Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepucuk surat yang datang ke Sleman, Yogyakarta, awal November lalu, membuat jantung Muhammad Sigit Nurcahyo alias Digie Sigit berdegup lebih keras. Surat dikirim dari Lans, Austria, oleh perupa Hans-Dieter Manhartsberger. Di pojok kanan atas amplopnya menempel empat prangko bergambar wajah perempuan penari Bali. "Itu gambar dari mural Bali Tolak Reklamasi karya saya," ujarnya dengan wajah sumringah.
Sigit adalah salah satu seniman jalanan Yogyakarta. Pria 37 tahun itu aktif mendukung gerakan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali), gerakan yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa di Bali melalui karya-karyanya. Karya mural Sigit banyak dijumpai di ruang publik Kota Gudeg. Dengan teknik stensil, ia menjiplakkan sketsa pada obyek.
Ia membuat mural berjudul Bali Tolak Reklamasi dengan gambar utama wajah perempuan penari Bali, gambar yang ia contoh dari selembar foto perempuan berpakaian penari Bali yang dibuat pada 1940-an. Foto itu tersimpan di arsip Lembaga Kerajaan Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Belanda, KITLV. "Eksotis," katanya tentang penari di foto itu.
Eksotisme alam dan kekayaan tradisi Bali itu, kata Sigit, yang membuat orang berbondong-bondong ke sana sejak puluhan tahun lalu. Kini Pulau Dewata menjadi tujuan pariwisata termasyhur di Indonesia. Namun Sigit tidak ingin ada pembangunan atas nama pariwisata yang justru merusak alam di Bali. Lewat mural itu, ia mengingatkan publik pada kearifan budaya dan tradisi Bali. "Jangan menjadikan Bali obyek pariwisata semata," katanya.
Dalam rangka "project seni jalanan masuk desa", Sigit memajang muralnya di rumah-rumah warga Geneng, Bantul, saat Geneng Street Art 2014. Juga di Ledok, Tukangan, sebuah kampung padat penduduk di Kota Yogyakarta. Di sana Bali Tolak Reklamasi menjadi penghias permukaan boks penutup hydrant, jaringan pipa air darurat pemadam kebakaran.
Pada Agustus lalu, Sigit membawa Bali Tolak Reklamasi menjelajahi Eropa. Ceritanya, pada pertengahan bulan, ia mendapat undangan menjadi seniman tamu untuk Tirolesia #2 di Austria. Di negara itu, ia mengunjungi sejumlah kota, dari Wina hingga Lans, sambil mengkampanyekan gerakan perlawanan menolak reklamasi Teluk Benoa. Di Lans, ia mendapat kesempatan membuat karya kolaborasi dengan seniman setempat, Hans-Dieter Manhartsberger, seniman yang dikenal dengan karya bermedia bahan daur ulang.
Saat berkolaborasi dengan Sigit, Hans memanfaatkan papan sirkuit cetak (printed circuit board, PCB) bekas. Potongan-potongan PCB ditempel pada papan kayu berukuran sekitar satu meter persegi. Di atas media itulah Sigit membuat mural. "Saya merespons dengan gambar Bali Tolak Reklamasi," katanya. Sekitar dua bulan kemudian, surat dari Hans mengabarkan bahwa karya kolaborasi menolak reklamasi mereka menjadi prangko di Austria.
Sigit bukan orang Bali dan tak ada yang memintanya bergabung dalam gerakan itu. Ia mengetahui kabar pemerintah berencana mereklamasi Teluk Benoa dan munculnya ForBali yang menolak reklamasi itu juga dari media. Namun ia yakin reklamasi justru akan merusak ekosistem laut dan pantai sekitar teluk, dan Bali adalah panggung kampanye pelestarian lingkungan hidup. "Orang di Austria sangat menghargai (Bali dan Teluk Benoa), itu buktinya," katanya.
Di Sleman, perlawanan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa juga disuarakan oleh Alit Ambara, perupa yang berkarya lewat poster. Dokumentasi posternya, yang sebagian besar bermuatan kritik sosial dan politik, ia pajang di situs posteraksi.org dan nobodycorp.org.
Alit terlibat gerakan kampanye menolak reklamasi sejak tahun lalu. "Sejak awal forum dibentuk," katanya. Gagasan itu muncul saat seorang kawan, bernama Agung Alit—kini salah satu koordinator ForBali—mengajaknya bergabung dalam gerakan penolakan reklamasi. Sebagai seniman yang selama ini berkarya lewat poster, Alit mendukung gerakan ini dengan cara mendesain poster. "Itu yang saya berikan," katanya.
Setidaknya ada sembilan jenis poster yang telah ia buat untuk mendukung gerakan menolak reklamasi Teluk Benoa. Ia mempersilakan siapa pun yang hendak mengambil ataupun menggandakan poster karyanya. "Silakan diunduh," kata pria kelahiran Singaraja 43 tahun lalu yang kini menetap di Sleman itu.
Walhasil, poster-poster Alit senantiasa mengiringi setiap demonstrasi ForBali. Poster pertamanya—bergambar bayangan ekskavator di atas wajah dalam bingkai Pulau Dewata—kini menjadi gambar utama baliho kampanye ForBali.
Para pendukung ForBali lantas mengolah karya Alit menjadi salah satu senjata utama kampanye mereka di media sosial. Memanfaatkan aplikasi kampanye di twibbon.com, mereka menjadikan poster tolak reklamasi karya Alit sebagai bagian dari foto profil akun Facebook atau Twitter. Poster Alit yang populer sebagai foto profil itu bergambar ombak besar warna merah yang menggulung membentuk kepalan tangan, menghadang bayangan sosok pria dengan ekskavator yang siap mengeruk. Di bagian bawah gambar tertulis "Bali Tolak Reklamasi, Batalkan Perpres No. 51/2014".
Pada akhir Mei lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 51 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Isinya mengizinkan adanya reklamasi maksimal 700 hektare dari seluruh kawasan Teluk Benoa. Semangat peraturan itu berkebalikan dengan isi Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011—juga ditandatangani oleh Presiden Yudhoyono—yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.
Selain turun ke jalan dan menggelar konser musik, ForBali aktif berkampanye di media sosial melalui Facebook dan Twitter. Salah satu motor di kampanye media itu adalah Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Bali, organisasi yang mewadahi lembaga pers mahasiswa seluruh Bali. "Kami bawa isu penolakan reklamasi ke forum-forum PPMI di tingkat nasional dan mengajak aktivis pers mahasiswa seluruh Indonesia ikut menolak reklamasi Teluk Benoa," ujar Sekretaris Jenderal PPMI Bali Kadek Suardana.
PPMI Bali juga menerbitkan buletin Merah Putih sebagai media penyadaran publik tentang dampak buruk reklamasi Teluk Benoa. Bulan lalu buletin delapan halaman itu terbit dengan mengusung tema 13 alasan menolak reklamasi. "Itu untuk counter-opini. Sebab, sebelumnya ada pihak yang menerbitkan tabloid Praja Bali dan selebaran yang dibagikan ke kampus-kampus, mengajak mahasiswa menerima reklamasi," ujar Kadek, yang juga pengurus di Lembaga Pers Mahasiswa Garis Universitas Hindu Indonesia, Denpasar.
Memang, sejak awal berdiri pertengahan tahun lalu, ForBali diusung oleh berbagai elemen, antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, PPMI Bali, Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier) Bali, Bali Outbound Community, BEM Universitas Hindu Indonesia, Mitra Bali, dan komunitas Taman 65. Sejumlah grup musik, seperti Superman Is Dead dan Nosstress, serta seniman juga ikut gabung.
Awalnya ruang geraknya terbatas di Bali. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kini anggota dan pendukung gerakan itu menyebar di mana-mana. "Gerakan kami berhasil membangun kesadaran berbagai kelompok masyarakat, terutama kaum muda, untuk melawan keburukan," ujar Wayan Gendo Suardana, salah satu koordinator ForBali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo