Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR 4.000 orang kini sedang terlibat kegiatan "bawah tanah" di Cirata daerah bergunung-gunung 6 km dari Desa Ciantin, di jalan rava Bandung-Purwakarta, Jawa Barat. Mereka, 190 tenaga ahli Indonesia dan Jepang, 15 tenaga pengawas dari PLN, dan sisanya buruh kasar, berkutat menggarap PLTA Cirata, kedua terbesar setelah PLTA Saguling di aliran Sungai Citarum, yang diharapkan beroperasi mulai April 1988.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berelevasi 200 meter dari muka laut, di antara PLTA Saguling dan PLTA Juanda Jatiluhur), waduk Cirata memiliki dua keunikan. Pertama, pembuatan bendungan dengan metode concreteface (CF). Kedua, pembuatan poer house (PH) di bawah tanah dengan metode New Austrian Tunneling Method (NATM). Benarkah, seperti pernah diberitakan, proyek terowongan Cirata terbesar di dunia? "Saya sendiri tidak pasti," sahut Soetomo Siswowidiono, kepala. Proyek PLTA Cirata, Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibandingkan dengan proyek serupa di Imaichi Jepang, yang panjangnya 140 meter, Cirata yang 2S meter memang unggul. Penampang kedua terowongan itu sama, lebar 35 meter dan tinggi 50 meter. Terowongan Cirata, dengan tinggi jatuh air 140 meter, berada sekitar IOC meter di bawah tanah. Proyek lima tahun ini menyerap investasi US$ 600 juta. Sekitar US$ 274 juta datang dari International Bank for Reconstruction and Development, sekitar ? 13 juta dari Commonwealth Development Coorporation, dan sisanya dicukupi pemintah Indonesia.
Lokasi Cirata memang dipilih dari segi potensial. Menurut konsultan New Japan Engineering (Jepang) dan Indora Karya (Indonesia), lokasi itu paling optimum bagi proyek sejenis. Penelitian awal terhadap struktur geologi, yang sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaan, sampai terowongan mencapai 150 meter sekarang, ternyata akurat. Pola morfologi yang curam memang tidak memungkinkan PH di permukaan tanah bagi Cirata. Penggunaan metode CF untuk bendungan memang baru pertama kali ini diterapkan di Indonesia. Dengan cara konvensionai, tubuh bendungan terdiri dari urukan batu dan lempung untuk menahan rembesan air.
Dengan CF, urukan batu tetap dipakai, tetapi bagian luarnya dilumuri beton cor sebagai lapisan kedap air. Batu dari jenis breksi (brecaa) diambil dari Gunung Pasir Cantayan, sedangkan batuan andosit untuk campuran beton dikeruk dari Gunung Aseupan, 10 km dari lokasi. Seperti halnya Saguling, Cirata dikhususkan untuk PLTA, pariwisata, dan akuakultur. Tahap pertama akan membangkitkan daya 500 MW.
Tahap kedua sama besarnya. Sedangkan ruang bawah tanah untuk PH sudah disediakan sampai tahap kedua. Dengan besar energi 1.428.000 MWH/tahun, Cirata bisa menyalurkan dayanya ke seluruh Pulau Jawa. "Sebenarnya, pembangkit tenaga listrik yang ada sekarang sudah mencukupi kebutuhan Pulau Jawa," ujar Soetomo, lulusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro (1967).
Cirata, seperti halnya Saguling, diharapkan mentransmisikan tegangan ekstratinggi (500 KV) hanya untuk memikul beban puncak pada kurva beban harian, sekitar tujuh jam antara pukul 16.00 dan pukul 23.00. Karena itu, proyek seperti ini disebut "kilang tenaga puncak" (PPP). Metode NATM yang digunakan membanun terowongan termasuk cara paling baru, lebih praktis, dan ekonomis.
Menurut cara konvensional, mula-mula rongga dibuat dengan ledakan. Rongga itu kemudian disangga dengan baja, untuk mencegah deformasi batuan. Baru setelah itu, beton dicorkan untuk membentuk terowongan. Dengan NATM, rongga yang sudah terbuka oleh ledakan langsung ditembak dengan cairan semen. Kemudian dipaku dengan rock bolt, yang berfungsi sebagai pengikat dan penyatu atap terowongan. Lalu dipasang kasa besi bujur sangkar, ditembak lagi dengan semen setebal 8 cm, dibor di beberapa tempat, diinjeksi dengan cairan beton sedalam sekitar 20 meter.
Proses terakhir ini mampu menahan beban 100 ton. "NATM meman lebih cepat, lebih praktis dan efisien," kata Made Astawa Rai, satu dari hanya dua doktor rock mechanic Indonesia. Made, staf pengajar di Jurusan Tambang, Fakultas Teknik Industri, ITB, menganggap, "NATM cocok untuk terowongan raksasa seperti Cirata." Metode ini pertama kali dikembangkan di Austria untuk terowongan jalan dan kereta api bawah tanah.
Proyek PPP ini memang menarik beberapa keuntungan, terutama penggunaan energi nonmlgas. Di samping itu, pelayanan jam puncak (peak hour) melalui PLTU lain membutuhkan pemanasan, dan dengan demikian menjadi Tambat."Kelambatan pada jenis PLTU berarti pemborosan uang," tutur Soetomo, yang pernah mengeeap pendidikan tambahan di Institut Hidrolik dan Reka Yasa Lingkunan di Delft Negeri Belanda.
Proses pemutaran turbin memang tidak berbeda dari PLTA sejenis. Air dimasukkan melalui dua intake yang berjarak 4 km di hulu bendung. Setelah melintasi dua headrace tunnel (terowongan pusat pembangkit) dan tangki pendatar, air tiba di empat pipa pesat, dan langsung memutar turbin. Air "sisa" keluar melalui empat saluran, balik ke Sungai Citarum.
Turbin yang digunakan empat buah, dari tipe Francis dengan poros tegak, kapasitas 129,6 MW, putaran 187,5 RPM. Generatornya juga empat, dengan tipe Umbrella, kapasitas 140 MVA, tegangan 16,5 KV, dan frekuensi 50 Hz. Pusat pembangkit ini dilengkapi dua unit trafo utama tipe outdoor, dengan kapasitas 280 MVA tegangan 16,5 KV/500 KV, dan sistem pendingin sirkulasi oli dan hembusan udara.
Waduk Cirata, dengan luas 62 km2, muka air tertinggi 223 meter, kapasitas 2.165 juta m3, dan debit maksimal 540 m3/detik, juga dikaitkan dengan program akuakultur. Misalnya perikanan jala terapung dan pembenihan ikan intensif. Cirata, kendati memang bukan yang terbesar di dunia", paling tidak menambah daya meraakan listrik sampai ke pelosok yang belum terjangkau, terutama di Pulau Jawa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cirata, Dengan Gaya Austria"