Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dijuluki hongkong, makin padat

Wali kota tanjung balai membuka pintu selebar-lebarnya bagi pendatang baru. kota menjadi ramai, bertambah padat, penduduk lama menyingkir ke pinggir kota. akhirnya mencari perluasan ke daerah kab. asahan.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALIKOTA Tanjung Balai, Bahrum Damanik, memang tampaknya banyak berbuat untuk kotanya. Paling tidak di dalam kota yang terletak di pinggir Selat Malaka itu sudah dapat disaksikan gedung-gedung bertingkat, perumahan maupun toko. Gaya bangunannya juga cukup modern. Lebih dari itu, sejak beberapa waktu lalu kota ini mendapat julukan Hongkongnya Sumatera Utara. Mengapa begitu? Begini. Sejak beberapa waktu lalu Walikota Bahrum ingin lebih menghidupkan suasana kotanya. Caranya adalah dengan mengundang kedatangan penduduk baru yang terdiri dari para pengusaha Tionghoa di kawasan sekitar Kepulauan Riau. Pintu dibuka selebar-lebarnya bagi mereka untuk berusaha, membuka toko dan bertempat tinggal. Ajakan ini mengena. Sebab para pengusaha yang umumnya pemilik armada pukat harimau (trawl) merasa lebih aman tinggal di Tanjung Balai daripada berserakan di kota-kota kecil - seperti Panipahan, Pulau Halang, Bagan Siapi-api, Sinaboy dan sekitarnya. Maka berduyun-duyunlah mereka memasuki Tanjung Balai yang memang strategis itu. Apalagi belakangan ini ratusan armada pukat harimau banyak meninggalkan perairan Riau untuk pindah ke daerah Asahan. Untuk itulah mereka mulai menghamburkan uang membebaskan tanah penduduk kota Tanjung Balai, hrutama di pusat-pusat kota. Harga tanah pun segera meloncat. Jika dulu semeter persegi tanah masih berharga sekitar Rp 3.000, akhir-akhir ini menjadi Rp 7.000 hingga Rp 10.000. Dan itu artinya penduduk lama harus menyinkir ke pinggir kota. Memang mereka mau saja pindah karena tergoda melihat tumpukan uang. Tapi kemudian timbul juga masalah: mau pindah ke mana lagi penduduk lama itu, jika kota Tanjung Balai sendiri memang sejak semula sudah sempit? Harap dimaklumi, bahwa luas kotamadya ini hanya 190 hektar saja untuk 41.000 jiwa penduduknya. Artinya sudah cukup padat, malah kabarnya terbilang paling padat di Indonesia. Malahan karena sempitnya, selama ini sudah sulit mendapat sejengkal tanah untuk mendirikan bangunan pemerintah. Melihat keadaan serupa itu, rupanya Walikota Damanik tak habis akal. Runding sana-sini, akhirnya sidang DPRD Kabupaten Asahan bulan Juni lalu menyerahkan areal kabupaten itu seluas 280 hektar kepada Kotamadya Tanjung Balai. Daerah itu terdiri dari 4 kampung, yaitu Pulau Simardan, Sungai Tualang Raso, Selat Lancang dan Sijambi. Rencana perluasan ini kiranya sudah terpendam sejak 11 tahun yang lalu. Tapi tak kurang dari para anggota DPRD Asahan yang tiba-tiba merasa cemas. Mengapa pula? Mereka khawatir kalau keadaan itu lama-lama akan menyebabkan pergeseran penduduk. "Jangan-jangan penduduk asli yang sudah tergeser ke daerah perluasan akan terusir lagi dan menjadi beban Kabupaten Asahan pula" ujar mereka. Sebab nyatanya penduduk-penduduk baru masih terus saja berdatangan. Kecemasan itu tak mendapat tanggapan dari Bahrum Damanik. Sebab yang segera dikerjakannya adalah membenahi kota itu, seperti selokan-selokan dan jalanjalan. Sebab sebentar saja hujan turun, kota ini sudah tergenang air. Akan halnya jalan, yang dilakukannya memang hanya perbaikan-perbaikan di mana perlu. Bahkan tak seperti halnya kota-kota lainnya yang biasa melebarkan jalan-jalan, Walikota Damanik malahan menutup beberapa jalan untuk didirikan bangunan. Tanjung Balai adalah kota transaksi bagi penduduk sekitarnya. Hasil-hasil bumi mengalir dari daerah sekitarnya, memasuki kota ini melalui sampan-sampan kecil. Selanjutnya diekspor atau dikirim ke kota-kota lain. Koa ini sendiri tak punya penghasilan yang khusus dan menonjol. Tapi barangkali dengan mengalirnya penduduk baru itu, Damanik merasa akan menggaet keuntungan baru bagi warga kotanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus