Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyusunan omnibus law menuai kritik karena tak melibatkan partisipasi publik.
Kepentingan pengusaha muncul dalam sejumlah rancangan pasal.
Terselip masalah nasib kontrak perusahaan batu bara.
EMPAT hari penuh Susiwijono “mengungsi” di Hotel JS Luwansa, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sepanjang Kamis-Ahad, 16-19 Januari lalu, Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian itu menggelar rapat maraton bersama tim penyusun Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Mereka dikejar tenggat menyelaraskan materi final dalam bakal regulasi sapu jagat yang menyatukan puluhan undang-undang alias omnibus law tersebut pada akhir pekan. “Minggu itu target Presiden (selesai),” kata Susiwijono, Kamis, 23 Januari lalu. “Sudah, tidak ada penambahan lagi.”
Sejak omnibus law dicanangkan Joko Widodo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019, penyusunan naskah peraturan itu memang dikebut sebulan terakhir untuk mengejar rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang akan menentukan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Pada Rabu, 22 Januari lalu, parlemen menggelar rapat itu dan menyepakati 50 RUU yang ditargetkan rampung dan disahkan tahun ini. Empat paket omnibus law yang diinisiasi pemerintah ada di dalamnya. Selain RUU Cipta Lapangan Kerja, ada RUU Ibu Kota Negara, RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Kefarmasian.
Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi, Politik, Hukum, dan Keamanan Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi menjelaskan bahwa proses harmonisasi tergolong rumit karena melibatkan 80 undang-undang yang beberapa bagiannya akan direvisi. Jumlah itu bertambah dari posisi sebelumnya sebanyak 79 undang-undang. Menurut Elen, jumlah undang-undang yang direvisi berubah-ubah seiring dengan dinamika pembahasan. “Secara substansi sudah closed. Selanjutnya dituangkan dalam draf undang-undang. Kira-kira ada 1.100-1.200-an halaman,” ujarnya.
Presiden berdiskusi dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelum rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, 15 Januari 2020. Foto: setkab.go.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersamaan dengan finalisasi draf tersebut, protes justru menggema di mana-mana. Sejumlah lembaga pegiat demokrasi, hak asasi manusia, dan perlindungan lingkungan hidup bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Mereka menilai penyusunan RUU "Cilaka"—begitu mereka menyingkat Cipta Lapangan Kerja—bermasalah secara prosedur lantaran tak melibatkan partisipasi publik.
Dibahas intensif lintas kementerian dan lembaga sejak November 2019 hingga kini menjadi bagian Prolegnas Prioritas 2020, isi pasti omnibus law justru misterius. Tak ada selembar pun naskah akademik dan draf RUU yang bisa diakses publik. Pemerintah, lewat situs web Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, membuka kanal khusus untuk menjaring masukan publik terhadap omnibus law. “Tapi bagaimana kasih masukan? Wong naskahnya belum bisa didapatkan,” kata Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia—anggota Koalisi.
Gambaran tentang rencana aturan baru ini bukannya tidak ada. Sebulan terakhir, draf bertajuk “Rancangan Undang-Undang Penciptaan Lapangan Kerja” beredar luas. Kekhawatiran terhadap proses penyusunan omnibus law yang tak transparan bertambah setelah sejumlah pasal dalam draf tersebut dinilai justru sarat kepentingan pemilik modal.
Masa berlaku hak guna usaha yang berhubungan dengan kegiatan penanaman modal, misalnya, disebutkan dapat diperpanjang dan diperbarui hingga total paling lama 105 tahun. Perpanjangan dan pembaruan hak guna usaha yang selama ini dilakukan bertingkat—setidaknya lima tahun sebelum masa berlaku habis—akan diubah dengan dijalankan sekaligus. Ada juga rencana menghapus skema izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan yang berdampak penting dan bernilai strategis. “Cara memangkas regulasi dan menyederhanakan perizinan seperti ini ugal-ugalan. Seperti masa kerajaan saat demokrasi belum diberlakukan,” tutur Asfinawati. Kritik senada mencuat dalam unjuk rasa serikat pekerja di sejumlah daerah yang menilai omnibus law hanya mengakomodasi misi pengusaha.
Kecurigaan bahwa omnibus law tentang penciptaan lapangan kerja bakal berat sebelah ke arah pebisnis sebenarnya tak baru-baru amat. Pada 9 Desember 2019, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto meneken surat keputusan tentang pembentukan Satuan Tugas Bersama Pemerintah dan Kadin untuk Konsultasi Publik Omnibus Law. Dengan Menteri Airlangga sebagai pengarah, satgas ini dipimpin Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Posisi tersebut kini diemban Rosan Perkasa Roeslani, pendiri Grup Recapital. Di dalamnya bertengger puluhan nama pengusaha yang juga pengurus Kadin dan sejumlah asosiasi sektor usaha. “Melakukan inventarisasi masalah dan memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan omnibus law,” tulis Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 378 Tahun 2019 mengenai tugas satgas tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, 15 Januari 2020. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menargetkan produksi batu bara nasional 2020 dapat menembus angka 550 juta ton. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.
SATU topik terselip di antara sebelas kluster pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Kluster kelima, tentang kemudahan berusaha, memuat tema penghiliran sektor mineral dan batu bara. Salah satu bagian terpenting dalam pembahasan subsektor ini adalah pemerintah pusat akan menarik kembali kewenangan pemberian izin dalam pengelolaan kegiatan pertambangan mineral dan batu bara. Adapun kewenangan pemerintah provinsi hanya membina dan mengawasi.
Namun yang paling menjadi sorotan berada di bagian perpanjangan kontrak. Pemerintah memberikan peluang kepada pemegang izin usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi yang melakukan pengembangan serta pemanfaatan batu bara untuk menggenggam izin selama 30 tahun dan dapat diperpanjang 10 tahun. Masalahnya, perpanjangan 10 tahun ini dapat dilakukan terus-menerus sepanjang umur tambang. Kelompok ini, yang meningkatkan nilai tambah hasil tambang mineral dan batu bara, juga dapat menerima perlakuan khusus dalam hal kewajiban penerimaan negara, seperti royalti nol persen.
Seorang pejabat yang ikut dalam proses penyusunan RUU ini mengungkapkan, judul pembentukan satgas bentukan Kementerian Koordinator Perekonomian memang hanya untuk konsultasi publik. Namun, kenyataannya, berbekal surat keputusan menteri tadi, Kadin masuk pembahasan dengan menunjuk person in charge (PIC) di setiap kluster.
Dalam kluster ketenagakerjaan, misalnya, tercatat nama Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Antonius Joenoes Supit sebagai PIC. Adapun dalam kluster energi dan sumber daya mineral ada Joseph Pangalila, mantan Direktur PT Indika Energy Tbk yang hingga kini masih menjabat di anak perusahaan Grup Indika, seperti Tripatra dan Cirebon Power.
Menteri Airlangga menjadi penentu akhir jika pembahasan tim pemerintah dan Kadin berakhir buntu. Salah satu poin yang cukup alot, sumber Tempo mencontohkan, adalah soal nasib kontrak perjanjian karya pengusahaan batu bara (PKP2B). “Kami mengusulkan dilanjutkan badan usaha milik negara,” tutur sumber Tempo tersebut. “Usul Kadin mengakomodasi pengusaha batu bara, yaitu PKP2B, dilanjutkan.”
Dalam pembahasan lanjutan, kata dia, usul Kadin yang akhirnya berlanjut. Usul itu pun didukung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dalam suratnya kepada Menteri Airlangga pada 9 Desember 2019, Menteri Energi Arifin Tasrif meminta materi omnibus law disesuaikan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Surat itu merujuk pada pembahasan masalah ini dalam “tim kluster” pada 19 dan 29 November 2019.
Area tambang batu bara milik PT Adaro Indonesia di Tabalong, Kalimantan Selatan, Oktober 2017. ANTARA/Prasetyo Utomo
Kementerian Energi di bawah kepemimpinan Menteri Arifin memang tengah menghidupkan kembali rancangan peraturan pemerintah yang diajukan pada era Menteri Ignasius Jonan itu. Rancangan peraturan itu memberikan peluang bagi pemegang PKP2B untuk memperoleh perpanjangan operasi produksi sebagai pemegang IUPK tanpa harus menciutkan wilayah tambang.
Sesuai dengan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, luas wilayah IUPK batu bara dibatasi hanya 15 ribu hektare. Adapun pemegang PKP2B generasi pertama menguasai wilayah kerja seluas 35-118 ribu hektare. Tujuh perusahaan raksasa batu bara tercatat memiliki kontrak yang akan habis dalam waktu lima tahun ke depan, yakni berturut-turut PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal, PT Kaltim Prima Coal, PT Multi Harapan Utama, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal.
Rancangan peraturan yang akan mengecualikan pemegang PKP2B dalam kewajiban penciutan lahan itu sempat menuai polemik pada awal 2019. Kala itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno tak setuju, menolak membubuhkan paraf, dengan alasan area bekas penciutan dapat dikelola perusahaan tambang pelat merah setelah dikembalikan kepada negara.
Penolakan Rini belakangan didukung Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menyurati Istana pada akhir Maret 2019 mengenai aturan luas wilayah kerja perusahaan batu bara. Surat Ketua KPK saat itu, Agus Rahardjo, akhirnya membuat Menteri Ignasius Jonan membatalkan perpanjangan izin PT Tanito Harum, pemegang PKP2B yang telanjur diberi perpanjangan izin sebelum revisi peraturan selesai.
Kembali ke urusan omnibus law, sejumlah pejabat pemerintah mengungkapkan adanya kekhawatiran dari pengusaha jika harus menunggu aturan sapu jagat ini rampung. Pembahasan di DPR diperkirakan memakan waktu lama. Sedangkan perusahaan tambang PKP2B menuntut segera mendapat kepastian perpanjangan kontrak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia Pandu Patria Sjahrir, yang juga menjadi anggota Satgas Bersama Omnibus Law, enggan mengomentari polemik perpanjangan kontrak PKP2B di tengah penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja. Dia hanya mengatakan, dalam asas pembentukan perundang-undangan yang baik, semua pemangku kepentingan perlu memberikan masukan. Undang-undang, kata dia, juga harus dapat dilaksanakan dan bermanfaat bagi masyarakat, termasuk pelaku usaha. “Kepastian investasi dan kepastian hukum perlu diberikan bila Indonesia ingin menunjukkan keseriusan dalam meningkatkan investment grade dan menarik investasi masuk,” ujarnya.
Bertanggung jawab terhadap penyusunan draf RUU Cipta Lapangan Kerja, Susiwijono menyatakan heran terhadap tudingan bahwa pemerintah tak transparan. Menurut dia, pembahasan omnibus law melibatkan 31 kementerian dan lembaga. “Tidak mungkin menutup-nutupi. Jumlah orang atau pejabat yang terlibat ratusan orang, dengan berbagai kepentingan,” ucapnya. Kendati begitu, dia membenarkan kabar bahwa tim perumus dilarang menyebarkan informasi tentang rancangan regulasi baru itu. Draf akan diedarkan setelah pemerintah menyerahkannya kepada Dewan.
Dia pun membantah adanya campur tangan pengusaha dalam pembahasan omnibus law. Perwakilan Kadin dan sejumlah asosiasi pengusaha dalam satgas bentukan Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwijono menjelaskan, hanya memberikan masukan. Tim perumus pun mengundang akademikus, ekonom, dan ahli hukum untuk keperluan yang sama. “Ujungnya, pemerintah yang memutuskan apakah akan menggunakan masukan itu atau tidak,” katanya.
Hal senada diutarakan Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani. “Kita mau pastikan jangan sampai ada perbedaan pemahaman dan pengertian sehingga akan beda persepsinya. Kami pastikan persepsinya, pemahaman antara Satgas dan pemerintah ini sama,” ujarnya seusai rapat koordinasi omnibus law di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin petang, 13 Januari lalu.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo