Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dilema Minoritas Tionghoa

Leo s menulis buku tentang dilema minoritas kelompok minoritas. catatan semakin menipisnya perbedaan cina peranakan & totok. tokoh-tokoh peranakan & totok banyak dikenal dengan para pemimpin tionghoa lokal. (sel)

18 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG berakhirnya abad ke-19, hanya ada sejumlah kecil orang Tionghoa yang menjadi petani orang Tionghoa di Jawa kebanyakan terdiri dari pedagang dan karyawan dari suku Hokkien. Karena kesulitan angkutan dan Dekrit Kaisar negara Cina yang secara resmi melarang orang Tionghoa meninggalkan dan masuk kembali ke negara Cina, maka imigrasi massal ke Jawa tidak pernah terjadi. Orang Tionghoa yang datang ke Jawa biasanya laki-laki. Mereka lalu kawin dengan wanita setempat, baik yang bukan Islam maupun yang Islam nominal. Lama-kelamaan keturunan mereka membentuk masyarakat yang mantap, yaitu masyarakat "Tionghoa peranakan sebelum Perang". Masyarakat itu kemudian jadi menyendiri karena perkawinan campuran dengan wanita pribumi berkurang. Orang Tionghoa peranakan kawin antara mereka sendiri. Para imigran Tionghoa yang baru datang membentuk kelompok peralihan yang kecil dan selanjutnya dengan cepat membaur ke dalam masyarakat itu - karena tidak ada imigrasi massal. Tempat tinggal peranakan dari generasi sebelum Perang itu terpusat di Jawa dan beberapa daerah perkotaan di luar Jawa, tempat banyak kesempatan untuk berdagang . Kaum peranakan lalu kehilangan kelancaran berbahasa Cina yang aktif, tetapi masih mudah dibedakan dari orang pribumi. Penduduk pribumi di Jawa Barat memanggil anggota laki-laki dari masyarakat itu dengan sebutan baba, anggota perempuan dengan sebutan nyonya (untuk yang sudah menikah) dan nona (untuk yang belum kawin). Sebelum Perang Dunia II, beberapa orang Indonesia menamakan anggota kelompok itu Indo, tetapi istilah itu sekarang khusus dipergunakan untuk "campuran Eropa". Istilah peranakan dipergunakan secara meluas untuk menyebut orang Tionghoa lokal seperti itu. Orang peranakan dari generasi sebelum Perang menggunakan bahasa Melayu Cina sebagai bahasa percakapan. Struktur dasar bahasa itu adalah struktur bahasa Melayu, tetapi dipalai juga secara meluas istilah-istilah Hokkien dan Belanda. Buku, terbitan berkalaan surat kabar mereka terbit dalam bahasa yang berangsur mati itu. Sebagian orang laki-laki peranakan yang kaya menerima pendidikan tradisidnal (Hokkien). Tetapi wanitanya biasanya tidak terpelajar. Mereka dibesarkan dengan cara sana seperti para ibu mereka. Para pria peranakan yang miskin mendapat sedikit pendidikan Melayu atau Indonesia (dan Belanda sebagai bahasa pelengkap). Walaupun demikian, dengan berkembangnya nasionalisme Cina sertameluasnya sekolah yang menggunakan bahasa Cina (Tiong Hoa Hwee Koan, seterusnya disebut THHK) pad abad ke-20, banyak anak kaum peranakan mulai mendapat pendidikan Tionghoa modern. Beladda menanggapi tantangan itu dengan mendirikan sekolah berbahasa pengantar Belanda bagi anak-anak orang Tionghoa iokal. Banyak kaum peranakan kaya kemudian mengirimkan anak mereka ke sekolah sempatan, kerja yang lebih luas. Hanya kaum peranakan yang miskin saja yang tetap menyekolahkan anak mereka ke THHK atau sekolah Melayu (proto-Indonesia). Di luar pendidikan, bahasa pertama kaum peranakan dari generasi sebelum Perang masih bahasa Melayu Cina atau salah satu bahasa daerah Indonesia. Kaum peranakan dari generasi sebelum Perang paling banyak berusaha di bidang "perdagangan perantara". Walaupun demikian, karena pengetahuan mereka berbahasa Melayu dan kadang-kadang juga Belanda, para peranakan itu kemudian menjadi pegawai orang Barat (Belanda) atau perusahaan Tionghoa. Tiong Hoa Keng Kie Hwee (Gabungan Karyawan Tionghoa adalah sebuah organisasi kaum "buruh" peranakan yang berpengaruh sekali sebelum Perang Dunia II). Ada juga sebagian kaum peranakan dari generasi sebelum Perang yang bekerja sebagai dokter, pengacara, ahli teknik, ahli ekonomi, dan wartawan. Keyakinan agama kaum peranakan itu bermacammacam. Yang terbanyak mengarlut pemujaan kepada nenek moyang serta semacam agama rakyat Cina yang telah tercampur dengan adat pribumi (Indonesia). Walaupun Konfusianisme dan Samkauw "Tiga Agama" sudah muntfi pada pertengahan pertama abad ke-20, jumlah anggota perkumpulan-perkumpulan keagamaan itu tidak diketahui. Hanya sejumlah kecil Tionghoa menganut agama Islam (khususnya dari kelas bawah) dan Kristen (khususnya di antara kaum perankan yang berpendidikan Belanda). Dalam hukum Belandapara peranakan dari generasi sebelum Perang adalah rakyat Kerajaan Belanda. Negara Cina Kuomintang di sisi lain juga menganggap Tionghoa Indonesia sebagai warga negaranya dan karena itu tunduk kepada hukum mereka - hal itu ternyata tidak pernah dapat terlaksana. Dengan demikian, secara teoretis orang Tionghoa peranakan mempunyai kewarganegaraan ganda. Setelah Indonesia merdeka, kawula Belanda dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia, kecuali kalau menolak. Republik Rakyat Cina sebelum 1955 menganggap kaum peranakan sebagai warga negaranya dan karena itu para Tionghoa tersebut mempunyai kewarganegaraan ganda pula. Masalah itu terselesaikan tahun 1960 dengan ditandatanganinya persetujuan tentang kewarganegaraan ganda antara Jakarta dan Peking: bagian terbesar dari kaum peranakan dari generasi sebelum Perang tetap menjadi warga negara Indonesia. *** Berlangsungnya Perang Dunia Kedua membawa perubahan-perubahan penting di Asia Tenggara pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Pendudukan Jepang mengubah struktur penjajahan Belanda dan mempercepat gerakan-gerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Pemerintahan Jepang juga membawa akibat besar bagi kaum minoritas Tionghoa. Pemeintahan itu cenderung "mencinakan kembali" orang Tionghoa peranakan. Pada masa pendudukan Jepang, sekolah-sekolah Belanda ditutup dan orang-orang Tionghoa peranakan hanya dapat menyekolahkan anak mereka di sekolah Tiongho atau sekolah Melayu. Anak-anak para peranakan yang lahir pada akhir tahun 1930-an terpengaruh oleh perubahan itu. Tetapi pemerintahan Jepang berlangsung dalam waktu singkat, dan Belanda kembali menduduki Indonesia untuk waktu yang singkat juga. Orang Indonesia asli muncul sebagai tuan di negara mereka sendiri. Sistem persekolahan Indonesia kemudian dirintis. Kaum peranakan yang bersekolah di sekolah Belanda meneruskan pendidikan mereka di sekolah berbahasa pengantar Indonesia. Setelah 1957 semua warga negara Indonesia oleh hukum diwajibkan menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah Indonesia. Dengan sendirinya anak-anak atau keturunan kaum peranakan dari generasi sebelum Perang yang lahir dalam masa atau setelah masa Perang memiliki pengalaman pendidikan dan kehidupan yang berlainan serta sifat yang agak berbeda dari orangtua mereka. Peranakan generasi baru itu tidak mengalami pemerintahan Deniaiahan Belanda. Mereka dibesarkan di alam Indonesia merdeka, ketika orang Indonesia asli memegarg pemerintahan, tidak lagi dijajah. Karena ada kecenderungan bahwa kelompok minoritas asing mengidentifikasikan diri dengan yang memerintah dan bukan yang diperintah, perubahan dalam struktur politik Indonesia membawa dampak juga terhadap para pemuda peranakan itu. Di samping perubahan sikap, para peranakan dari generasi sesudah Perang tidak lagi biasa berbahasa Belanda. Mereka menjadi lebih mahir menggunakan bahasa Indonesia daripada para orangtua mereka. Sebagian besar peranakan dari generasi sesudah Perang adalah warga negara Indonesia. Umur mereka yang tertua sekitar tiga puluhan. Kewarganegaraan mereka pertama kali ditetap kan oleh orangtua mereka, tetapi sebelum 1966 mereka diberi kesempatan untuk memilih antara kewarganegaraan Indonesia dan RRC setelah berumur 18 tahun. Mayoritas memilih kewarganegaraan Indonesia. Keturunan dari peranakan gaya baru itu sekarang dibesarkan dalam tata cara Indonesia dan tentu lebih terbaur (walaupun tidak selalu berarti terasimilasi secara total) daripada para orangtua mereka. Sistem keyakinan keagamaan peranakan generasi sesudah Perang itu sama seperti orangtua mereka. Tetapi sejak kudeta PKI tahun 1965, dengan dorongan resmi untuk melakukan kegiatan keagamaan, terjadilah kebangkitan kembali Konfusianisme dan Budisme di antara kaum peranakan. Tetapi banyak juga di antara mereka yang menjadi Kristen (Protestan atau Katolik), agama yang juga dianut banyak orang Indonesia asli - dan karenanya tidak dicela sebagai agama "asing". Pada tahun-tahun terakhir, jumlah peranakan yang menjadi Muslim juga menaik. Mengenai pekerjaan, mereka sudah lebih banyak yang terserap dalam kerja kantor, tetapi bagian terbesar masih berkecimpung di bidang kegiatan dagang dan perusahaan. Tidak seperti kaum peranakan dari generasi sebelum Perang, kawan-kawan mereka dari kaum totok merupakan pendatang baru yang tiba di Indonesia menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hal itu terjadi sewaktu berlansung perolakan politik di negara Cina dan juga, bersamaan dengan menaiknya permintaan tenaga manusia di negara-negara terjajah di Asia Tenggara. Di bawah tekanan Barat, negara Cina menghapus larangan migrasi bagi orang Tionghoa. Imigrasi Tionghoa secara massal dari negara Cina ke Indonesia dan ke negara-negara lain di Asia Tenggara berlangsung selama periode itu. Sejumlah besar imigran baru, disertai para wanita Tionghoa, mengakibatkan para pendatang baru itu tidak berasimilasi ke dalam masyarakat peranakan yang sudah ada. Karena mereka lahir di luar negeri (yaitu di negara Cina), orang Indonesia asli menyebut mereka totok, artinya "orang berdarah murni asing". Orang Tionghoa peranakan menyebut mereka singkeh yang berarti "tamu baru". Para pendatang baru itu terdiri dari berbagai golongan yang menggunakan berbagai bahasa dari Cina Selatan, dan sebagian besar adalah orang-orang bukan Hokkien (yaitu Hakka, Kanton atau Konghu, dan lain-lain). Mereka masih berbicara dalam bahasa Cina dan berkumpul sesuai dengan bahasa masing-masing. Ikatan mereka dengan negara Cina (dan setelah 1949 juga dengan Taiwan) masih dekat. Kaum totok dari generasi sebelum Perang di Jawa mempelajari bahasa daerah untuk percakapan sehari-hari karena mereka harus hidup dan mencari makan di antara-orang bukan Tionghoa. Tetapi umumnya penguasaan bahasa daerah mereka amat terbatas. Seperti juga peranakan dari generasi sebelum Perang, para totok itu mempunyai surat kabar, terbitan berkala, dan buku sendiri. Semuanya dalam bahasa Cina. Memang orang-orang totok amat sadar akan warisan kebudayaan mereka. Itu tecermin dari kenyataan bahwa mereka menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah berbahasa Cina selagi berada di sekolah dasar dan menengah, pada zaman penjajahan di Indonesia, kemudian untuk pendidikan lanjut anak-anak tersebut dikirim ke negara Cina. Kaum pemukim baru itu terbanyak berkecimpung di bidang perdagangan. Di luar Jawa banyak di antara mereka yang bekerja di pertambangan dan perkebunan. Sebagian menjadi petani, walaupun oleh hukum Hindia Belanda mereka tidak diperkenankan memiliki tanah pertanian. Karena hambatan bahasa dan nilai yang berbeda, pada zaman penjajahan tampaknya tidak ada orang totok yang bekerja di kantor-kantor atau di sektor-sektor profesional yang membutuhkan kemampuan bahasa Belanda dan Melayu. Anak cucu mereka yang pergi ke negara Cina untuk melanjutkan pelajaran akhirnya kembali ke Indonesia yang masih dijajah, terserap ke dalam sektor swasta Tionghoa (khususnya dalam perusahaan swasta dan sekolah berbahasa Cina). Orang totok dari generasi sebelum Perang membawa serta keyakinan agama mereka yang berasal dari Cina Selatan. Mereka bersembahyang di kuilkuil Cina dan menjalankan pemujaan kepada nenek moyang. Tidak seperti yang peranakan dari generai si sebelum Perang yang sistem kepercayaannya telah tercampur dengan kebudayaan pribumi, sistem kepercayaan orang totok serta adat-istiadat mereka masih Cina tradisional. Kendatipun demikian, orang totok dari generasi sebelum Perang yang terpelajar tidak begitu religius. Mereka lebih menaruh perhatian pada masalah politik ngara Cina serta nasionalisme Cina daripada kegiatan keagamaan. Para pemukim baru itu dianggap sebagai warga negara asing, tetapi keturunan mereka yang lahir di Hindia Belanda oleh hukum Belanda dianggap sebagai kawula kerajaan Belanda - sama seperti kaum peranakan. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa anak-anak orang totok dari generasi pertama dibesarkan sebagai totok. Mereka tidak berasimilasi dengan masyarakat peranakan dan karenanya mereka seharusnya digolongkan sebagai orang totok. *** Anak-anak kaum totok yang dibesarkan selama dan setelah Perang Dunia II dapat dianggap sebagai suatu subkelompok dalam masyarakat totok. Mereka agak berbeda dari orangtua mereka, baik dalam hal pendidikan maupun pengalaman hidupnya. Berbeda dengan orang totok dari generasi sebelum Perang pada umumnya, sebagian besar orang totok dari generasi sesudah Perang lahir di Indonesia. Mereka dibesarkan pada masa pendudukan Jepang atau masa Indonesia merdeka, dan karenanya tidak mempunyai ingatan tentang masa penjajahan Belanda. Mereka telah berhubungan dengan orang Indonesia asli yang memerintah negara ini. Mereka mendapat pendidkan di sekolah-sekolah berbahasa pengantar Cina (sebelum 1966) yang berbeda kurikulumnya dengan yang diperoleh kawan-kawan mereka dari taman sebelum Perang - artinya sudah tpih banyak mata pelajaran tentang Indonesia diberikan. Sejak 1966 mereka hanya dapat memperoleh pendidikan Indonesia karena semua sekolah Cina ditutup. Di Jawa orang-orang totok generasi sesudah Perang berbicara dalam bahasa Cina di rumah (terutama kepada orangtua mereka), tetapi memakai bahasa campuran Indonesia dan Cina untuk berkomunikasi dengan anak-anak dan "orang-orang luar". Kalau bersekolah di sekolah-sekolah Cina, mereka menguasai bahasa kuoyu lebih baik daripada orangtua mereka. Anak-anak dari orang totok generasi sesudah Perang yang lahir pada tahun 1960-an makin lama makin kehilangan penguasaan aktif berbahasa Cina. Mereka mengerti bahasa Cina, tetapi merasa lebih enak berkomunikasi dalam bahasa Indonesia karena bahasa itulah yang mereka pelajari di sekolah. Walaupun demikian, di luar Jawa mayoritas orang totok dari generasi sesudah Perang lebih menyerupai orangtua mereka karena pola permukiman mereka. Biasanya mereka hidup terpisah dari penduduk asli. Kalaupun tinggal di antara penduduk asli, mereka tinggal di daerah-daerah tempat budaya "asli" tidak berkembang. Tentu saja mereka tetap menggunakan bahasa Cina dan tidak memakai bahasa daerah tersebut. Biarpun begitu, kemungkinan mempertahankan identitas totok berkurang setelah kudeta PKI 1965, karena pemerintah memutuskan untuk menjadikan mereka sebagai orang Tionghoa yang berbahasa Indonesia. Mata pencaharian orang totok generasi sesudah Perang mirip dengan orangtua mereka, kebanyakan bergerak di bidang perdagangan dan usaha. Tapi mereka yang lebih terpelajar dan menguasai dua bahasa pindah ke bidang-bidang profesinal. Dalam keadaan seperti itu sering mereka lebih menyerupai peranakan. Sebelum kudeta PKI 1965 banyak di antara kaum totok generasi sesudah Perang menjadi guru sekolah Cina atau bekerja pada media massa Cina lokal. Tetapi setelah sekolah-sekolah dilarang menggunakan bahasa pengantar Cina serta surat kabar Cina dilarang terbit, mereka tidak mempunyai pekerjaan lagi. Banyak yang terpaksa memasuki kegiatan perdagangan. Tidak mudah bagi mereka untuk menjadi pegawai rendahan kalau bekerja pada perusahaan swasta, karena mereka harus mempunyai izin kerja yang sulit diperoleh. Umumnya karena mayoritas orang totok dari generasi sesudah Perang masih berkebangsaan asing (warga negara RRC atau tak punya kewarganegaraan). Sebagian dari mereka ingin menjadi warga negara Indonesia, tetapi hanya beberapa yang berhasil memperolehnya. Keyakinan agama kaum totok dari generasi sesudah Perang bermacam-macam. Sebelum kudeta 1965 kebanyakan tidak beragama atau ateis. Meskipn demikian dengan tekanan-tekanan terhadap gerakan radikal dan sayap kiri setelah 1965, terjadi kebangkitan kembali kepercayaan tradisional Cina. Para totok dari generasi sesudah Perang sering terlihat bersembahyang di kuil-kuil Cina dan tempattempat suci, seperti Tanjung Kait di awa Barat dan Gunung Kawi di Jawa Timur, untuk mendapatkan berkah sekaligus hiburan. *** Orang Tionghoa peranakan pada umumnya berorientasi ke Indonesia. Biasanya mereka mempersatukan dirinya dengan tempat kelahiran mereka di Indonesia, tidak dengan provinsi di Cina Selatan tempat asal nenek moyang. Bagi mereka pembagian menurut bahasa tidak relevan, karena kebanyakan mereka tidak lagi berbicara bahasa Cina. Walaupun begitu, orang peranakan tidak merupakan satu kelompok monolitik. Mereka cenderung menyamakan diri dengan daerah dari suku Indonesia tempat tinggal mereka. Orang peranakan dari Jawa Barat lebih dekat persamaannya dengan orang Sunda. Sering kelompok yang sudah menyatu ini juga mempunyai prasangka regional yang dimiliki oleh suku-suku Indonesia. Misalnya Tionghoa peranakan dari Jawa Barat tidak bergaul baik dengan sesama peranakan dari Jawa Tengah atau lawa Timur sejalan dengan psasangka orang Sunda terhadap orang Jawa. Wallupun begitu, kesenjangan kedaerahan di ,antara kaum peranakan kecil dibandingkan dengan kesenjangan antara drang peranakan dan orang totok pada umumnya. Orang Tiongkok totok, khususnya dari generasi tua kurang berorientasi ke Indonesia dibandingkan dengan orang peranakan Malah kebanyakan masih berorientasi ke Cina. Biasanya mereka berorientasi ke tempat kelahiran mereka di negara Cina atau, lebih sering lagi, ke tempat kelahiran orangtua mereka. Mereka terbagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan bahasa yang mereka gunakan. Orang totok lebih erat berhubungan dengan dan antara sesama mereka sekalipun beserta kelompok bahasanya, daripada dengan kaum peranakan. Banyak nasionalis Cina di Indonesia yang berusaha mempersatukan orang Tionghoa peranakan dengan totok, tetapi sering kali gagal, antara lain akibat mendalamnya perbedaan budaya yang ada antara kedua kelompok itu. Pergesekan antara kaum peranakan dan totok terbukti dengan makin menyurutnya gerakar pan-Cina dan timbulnya berbagai organisasi sosio politis dengan berbagai tujuan Orang Tionghoa peranakan sering mengeluh bahwa Tiong hoa totok mendominasi sektor-sektor perekonomian, dan yang menjadi korban adalah Tionghoa peranakan. Sebaliknya, Tionghoa totok juga mengatakan bahwa Tionhoa peranakan "tidak patritik" serta bertingkah laku "tidak seperti Cina". Tionghoa peranakan bersikap kritis terhadap totok, dan ketidaksenangan itu tampak sama juga dari pihak totok. Masyarakat totok berjumlah agak lebih besar dari masyarakat peranakan. Untuk sekadar bayangan, pada sensus tahun 1920, di Indonesia terdapat 809.000 orang Tionghoa, di antaranya 311.000 (38,4%) mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari (yaitu kaum peranakan). Lainnya 498.000 (61,6%) menggunakan bahasa Cina sebagai bahasa sehari-hari (yaitu kaum totok). Sensus itu menunjukkan bahwa di Jawa orang peranakan lebih banyak daripada totok (70,0%) sedangkan di lua Jawa sebagian besar terdiri dari orang-orang totok (90,0%) . *** Setelah mengamati masyarakat Tionghoa secara umum, menarik untuk secara lebih cermat meneliti kepemimpinan Tionghoa lokal guna memperoleh pemahaman yang menyeluruh mengenai minoritas itu. Dengan pengertian adanya keragaman orang Tionghoa lokal, dapat dimengerti bahwa pola kepemimpinan juga terpecah-pecah sesuai dengan pembagian antara peranakan dan totok. Istilah para pemimpin (atau kaum elite) di sini berarti "orang yang berada dalam kedudukan pengambil keputusan" "yang dianggap sebagai pemimpin", atau "mereka yang dapat mempengaruhi sikap orang lain". Para pemimpin Tionghoa lokal, sesuai dengan definisi ini, berarti mereka yang membuat keputusan di kalangan masyarakat Tionghoa, mereka yang dianggap sebagai pemimpin oleh para Tionghoa lokal, atau yang dapat mempengaruhi sikap orang Tionghoa. Para pemimpin Tionghoa itu sebelum Orde Baru terutama berasal dari organisasi yang dikuasai Tionghoa totok atau Tionghoa peranakan. Ada juga pemimpin Tionshoaal Kalangan organisasi yang sebagian besar anggotanya pribumi, tetapi mereka tentu perintah ada hubungan dengan organisasi Tionghoa atau dianggap juga sebagai pemimpin orang Tionghoa. Dengan munculnya Orde Baru, organisasi Tionghoa peranakan dan totok dilarang atau tidak diperbolehkan aktif bergerak. Orang Tionghoa hanya dapat memasuki organisasi yang bersifat-Indonesia karenanya "pemimpin-pemimpin Tionghoa" masa itu sebenarnya berasal dari organisasi Tionghoa yang sudah tidak berfungsi lagi atau organisasi non-Tionghoa. Dalam keadaan, demikian, perbedaan antara Tionghoa peranakan dan totok menjadi kian kabur dan akhirnya lenyap. Tapi dalam beberapa hal, perbedaan itu masih ada sehingga dengan demikian pembagian itu masi!h berguna untuk keperluan analisa. Harus juga disebut di sini sedikit tentang pendekatan yang dipakai untuk mengenali pemimpin Tionghoa iokal. Untuk mengenali anggota kaum elite pada umumnya, Richard hilerrift menganjurkan suatu metode yang menggabungkan kedudukan dengan reputasi. Metode itu dibuat untuk mengenali anggota kelompok elite umumnya, dan dalam hal itu dapat berguna untuk menganalisa pemimpin Tionghoa Indonesia. Sekali seorang peneliti menemukan organisasi sosial ekonomi atau sosial politik yang besar pada tiap-tiap masyarakat Tionghoa, ia dengan segera akan dapat menunjuk tanpa banyak kesulitan siapa-siapa pemimpin perorangan. Ada kalanya para pemimpin Tionghoa yang berpengaruh tidak mempunyai kedudukan formal dalam organisasi, tapi kekuasaan atau pengaruh mereka sudah dikenal atau diakui secara luas oleh masyarakat minoritas Tionghoa tersebut. Dalam hal itu kita bisa menyebut kasus "para cukong", yaitu pengusaha Tionghoa kaya yang bekerja sama dengan kaum elite yang memegang kekuasaan, khususnya dengan kaum elite militer. Organisasi sosial politik yang besar dari kaum peranakan mencakup organisasi dari masa sebelum Perang: THHK (Perhimpunan Tionghoa), kelompok Sin Po, CHH, PTI, dan organisasi dari masa setelah Perang: PT, PDTI, Baperki, dan LPKB. Lembaga politik yang besar dari masa sebelum Perang, seperti dewan-dewan provinsi dan Volksraad dalam masa Perang, yaitu Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia (BPKI) dan masa sesudah Perang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Kabinet Indonesia. Juga partai-partai politik Indonesia asli. Dengn menggunakan beberapa kategori tersebut di atas, terpilih 137 orang perana kan (dari masa sebelum dan sesudah Perang). Mayoritas para pemimpi pernah tinggal atau masih tinggar di Jawa, akibat Tionghoa perana kan memang terkonsentrasi di Jawa dan karena penelitian pada dasarnya dilakukan di Jawa saja. Ada 88 pemimpin kaum peranakan dari massa sebelum Perang dari sampel yang berjumlah 137. Di antara mereka hanya seorang yang tidak lahir di Indonesia. Sebagian besar memperoleh pendidikan Belanda dengan tingkat berbeda-beda, dan hanya beberapa yang berpendidikan sekola dengan bahasa pengantar Cina. Para pemimpin peranakan dari masa sebelum Perang terdiri dari kaum profesional yang terkemuka (termasuk wartawan) atau para pengusaha kaya yang serin ada hubungan dengan lembaga pendidikan setempat. Mereka mempunyai hubungan dengan pegawai Belanda atau dengan kaum politisi Indonesia yang terkemuka. Hubungan dengan para penguasa Belanda amat menentukan. Banyak di antara pemimpin peranakan dari masa sebelum Perang itu mempunyai hubungan dengan surat kabar peranakan sehingga pengaruh mereka meluas melalui media itu. Dengan tumbangnya pemerintahan kolonial, peranan para pemimpin peranakan itu tidak begitu saja berakhir. Sebanyak 31 di antara 88 orang itu tetap menjadi pemimpin masyarakat Tionghoa peranakan dalam alam Indonesia merdeka. Dalam pada itu, 49 orang adalah pemimpin baru yang menduduki posisi kepemimpinan setelah Indonesia merdeka, kecuali empat orang yang berdasarkan umurnya tergolong generasi peranakan masa sebelum Perang. Pola itu tetap demikian dalam memasuki tahun 1960-an. Dengan pensiunnya para peranakan dari generasi sebelum Perang di tahun-tahun 1970-an, masyarakat peranakan berangsur-angsur didominasi para pemimpin dari generasi sesudah Perang. Untuk keprluan ilustrasi, di bawah ini dikemukakan biografi beberapa orang yang duduk di pucukpimpinan dalam masyarakat Tionghoa peranakan. Pemilihan didasarkan pada arti keberadaan mereka dalam masyarakat tersebut serta tersedianya bahan mengenai mereka. Mereka adalah Kan Hok Hoei, Liem Koen Hiang, Ang Jan Goan, Siauw Giok Tjhan, Yap Thiam Hien, dan Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie). * * * KAN HOK HOEI Kan Hok Hoei (atau H.H. Kan) adalah seorang tuan tanah. Ia lahir pada tahun 1881 di Jakarta dan mendapat pendidikan Belanda sampai sekolah lanjutan. Mula-mula ia aktif di Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) dan kemudian di Dewan Kota Jakarta. Kekayaan dan kemampuannya berbahasa Belanda dengan cepat membuat dia jadi Tionghoa peranakan yang paling banyak berbicara secara terbuka di kalangan orang Belanda. Ia juga menjadi terkenal di antara anggota dewan setempat dan di antara orang Tionghoa yang diangkat Belanda. Menjelang pembentukan Volksraad dan ketika organisasi-organisasi Tionghoa Hindia Belanda memutuskan untuk tidak ikut mengambil bagian dalam dewan yang baru dibentuk tersebut (1917), Kan mau menerima pengangkatan sebagai wakil orang Tionghoa Hindia Belanda. Ia yakin bahwa kepentingan Tionghoa akan terlindungi di bawah pemerintahan penjajahan Belanda. Pada tahun 1918 dibentuk Komisi Studi untuk mempelajari struktur politik Hindia Belanda. Kan dan dua anggota lain berkebangsaan Belanda menyerahkan laporan yang menyetujui dipertahankannya status quo. Pada tahun 1927 ia menyatakan menentang usul agar mayoritas di Volksraad terdiri dari orang pribumi. Tindakan itu merupakan noda atas dirinya di mata para nasionalis Indonesia. Ketika Chung Hwa Hui didirikan tahun 1928, Kan terpilih menjadi ketua. Walaupun tanggapan koran Tionghoa peranakan tidak menyukai Kan, tiap tahun ia selalu terpilih kembali sampai CHH dibubarkan pada masa pendudukan Jepang. Pada tahun 1932 Kan dikirim oleh sebuah perusahaan Tionghoa lokal untuk mengunjungi negara Cina. Sepulangnya ke Jawa, hubungannya dengan konsul jenderal Cina menjadi makin dekat. Pada tahun 1934 di Hindia Belanda didirikan Federasi Siang Hwee atas perintah konsul jenderal negara Cina yang menjadi ketua kehormatan, dan Kan terpilih sebagai ketua. Anak perempuan Kan menikah dengan anak konsul jenderal itu. Gubernur jeneral Belanda tidak menyukai hubungan Kan dengan perhimpunan yangsebagian besar anggotanya totok tersebut, khususnya hubungan antara Kan dan Konsul Jenderal. Akhirnya Kan dipaksa meletakkan jabatan sebagai ketua Federasi Siang Hwee. Pada tahun 1935 pemerintah Belanda menganugerahi medali atas "jasa pengabdiannya yang besar", dan pada tahun berikutnya ia mengunjungi Negeri Belanda untuk mengusahakan hubungan yang lebih baik antara Tionghoa di Hindia Belanda dan Negeri Belanda. Kan tetap mendukung pemerintahan Belanda, dan pada tahun 1942 ia dipenjarakan Jepang karena kegiatannya yang anti-Jepang. Ia dilepaskan setelah Jepang takluk, dan meninggal pada tahun LIEM KOEN HIAN Liem Koen Hian dilahirkan di Banjarmasin (Kalimantan) pada tahun 1896. Ia menerima pendidikan sekolah dasar Belanda, kemudian dengan belajar sendiri berhasil lulus ujian masuk Sekoah Hukum di Jakarta. Seperti banyak wartawan Tionghoa peranakan lainnya, semula Liem adalah seorang nasionalis Cina. Ia menjadi ketua dewan redaksi koran-koran yang berkiblat ke Cina: Tjhoen Tjhioe (1915-1916), Soo Lim Po (1917), Sinar Sumatra (1918-1921), dan Pewarta Soerabaya (1921-1925). Ia meninggalkan pandangan nasionalis Cina-nya setelah pertengahan tahun 1920-an dan mengumumkan diri sebagai nasionalis Indonesia. Gagasan tentang nasionalisme Indonesia bagi orang Tionghoa peranakan dikembangkan dalam koran-koran yang dipimpinnya, Soeara Publiek (Surabaya, 1925-1929), Sin Jit Po/Sin Tit Po (Surabaya, 1929-1932 1939), dan Kong Hoa Po (Jakarta, 1937-1938) September 1932 ia dan Tionghoa peranakan lainnya berhasil mendirikan sebuah partai politik bagi kaum peranakan, yaitu Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang berpihak pada nasionalisme Indonesia dalam mengusahakan kemerdekaan Indonesia. Liem adalah ketua pertama organisasi tersebuit (1932-1933). Tahun 1937, ketika nartai Indonesia sayap kiri. Gerindo, membuka keanggotaan bagi kaum peranakan, Liem meninggalkan PTI dan menjadi anggota Gerindo. Liem menentang imperialisme Jepang, dan pada tahun 1938 merbitkan sebuah buku yang mencela Jepang. Ketika Jepang menduduki Jawa, ia ditahan beberapa waktu. Setelah dipebaskan ia diangkat menjadi anggota Komisi Penyelidik untuk Kemerdekaan Indonesia yang diprakarsai Jepang (tetapi diketuai Soekarno dan Hatta). Setelah Indonesia merdeka, Liem diangkat menjadi anggota Komite, Nasional Indonesa Pusat (1946) dan anggota delegasi Indonesia ke Konperensi Renville (1947). Lama-kelamaan ia makin tertarik kepada gerakan komunis di negara Cina. Ia menerjemahkan buku Gunther Stein, The Challenge of Red China yang (dalam kata pengantarnya) meramalkan kemenangan komunis atau Kuomintan, dan menerbitkannya pada bulan Juni 1949. Pada tahun 1950 ia membangkitkan kembali partai politik multirasial, yaitu Persatuan Tenaga Indonesia (atau PTIBaru) yang menyuarakan nasionalisme Indonesia. Pada tahun 1951 ia dicurigai sebagai komunis dan ditahan oleh pemerintahan Sukiman. Setelah dibebaskan ia menyatakan menolak kewarganegaraan Indonesia dan secara tidak langsung membuang konsep yang telah disuarakannya selama 20 tahun terakhir. Setahun kemudian ia meninggal di Medan sebagai seorang pengusaha yang memegang kewarganegaraan Cina. ANG IAN GOAN Ang Jan Goan dilahirkan 25 Mei 1894 di Bandung. Ia menguasai bahasa Melayu, Belanda, Inggris sedikit, dan Cina. Mula-mula Ang bersekolah di sekolah Melayu, kemudian ke sekolah THHK di tempat kelahirannya. Setelah menamatkan pendidikan dasar, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Chi-nan Wsueh-tang di negara Cina. Sebelum sekolahnya tamat, pecah revolusi tahun 1911. Ia kembali ke Jawa dan menjadi guru sekolah. Ia mengajar di beberana sekolah dasar berbahasa pengantar Cina di Jawa Baratdan menceburkan diri dalam organisasi THHK. Pada tahun 1918, Ang berkenalan dengan Tjoe Bou San yang menjadi pemimpin redaksi Sin Po. Ketika itu Ang masih menjadi guru. Kemudian mereka menjadi teman baik. Pada tahun 1922 ia meninggalkan sekolah THHK dan menjadi anggota dewan redaksi Sin Po November, 1925 Tjoe meninggal dengan tiba-tiba dan Kwee Kek Beng mengambil alih pimpinan redaksi, sedangkan Ang menjadi direktur yang dijabatnya sampai Sin Po berhenti terbit di tahun 1959. Pada tahun 1960 ia mendirikan Perusahaan Penerbitan Surya Prab yang meerbitkan Warta Bhakti sebuah harian beraliran kiri yang berpengaruh di Jakarta. Suratkabar itu kemudian ditutup pada Oktober 1965. Ang lalu jatuh sakit dan akhirnya pensiun. Pada akhir tahun 1960-an ia beremigrasi ke Kanada menyertai anak-anaknya. Ang adalah salah seorang tokoh penting di kalangan masyarakat Tionghoa. Ia menjadi anggota terkemuka berbagai organisasi orang Tionghoa (khususnya organisasi kaum peranakan) seperti THHK Jakarta, Siang Hwee Jakarta, Persatuan Tionghoa, PDTI, dan Baperki. SIAUW GIOK TIHAN Siauw Giok Tjhan lahir 3 Maret 1914 di Surabaya. Sebuah sumber mengatakan bahwa ia memperoleh pendidikan HBS (sekolah menengah Belanda), tetapi buku petunjuk resmi terbitan Baperki tahun 1955 tidak memberikan keterangan tentang latar pendidikannya. Pada tahun 1930-an ia berkenalan dengan Liem Koen Hian dan bergabung dengan PTI. Ia bekerja untuk sebuah harian kaum peranakan sebelum Perang, Mata Hari, dari tahun 1934 sampai 1942. Orientasinya yang kekiri-kirian tampak pada masa tersebut. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Siauw ikut dalam pergerakan di bawah tanah. Pada masa revolusi Indonesia, Siauw memihak kaum nasionalis ndonesia. Ia diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat pada tahun 1946, dan tahun berikutnya menjadi menteri tanpa portfolio untuk rusan peranakan. Mungkin Siauw menjadi anggota PKI yang ilegal sebelum Perang Dunia II. Setelah terjadi Peristiwa Madiun tahun 1948 ia dicurigai terlibat dalam pemberontakan PKI dan dipenjarakan oleh penguasa Indonesia. Tak lama kemudian ia dibebaskan dan aktif kembali dalam arena politik Indonesia. Mula-mula ia ditunjuk dan kemudian terpilih sebagai anggota parlemen Indonesia mewakili kaum minoritas Tionghoa dari tahun 1950 sampai 1966, letika secara resmi ia tersingkir dari jabatan tersebut karena dituduh terlibat Kudeta 1965: Karier Siauw sebagai jurnalis setelah Perang Dunia II tidak begitu menonjol. Selama revolusi Indonesia ia menjadi redaksi Liberty dan Pemoeda. Dari tahun 1950 sampai 1953 bekerja sebagai direktur Harian Rakjat, koran resmi PKI. Ia juga menjadi redaktur Republik, harian resmi Baperki pada tahun 1950-an . Tahun 1954 ia ikut mendirikan Baperki, organisasi sosial politik kaum peranakan yang berpengaruh pada masa "Demokrasi Terpimpin", dan terpilih menjadi ketua pengurus pusatnya. Ia tetap memegang jabatan itu sampai Baperki dilarang tahun 1965. YAP THIAM HIEN Yap yang lahir 25 Mei 1913 di Banda Aceh (Aceh adalah seorang Kristen Protestan. Mulamula ia bersekolah di Sekolah Guru Belanda Tionghoa di Jatinegara, kemudian masuk ke Sekolah Hukum di Jakarta, dan melanjutkan pendidikan hukumnya di Universitas Leiden hingga memperoleh gelar sarjana hukum (Mr.). Sebelum berpraktek di bidang hukum, Yap mengajar di berbagai sekolah menengah atas Kristen (1934-1942). Latar kekristenannya itu menyebabkan ia giat dalam pergerakan Kristen, khususnya Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (Perhimpunan Tionghoa Kristen) di Jawa Barat. Ia ikut mendirikan, dan kemudian menjadi ketua, Komisi Pendidikan Gereja Kristen Indonesia sejak tahun 1950. sampai 1957. Kegiatannya tidak terbatas pada organisasi Kristen. Pada tahun 1954 ia ikut mendirikan Baperki dan terpilih sebagai wakil ketua pengurus pusatnya. Dengan "karcis" Baperki Yap maju dalam pencalonan keanggotaan parlemen pada Pemilihan Umum 1955, tetapi mengundurkan diri sebelum pemilihan berlangsung. Ia tetap menjadi anggota Baperki, tetapi tidak lagi menduduki jabatan tinggi. Yap terkenal sebagai ahli hukum. Ia menjadi seorang tokoh yang kontroversial pada waktu bertindak sebagai penasihat hukum Liem Koe Nio, seorang jutawan pro-Kuomintang pada masa pemerintahan Soekarno yang berkecenderungan kiri. Pada tahun 1966 ia kembali disebut-sebut dalam berita utama surat kabar ketika mnerima pengangkatan yang ditawarkan oleh penguasa Indonesia yang baru untuk menjadi penasihat hukum dalam pengadilan Dr. Subandrio. wakil perdana menteri pertama Kabinet Soekarno. Untuk keberanian dan penampilannya yang brilyan dalam sidang-sidang pengadilan tersebut, Yap memperoleh pengakuan internasional. Sebenarnya ia telah secara terbuka mengemukakan penyakit-penyakit sosial Indonesia, dan beberapa kali ditahan karena berbagai tuduhan. Saat ini ia menduduki jabatan-jabatan berikut: sekretaris Lembaga Penegakan Hak-Hak Asasi, ketua Komisi Pelayanan dan Kerja Sama Antar-Gereja dalam Dewan Gereja-Gereja di Indonesia, ketua Yayasan Universitas Kristen, salah seorang wakil ketua Bidang Bantuan Antar-Gereja, Bantuan untuk para Pengungsi dan Pelayanan dari Dewan Gereja Sedunia, serta terpilih sebagai anggota dalam Komisi Ahli Hukum Internasional . JUSUF WANANDI Jusuf Wanandi dikenal juga denan nama Liem Bian Kie. Ia lahir di Sawahlunto (Sumatera Barat) pada tahun 1937. Dibesarkan sebagi seorang Katolik, ia menerima pendidikan sekolaih menengah di sekolah lanjutan Katolik di Jakarta dan belajar ilmu hukum di Universitas Indonesia di Jakarta sampai memperoleh gelar sarjana hukum (S.H.). Mula-mula Jusuf aktif dalam gerakan mahasiswa Katolik, PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Tak lana kemudian ia menjadi pemimpin dalam organisasi ni. Adiknya, Liem Bian Khoen (Sofjan Wanandi), juga adalah pemimpin yan menonjol dalam organisasi yang sama. Di bawah kpemimpinannya PMKRI dapat memainkan perahan penting dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAII) yang terbentuk sebelum kejatuhan Soekarnol Pada waktu itu Liem berkenalan dengan seorarg jenderal Angkatan Darat, Ali Murtopo. Ketika Seharto menjadi presiden, Ali Murtopo ditunjuk sebagai asisten pribadi Presiden Soeharto untuk urusan khusus. Jusuf dijadikan asisten Ali Murtopo. Antara tahun 1967 dan 1971 iamenjaii anggota DPR dan-MPRS. Ketika Golkar (Golongan Karya), yaitu partai pemerintah, dibentuk menjelang Pemilihan Umum 1971, Jusuf Wanandi memainkan peranan cukup penting dan menjadi wakil sekretaris jenderal pengurus pusatnya. Tahun 1971 Jusuf dan para cendekiawan lain yang pro-Angkatan Darat mendirikan Centre for Strateic and International Studies (CSIS atau Yayasan Proklamasi). Organisasi itu didukung oleh Ali Murtopo, dan melakukan penelitian-penelitian untuk pemerintah Indonesia. Mei 1973 Jusuf Wanandi dan anggota penting lainnya dari CSIS melakukan perjalanan keliling Amerika Serikat untuk menjelaskan dan mempertahankan berbagai kebijaksanaan Soeharto. * * * Para pemimpin masyarakat Tionghoa totok adalah mereka yang pernah atau masih merupakan "cukong" atau orang yang terlibat dalam satu atau beberapa organisasi atau lembaga. Organisasi sosial politik yang besar, termasuk di dalamnya organisasi sebelum Perang, seperti Siang Hwee, Kuomintang dan perhimpunan yang terbentuk sesudah Perang seperti Chung Hwa Tsung Hui, Ch'iao Lien, Ch'iao Tsung, National Development Corporaion (NDC, Lembaga Pengembangan Nasional) dan Badan Kontak Urusan Cina. Juga lembaga politik utama di Taipei (Kongres Nasional Kuomintang) atau Peking (Dewan Rakyat Republik Rakyat Cina). Serta perhimpunan yang terbentuk menurut golongan bahasa Cina yang dipergunakan. Didasarkan pada kriteria di atas, terpilih 57 orang Tionhoa totok dari masa sebelum dan sesudah Perang. Mengenai para pemimpin Tionghoa peranakan, sampel yang dipakai tidak sepenuhnya benar karena mereka terpusat di Jawa. Dari antara 57 pemimpin Tionghoa totok tersebut terdapat 25 orang yang waktu sebelum Perang Dunia II. Mereka terutama terdiri dari pengusaha kaya yang juga menjadi pemimpin perhimpunan-perhimpunan menurut pengelompokan bahasa serta orgnisasi lain yang beranggotakan sebagian besar totok. Kedarmawanan serta hubungan mereka dengan para pejabat Cina Kuomintang menjadi unsur penentu bagi pemegang kepemimpinan di kalangan masyarakat totok. Dari antara ke-25 pemimpin totok sebelum Perang, 18 orang terus aktif pada masa sesudah Perang, atau sekurang-kurangnya selama tahun 1950-an. Hanya sediki yang tetap aktif pada tahun-tahun 1960-an dan 1970-an. Ada 40 pemimpin yang giat di kalangan Tionghoa totok sete Iah Perang 22orang di antara nya baru muncul sebagai pemimpin pada masa itu - walaupun dalam hal umur mereka tergolong orang totok dari generasi sebelum Perang. Para totok dari generasi setelah Perang belum dapat merebut kepemimpinan karena da sebab: mereka masih agak terlalu muda, dan situasi setelah 1965 tidak menguntungkan untuk masyarakat Tionghoa totok. Para pejabat Indonesia melarang berbagai organisasi totok bergerak. Penting dicatat bahwa orientasi politis dari kepemimpinan totok setelah 1949 terbagi ke dua kelompok: yang pro-Taipei dan yang pro-Peking. Kelompok yang pro-Taipei memperoleh pengaruh setelah kudeta tahun 1965. Di bawah ini dipaparkan biografi singkat beberapa pemimpin puncak masyarakat totok. Pemilihan yang diadakan kurang lebih bersifat manasuka karena ditentukan sebagian oleh tersedianya bahan dan sebagian lagi oleh penilaian pribadi. Mereka itu adalah Tjung See Gan, Hioe Njan Joeng, Soeto Tjan, dan Liem Sioe (Soe) Liong. TJUNG SEE GAN Tjung See Gan lahir tahun 1885 di Nan-ching, Fukien. Ia datang di Jawa pada usia 21 tahun dan mula-mula bekerja pada sebuah perusahaan Tionghoa lokal (Soey Hong) sebagai klerk. Sejak 1917 ia mendirikan perusahaan sendiri, Tjoan Bie, yang khusus berkecimpung dalam perdagangan tekstil. Ia berprakarsa membentuk perhimpunan para eksportir Tionghoa di Jawa dan terpilih menjadi ketuanya. Tjung aktif dalam masyarakat Tionghoa totok. Ia menjadi ketua Fukien Huikuan di Jakarta selama dua masa jabatan berturut-turut sebelum pecah Perang Dunia II, kemudian menjadi wakil ketua Federasi Perhimpunan Fukien di Asia Tenggara. Dari tahun 1928 sampai 1932 ia terpilih menjadi ketua Siang Hwee-Jakarta dan dari tahun 1935-1937 menjadi wakil ketua THHK-Jakarta. Tjung juga aktif dalam politik. Mula-mula ia bergabung dengan T'ung-meng Hui dan kemudian dengan Kuomintang Cabang Jakarta. Ketika Perang Cina-Jepang berkobar ia menjadi pemimpin Komisi Dana Bantuan untuk Cina (dana yang dipergunakan untuk.mendukung Cina melawan invasi Jepang) di Jakarta. Tahun 1940 ia mewakili orang Tionghoa perantauan di Asia Tenggara berkunjung ke negara Cina untuk memberikan semangat kepada para prajurit yang terluka dan para pengungsi. Ia juga menjadi anggota Komite Pusat Tionghoa perantauan dan Kongres Nasional Cina (Kuomintang). Selama masa pendudukan Jepang di Jawa, Tjung ditahan dan dipenjarakan. Ia dilepaskan pada tahun 1945 dan aktif kembali dalam masyarakat totok. Ia ikut serta dalam pembentukan Shang Lien pada tahun 1948 dan terpilih sebagai wakil ketua Pengurus Sekolah Menengah Atas Kao Shang. HIOE NJAN JOENG Hioe Njan Joeng adalah seorang Hakka. Ia lahir tahun 1895 di Mei-hsien, Kwantung. Walaupun hanya sedikit mendapat pendidikan formal, ia mampu membaca dan menulis Cina dengan amat baik. Ia tiba di Jawa pada usia 18 tahun, dan bekerja sebagai kerani. Dalam waktu singkat, ia telah menjadi pengusaha yang bergerak di bidang tekstil dan kemudian juga dalam berbagai usaha lain. Sebagaimana banyak orang kaya Hakka lainnya di Jakarta, ia juga menjadi anggota terkemuka Kuomintang. Menjelang.Perang Dunia II ia telah banyak dikenal di kalangan masyarakat totok, teristimewa di kalangan pengusaha. Dari tahun 1936 sampai 1940 Hioe terpilih menjadi ketua Shiang Hwee-Jakarta. Pada tahun 1942 dan 1946 ia terpilihlmenjadi ketua Hua-ch'iao kung-hui, organisasi orang totol yang kebanyakan anggotanya' Hakka. Hioe giat dalam kampanye anti-Jepang. Ia menjadi ketua Komite Dana Bantuan untuk Cina. Ketika Jepang menduduki Jawa, Hioe ditahan di kamp tawanan. Setelah Perang Dunia, ia kembali giat, mula-mula ketika pembentukan Shang Lien dan kemudian. (1950-an) di Sekolah Kao Shang yang disponsori Shang Lien. Sebelum tahun 1958 ia juga menjadi ketua badan pengurus sebuah Sekolah Menengah Atas yang pro-Kuomintang, yaitu Chung-san chung-hsueh. Tahun 1958 ia ditahan pemerintah I ndonesia sehubungan dengan kampanye anti-Kuomintang sesudah terjadi pemberontakan PRRI-Permesta. Kemudian ia dibebaskan dan tetap tinggal di Indonesia. Setelah kudeta PKI 1965, ketika Proyek Khusus Sekolah-Sekolah Nasional untuk anak-anak Tionghoa asing diusulkan, Hioe ikut mendukung. Sekarang ia sudah tidak giat. SOETO TJAN. Ia lahir di K'ai-p'ing, Kwantung. Soeto Tjan datang ke Indonesia pada usia yang amat muda. Ia kembali ke Cina untuk belajar di Chi-nan Hsueh-t'ang (Kay Lam Hak Tong) yang terletak di Nanking. Setelah tamat ia diangkat menjadi kepala sebuah sekolah ber bahasa Cina di Muntilan pada tahun 1921. Tahu'n 1930-an ia menjadi kepala sekolah Kuangrien di Jakarr ta yang disponsori Perhimpunan Oran-Orang Kan-, ton (Kuang-shao hui-kuan). Pada masa perang Cina. Jepang ia aktif di Fu-shing She, sebuah organisas anti-Jepang. Pada masa pendudukn Jepang di Jawa, ia dan anaknya, Mei-sen, ditahan. Tahun 1950 ia di. singkirkan dari Kuang-shao hui-kuan karena sikapnya, van oro-RRC. Pada tahun 1950-an ia menjadi kepala sebuah sekolah besar berbahasa Cina di Jakarta, Pa-ch'eng chung-hsueh, dan tahun 1956 menjadi wakil ketua Ch'iao Tsung (Perhimpunan Organisasi-Organisasi Tionghoa Umum), kemudian menjadi ketuanya. Tahun 1960 ia menunjukkan sikap amat kritis atas kebijaksanaan Indonesia terhadap minoritas Tionghoa. Akibatnya, ia dipaksa meninggalkan Indonesia. Tahun 1962 ia bekerja pada Chi-nan ta-hsueh di Kanton, melakukan penelitian tentang Asia Tenggara. Cukup menarik bahwa Mei-sen, anak laki-lakinya, bekerja untuk Presiden Soekarno sebagai penerjemah pada awal tahun 1960-an. Mei-sen juga dipaksa meninggalkan Indonesia setelah kudeta PKI 1965. LIEM SIOE (SOE) LIONG Liem Sioe (Soe) Liong, alias Sudono Salim, dikenal sebagai salah, seorang cukong - pengusaha Tionghoa kaya yang bekerja sama dengan kaum elite pemerintahan - yang paling berpengaruh. Ia lahir di Kudus, Jawa Tengah (sebuah sumber mengatakan di Fukien), pada tahun 1916. Sebelum Perang Dunia II ia tidak begitu dikenal di antara orang Tionghoa namanya melejit pada masa revolusi Indonesia. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, ia menyelundupkan amunisi ke daerah-daerah Republik dan berteman baik dengan banyak tokoh militer yang kemudian menjadi jenderal dalam lain Indonesia merdeka. Selama pemerintahan Soekarno, ia dikabarkan pernah mengangkat mertua Soekarno, yaitu Hassan Din, menjadi direktur salah satu perusahaannya. Setelah kudeta 1965, bintangnya cepat menanjak. Operasinya meliputi berbagai sektor besar: dikabarkan bahwa ia mempunyai bagian-bagian saham besar dalam kira-kira 50 perusahaan besar, antara lain tiga bank (BankWindu Kencana, BankWaringin Kencana, dan Bank Central Asia), dua perusahaan angkutan udara (Seulawah Airlines danl Mandala Airlines), satu pablrik penggilingan gandur PT Bogasari), satu perusahaan tekstil (Tarumatex, serta banyak restoran dan klub malam. Contoh-contoh para peimpin peranakan dan totok itu melukiskan perbedaan sifat mereka. Semua pemimpin pernakan yang dikemukakan dilahirkan di Indonesia. Mayoritas terlahir di Jawa, tetapi beberapa lainnya - seperti Liem Koen Hian, Yap Thiam Hien, dan Jusuf Wanandi - lahir di luar Jawa. Walaupun demikian, kelompok itu baru menjadi terkenal setelah mreka datang ke Jaw. Kecuali Ang, semuanya mendapat pendidikan non-Cina. Bagian terbesar pemimpin kaum peranakan berpendidikan tinggi dan berkecenderungan menjauh dari bidang komersial. Kerja sama mereka dengan kaum elite yang berkuasa sering berlangsung di sektor nonkomersial. Beberapa di antaranya (Yap Thiam Hien dan Jusuf Wanandi) giat dalam organisasi-oranisasi Kristen. Hal itu juga membedakan mereka dari para pemimpin totok. Biografi para pemimpin totok memperlihatkar bahwa sebagian besar dari mereka lahir di negara Cina - kecuali mungkin Liem Sioe (Soe) Liong. Mereka semuanya menerima pendidikan Tionghoa, dan paling banyak bekerja di bidang perdagangan. Mudah dipahami bahwa kerja sama mereka dengan elite yang berkuasa terjadi di sektor komersial. Di samping itu setelah 1949 mereka berafiliasi dengan Taipei atau dengan Peking, dan tidak ada yang beragama Kristen. Juga terdapat perbedaan sikap terhadap Jepang antara para pemimpin Tionghoa peranakan sebelum Perang dan para pemimpin Cina totok. Pemimpin peranakan kurang anti-Jepang dibandingkan dengan totok, dan karenanya memperoleh perlakuan yang lebih lunak. Orang Tionghoa peranakan dan totok tidak mempunyai pemimpin yang sama. Memang benar bahwa sebelum Perang Dunia II sangat sedikit orang Tionghoa yang menyeberangi garis pisah antara peranakan dan totok seperti yang diperbuat oleh Ang Jan Goan atau, dengan kadar lebih kecil, oleh H.H. Kan. Garis pisah itu menjadi makin nyata setelah Perang Dunia II. Sumber kepemimpinan kompleks sekali. Bagi peranakan, pendidikan profesional (dalam pengertian Barat) penting sekali, walaupun tak berarti bahwa kekayaan tidak penting. Di samping itu, hubungan mereka dengan penguasa (Belanda dan pejabat Cina pada waktu Indonesia dijajah, para pejabat dan elite yang berkuasa pada masa Indonesia merdeka) merupakan hal yang amat penting dan menentukan. Hubungan dengan pejabat RRC, dalam hal itu merupakan kerugian. Karena itu, banyak di antara mereka sama sekali tidak berusaha mengadakan hubungan dengan RRC. Bahkan mereka menaruh dendam terhadap RRC karena perbedaan ideologi. Sebelum 1965, dan khususnya sebelum Perang Dunia II, pengabdian kepada perhimpunan yang didasarkan kelompok bahasa, bagi para pemimpin Tionghoa totok, amat penting. Memang banyak di antara pemimpin totok juga menjadi ketua perhimpunan yang didasarkan kelompok bahasa. Kekayaan lebih dipandang tinggi daripada keterampilan profesional dalam menilai kepemimpinan pada kelompok ini. Hubungan mereka dengan pejabat pemerintahan (pegawai Cina dan Belanda pada zaman kolonial pejabat Cina di Peking atau Taipei, serta pejabat Indonesia pada zaman kemerdekaan) juga menentukan. Baik para pemimpin peranakan maupun pemimpin totok umumnya memberikan perhatian khusus kepada pendidikan orang Tionghoa lokal. Di antara pemimpin itu banyak yang punya hubungan dengan berbagai macam lembaga pendidikan. Para pemimpin kaum peranakan berhubungan dengan sekolah-sekolah berbahasa Indonesia, sedangkan pemimpin totok giat dalam sekolah-sekolah berbahasa Cina. Juga penting diketengahkan bahwa para pemimpin peranakan punya hubungan dengan organisasi yang beranggotakan orang bukan Tionghoa, dan, seperti disebutkan di muka, beberapa orang bahkan menjadi pemimpin organisasi kaum pribumi Indonesia. Orde Baru merupakan suatu permulaan masa baru bagi golongan Tionghoa. Karena tidak ada lagi sekolah dan organisasi sosial atau politis Tionghoa, maka baik pemimpin peranakan maupun totok berangsur-angsur terlibat dalam organisasi non-Cina. Juga dikotomi yang ada di kalangan kepemimpinan Tionghoa akan berangsur-angsur kehilangan artinya antara lain karena makin banyak Tionghoa totok yang "lebih menyerupai peranakan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus