Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuhnya atletis penuh tato. Namun I Gede Ari Astina bukan orang yang menyeramkan. Jerinx—demikian dia biasa dipanggil—adalah orang yang hangat. Kepada Tempo, dia berbicara tentang gerakan menolak reklamasi Teluk Benoa, di sebuah kafe di Jalan Teuku Umar, Denpasar, 28 November lalu.
Mengapa Anda bergabung dengan gerakan menolak reklamasi Teluk Benoa?
Saya dekat dengan Gendo (Wayan Gendo Suardana). Dia Koordinator ForBali, aliansi masyarakat sipil yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Saya sering terlibat demonstrasi bersama Gendo. Dia aktivis tulen sejak zaman kuliah pada 1990-an. Ketika saya aktif di Superman Is Dead (SID), hubungan saya dengan para aktivis justru menguat. Saya belajar memasukkan idealisme ke musik SID. Saya masuk ForBali karena panggilan hati.
Anda punya ikatan emosional dengan Teluk Benoa?
Saya lahir dan besar di kawasan Kuta, tak jauh dari Benoa. Saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri bagaimana Bali selatan, yang dulu asri, berbudaya, dan nyaman untuk hidup, kini menjadi kawasan sangat materialistis.
Bagaimana kisah Anda masuk gerakan ForBali?
Awalnya, dua setengah tahun lalu, saya ikut pertemuan kecil yang diprakarsai Gendo. Kami bicara, apakah berani melawan proyek itu. Kami semua tahu siapa orang di belakangnya. Orang yang sangat kuat. Ini taruhannya nyawa. Kami bertekad, kami lawan. Dua setengah tahun lalu, orang yang berdemo hanya itu-itu saja. Paling 20-25 orang.
Sebagian masyarakat Bali tak setuju dengan ForBali. Bagaimana Anda merespons itu?
Banyak yang mencibir. Mereka bilang kami cuma cari sensasi. Tapi kami tetap berdemo dan membuat acara musik. Kami diintimidasi oleh ormas yang banyak anggotanya berbadan kekar. Mereka menggunakan kekuasaan. Kami tidak takut. Semakin lama semakin banyak yang bergabung. Demonstrasi diikuti 4.000-an orang. Kami bikin konser musik tolak reklamasi pada November lalu di Pantai Padang Galak dari siang hingga malam. Yang datang 50 ribu orang.
Bagaimana bentuk ancaman yang Anda terima?
Mereka mencari-cari saya di tempat nongkrong. Mereka bertanya alamat rumah saya. Kejadiannya berulang. Ada juga yang menyaru beli merchandise SID. Panitia yang mengundang SID juga kerap diteror.
Menurut Anda, rencana reklamasi akan berdampak buruk buat Bali?
Saya melihatnya simpel. Reklamasi Teluk Benoa tak lebih dari proyek bisnis properti. Mereka melakukan politik tanah murah. Sebab, harga tanah di Bali mahal. Sampai orang Bali pun tidak akan mampu beli. Harga tanah di Kuta, Seminyak, Canggu, Nusa Dua, Jimbaran, dan sekitarnya adalah harga internasional, sangat mahal.
Bukankah itu akan mendongkrak ekonomi Bali?
Mereka selalu bilang demi pariwisata dan ekonomi Bali. Kalau memang benar itu, kenapa tidak dibuat di Bali utara dan Bali barat, yang masih miskin? Semua punya potensi yang sama dengan Bali selatan. Kenapa investor ngotot, ya, karena politik tanah murah. Ini bisnis properti yang dibungkus dalih menyelamatkan Teluk Benoa.
Apa peran khusus Anda dalam gerakan ForBali ini?
Saya tergabung di divisi media sosial. Tugas saya mendengungkan isu ini agar anak muda Bali khususnya tidak lupa. Ini perjuangan yang tidak pendek. Dari awal sebelum Jokowi (Presiden Joko Widodo) terpilih hingga setelah Jokowi terpilih. Kami mengemas bagaimana agar anak muda tidak bosan dengan gerakan ini.
Bagaimana Anda berkoordinasi dengan personel SID lain, sedangkan Anda juga sibuk di ForBali?
Setiap hari saya berkoordinasi lewat grup chat di WhatsApp. Kalau ada yang sangat penting, ya, rapat.
Anda mengajak dua personel SID lainnya, Eka dan Bobby, masuk ForBali?
Mereka tidak ikut, tapi secara moral mendukung. Kami bertiga di SID menolak reklamasi sampai ini benar-benar batal. Mereka juga sadar, ini harus dilawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo