WALIKOTA Tanjung Balai, Bahrum Damanik, memang tampaknya banyak
berbuat untuk kotanya. Paling tidak di dalam kota yang terletak
di pinggir Selat Malaka itu sudah dapat disaksikan gedung-gedung
bertingkat, perumahan maupun toko. Gaya bangunannya juga cukup
modern. Lebih dari itu, sejak beberapa waktu lalu kota ini
mendapat julukan Hongkongnya Sumatera Utara.
Mengapa begitu? Begini. Sejak beberapa waktu lalu Walikota
Bahrum ingin lebih menghidupkan suasana kotanya. Caranya adalah
dengan mengundang kedatangan penduduk baru yang terdiri dari
para pengusaha Tionghoa di kawasan sekitar Kepulauan Riau. Pintu
dibuka selebar-lebarnya bagi mereka untuk berusaha, membuka toko
dan bertempat tinggal. Ajakan ini mengena. Sebab para pengusaha
yang umumnya pemilik armada pukat harimau (trawl) merasa lebih
aman tinggal di Tanjung Balai daripada berserakan di kota-kota
kecil - seperti Panipahan, Pulau Halang, Bagan Siapi-api,
Sinaboy dan sekitarnya.
Maka berduyun-duyunlah mereka memasuki Tanjung Balai yang memang
strategis itu. Apalagi belakangan ini ratusan armada pukat
harimau banyak meninggalkan perairan Riau untuk pindah ke daerah
Asahan. Untuk itulah mereka mulai menghamburkan uang membebaskan
tanah penduduk kota Tanjung Balai, hrutama di pusat-pusat kota.
Harga tanah pun segera meloncat. Jika dulu semeter persegi tanah
masih berharga sekitar Rp 3.000, akhir-akhir ini menjadi Rp
7.000 hingga Rp 10.000.
Dan itu artinya penduduk lama harus menyinkir ke pinggir kota.
Memang mereka mau saja pindah karena tergoda melihat tumpukan
uang. Tapi kemudian timbul juga masalah: mau pindah ke mana lagi
penduduk lama itu, jika kota Tanjung Balai sendiri memang sejak
semula sudah sempit? Harap dimaklumi, bahwa luas kotamadya ini
hanya 190 hektar saja untuk 41.000 jiwa penduduknya. Artinya
sudah cukup padat, malah kabarnya terbilang paling padat di
Indonesia. Malahan karena sempitnya, selama ini sudah sulit
mendapat sejengkal tanah untuk mendirikan bangunan pemerintah.
Melihat keadaan serupa itu, rupanya Walikota Damanik tak habis
akal. Runding sana-sini, akhirnya sidang DPRD Kabupaten Asahan
bulan Juni lalu menyerahkan areal kabupaten itu seluas 280
hektar kepada Kotamadya Tanjung Balai. Daerah itu terdiri dari 4
kampung, yaitu Pulau Simardan, Sungai Tualang Raso, Selat
Lancang dan Sijambi. Rencana perluasan ini kiranya sudah
terpendam sejak 11 tahun yang lalu.
Tapi tak kurang dari para anggota DPRD Asahan yang tiba-tiba
merasa cemas. Mengapa pula? Mereka khawatir kalau keadaan itu
lama-lama akan menyebabkan pergeseran penduduk. "Jangan-jangan
penduduk asli yang sudah tergeser ke daerah perluasan akan
terusir lagi dan menjadi beban Kabupaten Asahan pula" ujar
mereka. Sebab nyatanya penduduk-penduduk baru masih terus saja
berdatangan.
Kecemasan itu tak mendapat tanggapan dari Bahrum Damanik. Sebab
yang segera dikerjakannya adalah membenahi kota itu, seperti
selokan-selokan dan jalanjalan. Sebab sebentar saja hujan turun,
kota ini sudah tergenang air. Akan halnya jalan, yang
dilakukannya memang hanya perbaikan-perbaikan di mana perlu.
Bahkan tak seperti halnya kota-kota lainnya yang biasa
melebarkan jalan-jalan, Walikota Damanik malahan menutup
beberapa jalan untuk didirikan bangunan.
Tanjung Balai adalah kota transaksi bagi penduduk sekitarnya.
Hasil-hasil bumi mengalir dari daerah sekitarnya, memasuki kota
ini melalui sampan-sampan kecil. Selanjutnya diekspor atau
dikirim ke kota-kota lain. Koa ini sendiri tak punya
penghasilan yang khusus dan menonjol. Tapi barangkali dengan
mengalirnya penduduk baru itu, Damanik merasa akan menggaet
keuntungan baru bagi warga kotanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini