BERNARDUS sedang mengukir perisai. Kaki kirinya menindih bagian atas bidang kayu: tangan kiri memegang alat ukir, dan tangan kanan siap dengan sepotong kayu. Tiap ia memukulkan kayu di tangan kanannya ke gagang alat ukir, dengan telaten alat ukirnya mencungkil, menggores, dan membuat lekukan. Di sudut lain, Urbanus yang bertubuh besar duduk tekun menghaluskan hiasan untuk haluan kapal dengan semacam pahat pipih. Seharusnya hiasan itu berupa tiga manusia. Tapi satu kepala patah, menunggu dilem. "Kayu Jawa mudah patah," katanya. Di sampingnya, Simon duduk membisu, mengerjakan quramon, perahu arwah adituk upacara suku Asmat. Mereka bertiga dan dua belas paitua (kira-kira berarti saudara) Asmat yang lain bukan sedang mengerjakan ukiran di pantai selatan Irian Jaya, daerah Asmat. Para seniman ukir Asmat itu - atas prakarsa harian Kompas Pemerintah Daerah Irian Jaya, dan Direktorat Jenderal Kebudayaan - diminta mendemonstrasikan kepandaian mereka pada Pameran Seni dan Seniman Asmat, 9-16 Agustus ini, di Wisma Seni Nasional, Jakarta Pusat. Di sebuah rumah besar dengan halaman luas, tempat mereka menginap sambil menyiapkan beberapa patung, tampaknya mereka bekerja biasa-biasa saja, seperti di rumah sendiri. Lingkungan fisik mungkin memang tak banyak berpengaruh bagi seniman Asmat. Sumber kreasi mereka bukan di alam sekeliling, tapi tersimpan dalam lubuk hati masing-masing. Brangkali ini sebabnya, tanpa peduli tempt dan waktu, para ahli ukir itu bisa bekerja dengan enak. Dan ini pula sebabnya hingga hari ini di kawasan Asmat masih saja dihasilkan karya-karya ukir (demikian Urbanus menyebut baik karyaperisai yang dua dimensi maupun patung yang tiga dimensi) seperti karya ukir nenek moyang mereka. Seperti terlihat pada pameran irian, 600-an. karya ukir Asmat itu, yang terdiri dari sekitar 20 jenis barang - dari alat perang, seperti tombak, piring untuk makan sagu, sampai terompet dari bambu berukir - adalah karya 1970-an. Karya itu sepintas masih saja tak berbeda dengan karya-karya ukir Asmat, misalnya, seratus tahun yang lalu. Tapi sesungguhnya perbedaan tak terelakkan. Bernardus, 25, sendiri yang mengatakan itu. Datangnya alat jalat ukir dari logam yang lebih tajam - semla mereka mengukir dengan tulang burung kasuari - menjadikan "ukiran lebih licin dan bagus bentuknya". Di sisi kanan ruang Wisma Seni Nasional dipamerkan berpuluh patung setinggi kira-kira setengah meter. Ada bentuk orang jongkok, yang secara proporsional tangannya terasa lebih panjang. "Tapi masih lebih panjang dan melengkung ukiran bapak saya," tutur Urbanus. Yang menarik lagi, kepala patung, menurut Urbanus pula, lebih bulat dibandingkan patung-patung Asmat dulu. Tapi tak berarti ada perubahan konsep penciptaan. Konsep - atau lebih tepat sumber daya kreasi orang Asmat - tetap saja tersimpan secara rahasia dalam relung hati mereka, terjaga dari segala hiruk-pikuk perubahan duniawi. Rahasia ini, kata Bernardus, diturunkan oleh bapak (yang pengukir) kepada anak lelakinya ketika si anak telah dianggap akilbalig, sekitar usia 14 tahun. Dan mereka sangat yakin, "Bila rahasia ini diketahui orang di luar Asmat, kami tak lagi bisa mengukir." Keyakinan itu meresap. Tapi suku Asmat memang identik dengan karya ukir mereka. Lebih dari sekadar kekayaan spiritual, hasil ukir itu sebenarnya adalah spirit hidup mereka. Tanpa ukiran, "Asmat bisa hilang tiada arti," kata Bernardus pula. Ukiran itulah yang menghubungkan mereka dengan nenek moyang, dengan dunia roh. Meski bentuk patung orang karya wow-ipits - demikian para ahli ukir Asmat disebut - bukan merupakan potret seseorang, bagi pembuat atau pemiliknya itu adalah potrrt orang tertentu yang telah meninggal. Dan patung itulah yang mencoba menuntun arwah si mati menuju safan, yaitu dunia tenteram para arwah, tempat matahari terbenam dan tempat laut bersatu dengan langit. Tapi zaman berubah, "Sejak ada pemerintahan di Asmat, Bapak-Bapak membeli ukiran kami." Dan yang menyedihkan mereka, bapak-bapak itu ternyata mencari ukiran yang asli. Artinya, patung-patung Asmat yang sebenarnya diciptakan untuk mengenang para leluhur Asmat, atau ukiran yang punya makna dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebenarnya, orang Asmat pun kemudian membuat ukiran khusus untuk dijual. Dan mereka sendiri dengan jujur menilai, yang untuk dijual "kurang mantap", meskipun dari segi bentuk boleh dikatakan tak ada bedanya dengan hasil ukiran untuk keperluan upacara arwah, misalnya. Dan, yang untuk dijual tak harus selalu rendah nilainya. Seperti bisa dilihat dalam pameran ini, banyak juga karya bagus dilihat dari sudut pandangan seni rupa modern. Patung-patung manusia susun, terutama, tak lagi selalu digambarkan dalam sikap tegak. Kini ada pula manusia susun yang tiap manusianya dipatungkan dengan sikap agak membungkuk. Wuramon sepanjang lima setengah meter - ketika dibawa ke Jakarta harus dipotong jadi empat bagian - tetap memberikan citra dunia magis dan dunia roh. Tapi Asmat memang tak bisa terus bertahan dari dunia luar. Di satu bagian dari pameran ini, di antara bau tanah hutan Asmat, ternyata bisa muncul Bunda Maria dan Yesus disalib dengan damainya. Entah sejak kapan, Bernardus tak bisa menceritakan, "Bapak Uskup juga minta dibikinkan patung Yesus untuk dipasang di gereja." Konon, pada mulanya mereka pun bingung. Sebab, bila pengukir Asmat memahat manusia, meski orang lain - bahkan sesama Asmat pun - tak tahu figur siapa yang tengah dipahatkan, tapi dalam kepada si pengukit ia sedang memahatkan wajah orang tertentu. Lalu bagaimana mereka harus memahat Yesus dan Bunda Maria, sementara mereka tak pernah bertemu dengan keduanya? Tak seruwet yang dibayangkan, para wow-ipits itu ternyata tangkas mengambil keputusan. "Kami melihat dulu contoh patung Yesus dan Bunda Maria punya Bapak Uskup, lalu kami membuatnya sendiri! tutur Urbanus. Jadinya, Yesus dan Bunda Maria dengan wajah Asmat: berkepala agak pipih, kedua mata bertemu di batas hidung. Yang sulit ditebak - karena mereka tak mau memberi jawaban - adakah orang Asmat, yang telah masuk Katolik, menghargai patung Yesus senilai dengan patung nenek moyang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini