DI Jalan Tamtama, Surabaya, ada dokter spesialis penyakit saraf. Dokter itu populer. Habis, murah, sih. Tapi ada yang curiga. "Omongannya, kok, tidak seperti orang pintar," kata Pak Sabar, yang curiga itu. Lagi pula, Pak Sabar ini betul-betul orang sabar, sampai memperhatikan hal-hal kecil. Misalnya, di resep Dokter Agus itu, nomor izin prakteknya beda dengan yang di papan nama. Itu baru satu kasus. Suatu kali Pak Sabar iseng bertanya: lulusan mana, Pak Dokter? "Jawabannya Universitas Indonesia," kata Pak Sabar. Suatu kali yang lain, pertanyaan serupa itu dijawab Agus, "Lulusan Universitas Airlangga." Wah, Pak Sabar tak sabar lagi untuk mengusut lebih jauh. Ia pergi ke Universitas Airlangga. Tak ada lulusan dokter bernama begitu. Kepada ketua RT, dokter Agus ini pernah mengaku berpangkat kapten, entah dari kesatuan mana. Soal pangkat itu, orang-orang di sono percaya saja. Istrinya, Nanik adalah keluarga ABRI. "Bagaimana kami tak percaya, seluruh penghuni di Jalan Tamtama itu 'kan semuanga anggota ABRI," cerita Pranoto, ketua RT. Nama jalan itu saja sudah bau-bau ABRI. Kecurigaan-kecurigaan dikumpulkan. Lalu, inilah yang terjadi. Februari lalu, sejumlah polisi dari Polwiltabes Surabaya menggerebek tempat praktek Agus. Di sana ditemukan blangko resep, stetoskop, obat-obatan ringan, dan panci kecil. Itu memang alat praktek dokter. Tapi Agus ditahan. Lho, apa salah Agus ? Kepada polisi, Agus, 29 tahun, mengakui bahwa gelar dokter yang disandangnya palsu. Hanya untuk gagah-gagahan. Plus gengsi. Dan gengsi itu punya sejarah. Ketika ia lulus SMA tahun 1979, ia mendaftar ke Fakultas Kedokteran Unair, Surabaya. Gagal. Tapi Agus mengabarkan kepada keluarganya di Kudus, Jawa Tengah, bahwa ia sudah kuliah. Uang bulanan yang dikirim dari kampungnya dihabiskan untuk berkelana ke sana kemari. Pertengahan 1987, Agus mudik, dan kepada keluarganya melapor sudah bergelar dokter dan buka praktek di Surabaya. Keluarganya percaya saja. Wong, mertua Agus dan para tetangganya yang ABRI-ABRI itu juga percaya. Apalagi pasien yang pernah berobat ke sana, sekitar 50 orang, sembuh semua. Agus yang pintar atau masyarakat yang kurang pintar? Yusroni Henridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini