Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bangun Bali subsidi petani,
kita semua makan nasi,
bukannya butuh reklamasi.
Keputusan bau konspirasi,
penguasa pengusaha bagi komisi,
konservasi dikhianati.
SEKETIKA Gunawarma alias Kupit menggenjreng gitar klasik yang dari tadi hanya ditentengnya. Sayup-sayup gitaris Nosstress, band folk song asal Bali, itu mulai melantunkan bait lagu yang belum lama digubahnya. Aktivis Roberto Hutabarat yang berdiri di samping ikut berdendang, mengambil suara dua.
Sore itu, medio Agustus dua tahun lalu, tepat dua hari menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia ke-68. Bersama Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali), Kupit dan Roberto baru saja menggelar rapat dengar pendapat di ruang rapat gabungan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali.
Berdiri di antara mereka, I Gede Ari Astina alias Jerinx, penggebuk drum Superman Is Dead (SID), grup musik punk rock yang juga dari Bali. Lagu Kupit dan Roberto terdengar asing di telinganya. Nadanya sederhana. Tapi judul dan liriknya dengan tepat menerjemahkan perjuangan mereka: Bali Tolak Reklamasi. "Cepat kita rekam," kata Jerinx.
Kala itu ForBali sempat mendapat angin segar. Mereka mendengar Gubernur Bali I Made Mangku Pastika telah mencabut surat keputusan yang memberikan izin dan hak pemanfaatan Teluk Benoa kepada calon investor PT Tirta Wahana Bali Internasional. Namun Jerinx dan kawan-kawan merasa aksi menolak rencana reklamasi harus tetap didengungkan.
Gubernur memang mencabut surat yang ditolak ForBali, tapi bukan berarti membatalkan proyek. Gubernur justru menerbitkan beleid baru yang memberikan izin studi kelayakan untuk rencana pemanfaatan dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa. "Banyak yang berpikir bahwa reklamasi batal, padahal upaya ke arah itu masih ada," ujar Jerinx.
Tak perlu waktu lama, Divisi Popular ForBali bergerak cepat menggarap ide merekam lagu gubahan Kupit. I Gede Ardi Suryana alias Dodik, Manajer SID, segera menyiapkan jadwal rekaman. Adapun Jerinx kebagian tugas menghubungi para musikus lain yang bersedia bersama-sama menyanyikan lagu terÂsebut.
Jadilah rekaman digelar sepekan kemudian di Electrohell, studio musik milik I Made Putra Budi Sartika, yang biasa dipanggil Bobby, vokalis SID. Di studio ini pula SID melahirkan album hit mereka, seperti Hangover Decade, Black Market Love, Angel and the Outsiders, dan Sunset di Tanah Anarki.
Selama rekaman, Kupit, Angga "Nosstress", dan musikus blues Made Maut berbagi memainkan gitar. Made "Navicula" membetot senar bas. Cok "Nosstress" menggetok perkusi sambil meniup harmonika. Adapun Jerinx, dengan gaya khasnya yang kerap mengenakan aneka model topi, berdiri di dekat personel SID lain yang lamat-lamat ikut bersenandung bersama personel The Bullhead, Nymphea, serta GoldVoice. Hadi Kusuma, anggota tim dokumentasi ForBali, merekam seluruh aksi mereka lewat kamera video.
Cukup dua jam, dengan tiga kali pengambilan musik dan suara, rekaman pun kelar. Proses editing, musik dan video, rampung malam itu juga. Divisi Popular ForBali menggandakan lagu berikut video selama rekaman ke dalam 30 keping cakram digital untuk disebarkan awak media keesokan harinya.
Rekaman dengan format mp3 juga diunggah di situs forbali.org agar bisa diunduh gratis oleh publik. Adapun video selama rekaman, dikombinasikan dengan gambar aksi menolak reklamasi, diunggah ke YouTube. "Agar semangat tidak padam, kami mencoba mempopulerkan gerakan ini lewat lagu. Jadi lebih mudah masuk ke masyarakat," kata Jerinx.
Misi tersebut bisa dibilang sukses. Lewat situs resmi forbali.org, lagu tersebut diunduh puluhan ribu kali. Sedangkan di YouTube, lagu Bali Tolak Reklamasi telah ditonton ratusan ribu pemirsa. Dalam waktu sekejap, lagu itu mengabarkan gerakan masyarakat sipil di Pulau Dewata melawan pemerintah dan pengusaha yang hendak mengubah wajah tanah mereka.
Kupit tak menyangka lagu sederhananya menjadi begitu penting bagi perjuangan melawan rencana reklamasi. Dia ingat betapa cepat lagu tersebut dibuatnya bersama beberapa rekan ForBali di pinggir lapangan Renon, Denpasar. Sore itu, sekitar sebulan sebelum rekaman, dia asal genjreng ketika menunggu penggalangan tanda tangan warga sebagai bentuk dukungan aksi menolak reklamaÂsi. "Selama ini setiap aksi hanya menyanyi tolak-tolak, kadang mengubah lirik lagu Balonku," kata Kupit.
Sambil menggenjreng gitar bersama rekan-rekannya, Kupit teringat status yang pernah diunggah koleganya pendiri Yayasan Mitra Bali Fair Trade, Agung Alit, di laman Facebook. Status itu lebih mirip puisi, berisi penolakan terhadap rencana reklamasi. Segera dia membuka akun Facebook Agung Alit lewat telepon pintarnya. "Itu saja yang dibuat lagu, biar cepat, langsung saya bikin aransemennya," kata Kupit. Jreng..., jreng…, jreng.... Dua-tiga kali mencari kord gitar, barisan nada pun terbentuk. Beberapa kata dalam status Agung Alit diubah agar seirama.
Kini lagu itu berkumandang dalam setiap aksi ForBali. Mereka bersumpah tak akan menghentikan perlawanan hingga reklamasi dibatalkan. Seperti Jumat dua pekan lalu, ratusan pendukung perjuangan ForBali menyanyikannya ketika mereka memenuhi jalanan, berunjuk rasa memutari Lapangan Puputan Margarana, Denpasar. Di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hingga Kantor Gubernur Bali, lirik Bali Tolak Reklamasi terus membahana.
Bangun Bali, tolak reklamasi.
Sayang Bali, tolak reklamasi.
Bangun Bali, tolak dibohongi,
rusak bumi dan anak negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo