Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Dua peristiwa pada awal 2025 menunjukkan praktik militerisme dalam politik agraria dan tata kelola sumber daya alam.
Sejarah kekerasan di Indonesia menunjukkan teror selalu menyasar masyarakat lokal.
Gejala ekosida menguat karena perubahan alam bukan hanya fenomena alam, juga campur tangan kekuasaan.
KERJA politik agraria dan tata kelola sumber daya alam di bawah pemerintahan Prabowo Subianto adalah militerisme. Ada dua peristiwa diagnostik yang bisa dipakai untuk memeriksa militerisme sebagai nalar, praktik, dan sifat kepemimpinan baru tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, pada awal Januari 2025, Komandan Komando Distrik Militer 1707/Merauke, Papua Selatan, diangkat menjadi anak adat dan diberi nama Yanai Mahuze. Nama ini diambil dari nama panglima perang suku Malind di wilayah pesisir Kampung Urumb. Pemberian marga kepada komandan militer sama seperti penganugerahan kekuasaan atas tanah kepadanya. Bermarga berarti bertanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat yang sama, ribuan hektare hutan di Merauke dibabat untuk dijadikan lahan 2 juta hektare sawah dan perkebunan tebu. Apa implikasi pengangkatan seorang komandan militer menjadi anak adat terhadap proyek swasembada pangan dan energi jutaan hektare itu? Bagaimana nasib marga pemilik tanah adat?
Dua minggu kemudian, muncul peristiwa kedua. Prabowo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Subyek yang akan ditertibkan adalah “setiap orang”. Satuan tugas penertiban terdiri atas dewan pengarah dan pelaksana. Ketua dewan pengarah adalah Menteri Pertahanan yang didampingi Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian RI, dan Jaksa Agung sebagai wakilnya. Adapun pelaksana penertiban dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Khusus dengan kursi wakil ketua diisi Kepala Staf Umum TNI, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, serta Deputi Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Penertiban mencakup kewenangan penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara. Peraturan presiden ini dikeluarkan ketika terdapat 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan. Sementara itu, progres terbaru penyelesaian penataan batas kawasan hutan belum disampaikan kepada publik. Lalu bagaimana nasib petani, nelayan, buruh, dan masyarakat adat yang tinggal dan berusaha di kawasan hutan ketika berhadapan dengan penertiban?
Peristiwa pertama menunjukkan gejala militerisasi kontrol atas tanah. Peristiwa kedua memperlihatkan militerisasi tata kelola hutan.
Militerisasi adalah praktik militerisme. Praktik ini merupakan pendekatan militer yang mengedepankan pengamanan, pengawasan, serta pendisiplinan di bidang sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi arena sipil. Pertanyaan-pertanyaan tentang implikasi militerisasi terhadap masyarakat sipil kelas bawah selalu muncul ketika hubungan militer dengan sipil menyimpan preseden negatif.
Di masa Orde Baru, militerisasi adalah pengalaman buruk dan berdarah-darah. Banyak kasus yang tak terselesaikan—hingga Aksi Kamisan memasuki tahun ke-18. Sejatinya, reformasi militer dilahirkan dengan memisahkan militer dari politik, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Tapi militerisasi politik agraria dan sumber daya alam dalam pemerintahan Prabowo memberi sinyal bahwa doktrin “Dwifungsi ABRI” tidak pernah dikubur.
Sejarah agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah sejarah kekerasan. Institusi militer dan kepolisian, baik sendiri maupun bersama-sama, merupakan instrumen yang memutar mesin kekerasan dalam proyek-proyek pembangunan yang memakan tanah dan alam. Karena itu, secara terus-menerus, kekerasan seperti ini diupayakan untuk dilupakan.
Robert Fletcher menyebutkan seni melupakan yang dijalankan oleh agen-agen pascakolonial, termasuk institusi negara, adalah sebuah amnesia imperialis. Para agen pascakolonial cenderung menghadirkan kolonialisme dalam versi yang sudah dibersihkan dari penindasan, perampasan, pemberangusan, dan genosida. Amnesia imperialis membuat kekerasan kolonial dilupakan agar kekuasaan yang menindas kehidupan bisa terus berjalan.
Militerisasi memerlukan metode amnesia imperialis agar koersi tidak dikenang. Namun mereka yang menjadi sasaran kekerasan tidak pernah menderita amnesia, tapi mengidap trauma yang lahir dari teror. Intimidasi mendehumanisasi dan menghilangkan martabat manusia. Jati diri lenyap ketika orang bermarga tapi tak bertanah, atau memiliki cangkul tapi hanya bersandar di bilik rumah. Teror hidup di wilayah-wilayah penggusuran dan menciptakan keseharian yang sulit dijalani.
Mereka yang bertahan di wilayah seperti ini ribuan, tersebar di Wadas, Rempang, Poco Leok, dan ratusan lokasi proyek strategis nasional lain. Tanah longsor, banjir, dentuman dinamit, baju loreng, seragam cokelat, dan buldoser menjadi “menu” sehari-hari. Udara sesak oleh teror dan ketakutan membuat hidup menjadi gelap. Jalan makin tak tentu arah. Kekuatan mencekik yang datang dari luar mengakibatkan sesak napas bagi para pejuang yang melawan penggusuran. Pun ketika kepergian sudah tidak bisa ditunda, setiap ingatan tentang rumah yang hancur selalu menyesakkan.
Wilayah-wilayah penggusuran, bagi para penyintasnya, adalah zona mati. Sebagai istilah ekologi, zona mati adalah wilayah perairan yang diserbu polusi nutrien sehingga permukaannya tertutup alga dan menghabiskan oksigen. Akibatnya, banyak organisme perairan yang harus pindah atau mati. Sebagai analogi, zona mati adalah dampak yang tidak diinginkan dari sisi mata uang proyek pembangunan berbasis tanah dan sumber daya alam. Zona mati menjadi titik buta kebijakan. Ia hadir sebagai wujud pembiaran.
Celakanya, kehidupan yang toksik, traumatik, dan menyesakkan napas hampir selalu menjadi milik “orang-orang kecil”. Pembiaran mereka bukan tanpa bantahan. Beberapa lembaga pendanaan internasional menerapkan mekanisme yang disebut safeguard. Pemerintah memberikan berbagai bantuan sosial. Korporasi diharuskan menjalankan program tanggung jawab sosial. Namun, ibarat obat, semua itu sekadar parasetamol yang menurunkan demam tanpa mengobati.
Buktinya, obat sesungguhnya, yaitu rancangan undang-undang perlindungan masyarakat adat, sampai hari ini tak jelas nasibnya. Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan malah menjadi regulasi pajangan karena segala macam peraturan turunan UU Cipta Kerja telah membersihkan teknokrasi dari politik keberpihakan kelas.
Maka tidak aneh jika zona mati bergulir dan menyebar tanpa dikendalikan negara. Dampak yang tidak diinginkan kemudian tak dikontrol aturan. Pada akhirnya, pembiaran ini menjadi penyebar kematian. Kekerasan, baik yang datang secara lambat dan tak terlihat maupun langsung dan cepat, inheren dalam seluruh praktik dan nalar pembiaran ini.
Tidak sedikit kajian yang menghubungkan perampasan tanah dan perusakan kekayaan alam dengan ekosida. Ekosida adalah kejahatan terhadap hak asasi manusia karena merusak kelangsungan hidup alam dan manusia. Apalagi, di era antroposen kini, perubahan alam bukan sekadar fenomena bekerjanya alam, melainkan juga merupakan hasil campur tangan sistem dan struktur kekuasaan yang dimiliki segolongan elite penguasa.
Sejarah memperlihatkan militerisasi kebijakan agraria, pangan, dan sumber daya alam menghasilkan zona mati. Itu sebabnya pendekatan militer selalu harus dikontrol oleh masyarakat sipil agar tidak menjadi instrumen ekosida. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Menuju Ekosida?