WALAU tanpa kehadiran Ketua Opstib Laksamana Sudomo, kantor
telepon Yogya terkena penertiban pertengahan Agustus lalu. Tiga
g pejabat teras kantor itu secara tiba-tiba diserah-terimakan
kepada pengganti yang baru. Mereka adalah Adenan (Kepala Kantor
Telepon Yogyakarta), Soetrisno sebagai Kepala Dinas Luar dan
Soegiono, Kepala Tata Usaha.
Meskipun pengusutan masih terus dilakukan, dugaan masyarakat
kota itu tak salah lagi: mereka melakukan pungutan liar alias
pungli. Dugaan itu berdasarkan berita koran beberapa hari
sebelum penertiban itu bahwa menurut seorang pengurus Kadin
Daerah Istimewa Yogyakarta ada praktek pungli dalam pemasangan
telepon baru di kota itu.
Di lingkungan kota Yogyakarta selama ini terdapat 2.000 nomor
telepon. Tapi sejak akhir Mei lalu Kantor Telekomunikasi II
(Jawa Tengah dan DIY) mengumumkan terbukanya kesempatan
pemasangan baru sebanyak 2.000 nomor untuk Kantor Telepon Yogya.
Dalam pengumuman tadi disertakan pula beberapa syarat bagi
pemasang baru. Antara lain: masih dalam lingkungan kantor
telepon (radius 3 Km) dikenakan biaya Rp 11.800 di luar radius
itu dikenakan tambahan biaya sekurang-kurangnya Rp 65.000 tiap
seratus meter dan untuk sementara ini calon langganan harus
menyediakan peralatan yang diperlukan.
Pengalaman Sapto Hudoyo
Masalahnya, rata-rata tiap langganan baru dikenakan ongkos lebih
tinggi dari tarif resmi itu. Yaitu berkisar antara Rp 400.000
hingga Rp 500.000, bahkan lebih. Seperti pelukis Amri Yahya yang
mengajukan permohonan sejak 1973, ditarik ongkos Rp 384.980
meskipun ia mengantongi surat pengantar dari Menteri Perhubungan
Emil Salim, Dantarres 96 Yogya dan Walikota Yogya sendiri. "Saya
merasa itu sudah murah dibanding dengan lainnya" kata Amri
Yahya.
Sebuah toko buku yang hanya berjarak 1 Km dari kantor telepon,
dipungut Rp 500.000. Begitu pula sebuah toko di Jalan Malioboro.
Pada mulanya permohonan keduanya selalu dijawab oleh petugas
Kantor Telepon dengan "jalur itu sudah penuh." Tapi begitu uang
Rp 500.000 diserahkan, seminggu kemudian telepon sudah
berdering.
Lain lagi pengalaman pelukis Sapto Hudoyo. Ia dimintai biaya Rp
4,5 juta untuk memasang telepon di sanggarnya yang terletak di
Jalan Solo itu. Jarak sanggar dengan kantor telepon memang cukup
jauh, sekitar 6 Km. Menurut petugas Kantor Telepon, jika
kediaman pelukis itu akan dipasang telepon harus dengan memasang
tiang-tiang baru. "Padahal saya sudah bilan, kalau bisa numpang
saja pada jalur yang ke Lapangan Udara Adisutjipto, tapi mereka
tidak mau" kata pembantu Sapto. "Dari pada saya membayar Rp 4,5
juta lebih baik saya beli Colt dua buah" ujar Sapto Hudoyo.
Tak lama setelah 3 orang pejabat teras Kantor Telepon Yogya itu
diganti, pemasangan nomor-nomor baru untuk sementara dihentikan
sampai pengusutan selesai. Dari jatah 2.000 nomor yang tersedia,
sudah terlanjur dipasang sebanyak 351 nomor. Padahal calon
langganan yang sejak dulu-dulu sudah mengajukan permintaan
tercatat 3.700 orang. Sumber TEMPO di Kantor Telepon Yogya
tidak menolak kemungkinan adanya penyimpangan dalam pemasangan
nomor-nomor telepon yang baru itu. Sebab katanya dibanding
permintaan yang cukup besar itu, nomor-nomor baru yang tersedia
memang memberi kesempatan untuk dijadlkan bahan rebutan para
calon langganan dengan cara-cara yang tak semestinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini