Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dalam catatan sejarah, para dokter ikut menangani wabah.
Dokter legendaris tak hanya mengatasi pandemi, tapi juga memperjuangkan kemerdekaan.
Sebagian dokter legendaris ikut bertempur melawan penjajah.
TAHUN ini menjadi tahun bahala bagi dunia. Pagebluk corona datang menularkan kengerian sekaligus maut ke berbagai penjuru. Hingga Sabtu, 15 Agustus lalu, tercatat 21,373 juta kasus positif corona dan sebanyak 763 ribu manusia meninggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah wabah itu, tenaga kesehatan berjibaku merawat dan menjaga agar korban tak terus bertambah. Namun benteng terakhir pertempuran melawan Coronavirus Disease 2019 itu pun ikut bertumbangan. Di Indonesia saja, pada Juli lalu tercatat 48 dokter meninggal karena terpapar corona. Angka itu belum termasuk kematian perawat sebanyak 41 orang. Pada 13 Agustus lalu, Ikatan Dokter Indonesia menyatakan 76 dokter menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perawatan luka pada pasien di Sawangan, Jawa Tengah, 1927. Koleksi Tropenmuseum
Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Dedi Supratman mengatakan indeks rasio kematian tenaga kesehatan Indonesia terburuk di Asia Tenggara. Mengutip data Pandemic Talks, indeks kematian tenaga kesehatan di Indonesia sebesar 2,4 persen. Angka ini menjadi yang terburuk ketiga di dunia setelah Rusia dengan 4,7 persen dan Mesir sebesar 2,8 persen. “Ini menunjukkan lemahnya sistem kesehatan kita,” kata Dedi dalam diskusi daring (online) pada Senin, 3 Agustus lalu.
Sejarah mencatat kehadiran wabah tak pernah lepas dari turun tangan para dokter. Dengan bertaruh nyawa, mereka terjun langsung menangani pandemi untuk menyelamatkan nyawa manusia. Hans Pols dalam bukunya, Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, menunjukkan bagaimana dokter-dokter lulusan School tot Opleiding van Indische Artsen atau STOVIA berperan penting dalam pemberantasan wabah pes di Malang, Jawa Timur, pada 1911. Dokter Cipto Mangunkusumo bahkan mengajukan perpindahan tugas dari Solo ke Malang. Bersama 13 dokter lain, dia turun ke kampung-kampung mengobati pasien.
Perawatan pasien di rumah sakit Semarang, Jawa Tengah, 1910. Koleksi Tropenmuseum/CCO
Peran dokter STOVIA juga tampak saat wabah kolera melanda Batavia. Mereka dilibatkan dalam vaksinasi massal untuk mencegah penyebaran wabah ini. Selain itu, mereka diminta melakukan propaganda agar masyarakat mempercayai tenaga kesehatan dalam penanganan wabah ini. Pada era itu, sebagian masyarakat masih percaya takhayul untuk mempercepat kesembuhan dari penyakit.
Di luar peran di bidang kesehatan, dokter-dokter STOVIA juga berperan dalam memelopori pergerakan modern sejarah kebangkitan nasional. Tiga dokter lulusan sekolah ini, yaitu Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, dan Cipto Mangunkusumo, menginisiasi pendirian Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Sebelumnya, seorang pelajar STOVIA bernama Tirto Adi Soerjo mendirikan Serikat Priyayi. Organisasi ini ingin mewadahi kelompok priayi pribumi melalui pendidikan.
Pembaca, memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia, kami menurunkan liputan khusus soal para dokter legendaris. Kami meyakini ada dokter-dokter lulusan STOVIA di luar yang cukup populer seperti Cipto dan Wahidin yang berperan besar dalam menangani wabah serta berjuang memerdekakan Indonesia. Kisah mereka penting untuk diketahui publik di tengah wabah corona yang mendera negeri ini. Tanpa mengabaikan peran tenaga kesehatan lain, seperti para perawat, perjuangan para dokter itu ikut memberikan legasi untuk republik ini.
Pada Mei lalu, para jurnalis majalah ini memulai pencarian dokter-dokter legendaris. Kami meriset berbagai literatur sejarah untuk mendapatkan nama mereka yang punya andil besar tapi belum banyak disorot. Semua nama itu kami diskusikan secara daring dengan sejarawan lulusan Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein. Ketua Dewan Pembina Komunitas Historia Indonesia ini beberapa kali menjadi narasumber dalam sejumlah liputan khusus yang terkait dengan tokoh lawas. Informasi dari Rushdy, yang juga dokter lulusan UI, membantu kami melihat rekam jejak para dokter legendaris.
Pemberian vaksin kepada warga selama revolusi fisik di Cikini, Jakarta, 1949. Nationaal Archief, CC0/Fotocollectie Dienst voor Legercontacten Indonesië
Dalam dua kali diskusi dengan Rushdy pada 26 Juli dan 4 Agustus lalu, kami mendapatkan nama baru, seperti Slamet Iman Santoso. Slamet dikenal sebagai pencetus pendidikan psikologi pertama di Indonesia. Selain Slamet, ada Menteri Kesehatan pertama, Boentaran Martoatmodjo. Meskipun hanya tiga bulan memegang jabatan tersebut, dia berhasil membentuk Palang Merah Indonesia. Boentaran pun ikut terlibat dalam persiapan kemerdekaan dengan keanggotaannya di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Dokter lain yang juga menjadi Menteri Kesehatan adalah Johannes Leimena. Dia mendesain sistem kesehatan yang menjadi cikal-bakal pusat kesehatan masyarakat saat ini. Dari kawasan timur Indonesia, ada Jonas Andreas Latumeten. Ahli kejiwaan itu mengorganisasi perlawanan terhadap psikiater dan pakar neurologi yang menyatakan warga Hindia Belanda memiliki gangguan psikologi serius. Jonas juga pernah ditahan dan disiksa tentara Jepang karena menyatakan diri sebagai orang Indonesia.
Ada juga dokter perempuan, Julie Sulianti Saroso. Ahli penyakit menular ini pernah berseteru dengan Presiden Sukarno karena mewacanakan pendidikan seks dan pembatasan kelahiran. Namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit yang ikut menanggulangi wabah corona.
Sebagian dokter juga ikut dalam pertempuran melawan penjajah. Dokter Kariadi, yang berperan dalam menanggulangi wabah malaria di Papua, misalnya, ikut melucuti tentara Jepang setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Dia pun ikut dalam pertempuran lima hari di Semarang, sebelum tewas tertembak peluru tentara Jepang. Ada juga dokter Moewardi, yang ikut melawan Belanda di Solo. Moewardi juga dikenal sebagai dokter gembel karena mengutamakan pelayanan untuk kelompok miskin.
Melacak jejak para dokter itu, kami mengerahkan wartawan Tempo di berbagai daerah. Muhammad Jaya Barends, yang bertugas di Ambon, Maluku, misalnya, mendatangi Pantai Rutong di Ambon, tempat Jonas Latumeten mencari ikan pada masa kecil. Dia juga mengunjungi rumah tempat kelahiran Jonas. Selain itu, kami menggali cerita dari keluarga para dokter yang masih hidup. Pun kami menemui sejarawan yang menulis profil mereka, termasuk yang mengusulkannya menjadi pahlawan nasional.
Pembaca, kami meyakini masih ada dokter-dokter lain yang juga berperan besar dalam pelayanan kesehatan di Nusantara atau ikut memperjuangkan kemerdekaan. Tujuh orang yang kami hadirkan dalam bentuk tulisan dan foto ini hanya menjadi contoh bahwa para dokter punya peran yang tak sedikit dalam melahirkan negara ini, sekaligus menjaga keselamatan manusianya. Kepada mereka, juga para dokter dan tenaga kesehatan lain yang bertaruh nyawa menangani wabah, sudah selayaknya kita memberikan penghargaan yang juga tanpa batas.
Tim Liputan Khusus
Penanggung jawab: Stefanus Pramono
Pemimpin proyek: Wayan Agus Purnomo
Penulis: Dini Pramita, Erwan Hermawan, Hussein Abri Dongoran, Moyang Kasih Dewi Merdeka, Raymundus Rikang, Retno Sulistiowati, Wayan Agus Purnomo
Penyumbang bahan: Muhammad Jaya Barends (Ambon), Anwar Siswandi (Bandung), Jamal A. Nashr (Semarang)
Penyunting: Agoeng Wijaya, Anton Septian, Bagja Hidayat, Nurdin Kalim, Stefanus Pramono
Periset foto: Jati Mahatmaji (Koordinator), Gunawan Wicaksono, Ratih Purnama Ningsih
Penyunting bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Desainer: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Munzir Fadli, Lukmanul Hakim, Kuswoyo Digital: Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo