ALl Sadikin sewaktu masih jadi gubernur Jakarta tersohor paling
rajin mengais-ngais sumber pendapatan daerahnya berupa
macam-macam pajak dan pungutan. Tentu saja yang paling gencar
terkena genjotannya ialah warga kota yang menurut perkiraannya
terbilang kaum punya alias orangorang kaya. Apalagi semboyannya
yang terkenal antara lain memeras yang kaya membantu yang miskin
dan no tax no service.
Begitu rajinnya sampai-sampai kawasan yang masih berupa
rawa-rawa atau belukar, jauhjauh hari sudah dibuatkan alat
penggalinya berupa peraturan pajak. Kawasan tersebut misalnya
meliputi Tebet, Tomang, Slipi, Kemang, Cilandak/Cipete, Cawang
dan Rawamangun yang menurut Peraturan Daerah No. I tahun 1972
terkena Pajak Khusus Penggantian Biaya dan Pungutan Tambahan
untuk pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Pemda DKI alias
baat belasting. Peraturan tersebut produk MRD dan Pemda DKI
semasa Ali Sadikin.
Hingga warga daerah-daerah tersebut yang tahun-tahun belakangan
ini didatangi para petugas pajak DKI dan disodori surat
penagihan pajak, jadi kaget. Apalagi waktu alasan yang
dikemukakan ialah buat biaya penggantian pembuatan jalan,
jembatan, penerangan Jalan, air minum, irigasi, taman-taman dan
lainnya yang termasuk katagori pelaksanaan pembangunan
perlengkapan pembangunan kota. Sebab bagaimana pun warga kota
merasakan bahwa pelaksanaan pembangunan tersebut memang
merupakan kewajiban pemerintah daerah.
Siapa Tahu
"Siapa tahu itu pungli?", gerutu Wisnu Wardhana penduduk Tebet
Timur lewat Sinar Harapan Sabtu 3 September lalu. Dan Nyonya
Halim St. dari Kampung Ambon, Rawamangun II waktu dihubungi
TEMPO mengeluh karena beberapa waktu lalu tiba-tiba petugas
pajak DKI menyodorkan tagihan pajak Rp 1 juta untuk pajak
khusus. "Wah kami keberatan. Selain kami belum jelas untuk pajak
apa sebenarnya, juga tak sesuai dengan kemampuan kami," tutur
Nyonya Halim. Nyonya ini juga menerangkan bahwa pungutan yang
selama ini dibayarnya ialah Ireda (luran Rehabilitasi Daerah).
Ia tak bisa bercerita lebih lanjut karena persoalan selanjutnya
diselesaikan oleh suaminya, di kantor. Sementara Soekiman dari
Tebet Barat menyatakan pernah membayar pajak khusus sebesar Rp
50 ribu. "Tapi kami tak begitu teliti lebih jauh. Kami tak
menyatakan keberatan apa-apa karena katanya untuk penggantian
biaya pembangunan," tutur Soekirman, 41 tahun, yang sehari-hari
pegawai Departemen Dalam Negeri. Ia juga menyatakan selalu
membayar Ireda.
"Pajak khusus sebenarnya retribusi daerah tapi dengan cara
pelaksanaan pemungutannya seperti pajak," kata Chalid Nasution
Kepala Bagian Pajak Khusus Dinas Pajak DKI Jakarta. Yakni ada
team khusus terdiri dari DPU, Tata Kota, Agraria, Dirat IV
(Pembangunan), Dirat I (pemerintahan), Badan Pelaksana
Pembangunan MHT, merumuskan siapasiapa terkena dan besarnya
pajak. Lalu dibuat SKP (Surat Ketetapan Pajak) yang seterusnya
disampaikan langsung ke wajib pajak. Selanjutnya yang
bersangkutan membereskannya di Dinas Pajak DKI. Dan peraturan
yang jadi dasar hukumnya (Peraturan Daerah No.I tahun 1972)
telah pula disahkan Menteri Dalam Negeri dengan SK No.51 tahun
1973. Ini berbeda dengan Ireda yang merupakan pajak Pemerintah
Pusat.
Yang Terkena
Adapun mereka yang terkena pajak ialah pemegang hak dari suatu
persil/bidang tanah yang berbatasan atau berdampingan dengan
jalan yang dibangun oleh Pemda DKI. Tegasnya persil/bidang tanah
yang terletak di dalam lokasi yang telah direncanakan untuk
dibangun perlengkapan pembangunan kota, termasuk juga
perkampungan yang dibangun dengan Proyek Muhamad Husni Thamrin
(MHT).
Menurut Chalid Nasution di daerah-daerah Tebet, Tomang dan
lainnya itu bisa juga dilakukan pembangunan dengan biaya proyek
MHT karena kebetulan biayanya tersedia dan belum dipakai di
tempat lain (proyek MHT sebenarnya). Sedang di kawasan
kampung-kampung tua yang terkena pajak khusus hanyalah
persil/bidang tanah yang dijual belikan setelah adanya
pembangunan MHT itu. Jenis jalan-jalan yang penggantian biayanya
dipungut, tak dibedakan besar kecil, di luar atau di dalam
kampung.
Peraturan itu juga menentukan besarnya biaya pungutan yakni 60
dari biaya yang direncanakan untuk melaksanakan pembangunan. Ini
katanya tak memberatkan masyarakat. Sebab bagaimanapun
pembangunan yang dilaksanakan itu berdasarkan prinsip gotong
royong alias kerjasama antara masyarakat yang akan mengenyam
manfaat dan pemerintah yang merencanakannya. Sebab menurut
Chalid, "pajak dibayar, jalan bagus." Meski katanya pembangunan
di daerah-daerah tersebut tak tergantun pada pemasukan pajak
khusus tersebut. Sebab pajak yang sebenarnya tak baru itu
(pernah ada pajak serupa yang macet tahun 1959), menurut Chalid
pelaksanaannya baru dilakukan efektif tahun 1974, dimulai dengan
daerah Tebet. Sedang Tomang baru selesai SKPnya dan menyusul
kini mulai digarap Cipete.
Keseretan itu harap dimaklumi, karena katanya segala
persiapannya sejak penelitian wajib pajak, penentuan SKP dan
sebagainya memerlukan waktu. Apalagi pelaksanaan pembayarannya.
Tebet yang ditargetkan Rp 500 juta dan sudah berlangsung 3 tahun
baru masuk 20%. Sebab pemaksaan yang diatur UU 19/1959 tak
pernah dilaksanakan. Lagipula "bukan maksud pemerintah, bayar
pajak sampai jual tanah." Karena itu jika ada kegiatan
pemungutan pajak khusus di luar Tebet termasuk pungli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini