu yang membuat gue menangis. Imajinasi gue lari ke seorang sahabat. Dalam bayangan gue, dia mengenakan kain khas Bali, diam, tenang, marah, dan tegak.

Menit ini juga, gue bisa bilang bahwa besok, atau sepuluh tahun dari sekarang, atau seratus tahun lagi, Bali akan berterima kasih pernah punya orang ini. Kelak, saat orang berubah haluan, apakah dia masih musikus terkenal atau kembali ke titik awal, dia punya satu atau sejuta teman, seorang Ari Astina tak akan berubah. Dia tahu di mana dia berpihak dan berpijak. Di hati, dan di tanah Bali. Dan hormat gue untuk JRX.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus