BAGI keluarganya dan masyarakat Parung, Bogor, kelahiran Markus Panggabean sungguh mengejutkan. Kepala bayi pasangan Mampe Panggabean dan Rusni boru Siregar itu tidak normal. Ada bongkahan otak berlapis kulit tipis yang tumbuh di atas kepalanya. Bongkahan itu sangat besar, kira-kira dua kali lebih besar dari kepalanya. Kelainan ini lebih mengundang tanda tanya, karena Markus sekilas terlihat sehat. Ia bisa minum susu dengan lahap, bisa menangis, dan ekspresi wajahnya tak menunjukkan kejanggalan. Keadaan yang bertentangan inilah yang dengan cepat mengundang simpati. Seorang wartawan harian Sinar Pagi, yang kebetulan kenalan Rusni, lalu memberitakan derita Markus. Simpati berdatangan. Harian Bisnis Indonesia menampilkan Markus dalam rubrik tetap Dompet Pembaca. Dan sejak itu Markus menyita perhatian banyak orang. Seorang ibu yang tak mau disebut namanya tak tanggung-tanggung menyumbang Rp 1 juta. Dalam waktu lima bulan, Bisnis Indonesia berhasil mengumpulkan dana Rp 10.600.000,00. Tapi baru akhir Februari lalu Markus, yang berusia 5 bulan itu, dibawa orangtuanya ke RS Cipto Mangunkusumo. Bayi malang ini sekarang tergolek di ruang perawatan bedah saraf RS Cipto Mangunkusumo. Raut wajahnya teduh dan damai. Bibirnya senantiasa menyungging senyum,seperti ia tak menanggung derita apa-apa. Kulitnya yang kuning bersih kontras dengan alis matanya yang tebal. Awal pekan ini pemeriksaan-pemeriksaan utama, khususnya pemotretan radiologis dan perekaan dengan alat canggih Computed Tomography Scanning selesai dilakukan. Kesimpulannya: Markus menderita kelainan meningo encephalocele posterior. Prof. Padmosantjojo, ahli bedah saraf RSCM, mengutarakan, kelainan ini terjadi karena pertumbuhan otak pada masa kehamilan 24 hari tidak sempurna. Pembentukan tulang tengkorak yang terganggu mengakibatkan terjadinya celah di tempurung tengkorak bagian muka dan belakang. Akibatnya, otak, yang harusnya tumbuh di dalam, meluap keluar dan tumbuh membesar di luar tengkorak kepala. Sementara itu, tengkoraknya terhambat tumbuh. Bagian otak yang berada di luar ini jadinya hanya dilindungi dinding sangat tipis dan sama sekali tanpa perlindungan tulang tengkorak. Menurut dr. Lucas Budiono Atmadji, yang langsung menangani Markus, kelainan encephalocele bayi ini terkategori berat. Hasil pemeriksaan menunjukkan, luapan otak bagian muka dan belakang yang keluar dari tengkorak terlampau besar - sekitar 80% otak. Pada bagian yang keluar itu terdapat otak belakang yang merupakan pusat saraf gerak, dan juga otak kecil yang merupakan pusat daya pikir. Sementara itu, tengkorak di bawah bongkahan otak itu praktis tidak tumbuh, alias kecil sekali. Mungkinkah bongkahan otak Markus dibuang? "Bila tonjolannya kecil, bisa dibuang, karena isinya biasanya hanya cairan otak," ujar Lucas. Namun, hal itu tak bisa dilakukan terhadap bongkah otak di kepala Markus, karena pemotongan berarti mencopot hampir sebagian besar otaknya. "Bayi akan meninggal langsung di atas meja operasi, bila pembuangan dilakukan," kata Lucas lagi. Untuk mendapat hasil paling maksimal, Lucas merencanakan memotong sebagian saja bongkahan otak Markus. Karena itu, sesudah operasi tonjolan otak di luar kepala Markus tetap ada. Hanya tonjolan itu diperkecil. "Besarnya nanti sekitar seperlima dari besarnya yang sekarang," kata Lucas. Rencananya, ahli bedah saraf alumnus Universitas Indonesia tahun 1984 itu akan melakukan pembedahan dalam dua tahap. Langkah pertama memotong jaringan otak yang tak berfungsi dan mentransplantasikan selaput otak. Langkah selanjutnya memperkecil tonjolan dengan mengeluarkan cairan otak melalui pipa. Bagaimana peluangnya untuk sembuh? "Buruk," jawab Padmo. "Pemotongannya memang mudah, tapi bayi semacam ini biasanya ndak bisa survive," ujar ahli bedah saraf yang sukses mengoperasi kembar siam Yuliana-Yuliani itu. Lucas merinci kemungkinan itu, "tingkat risikonya tinggi, selain meninggal, sistem saraf total terganggu." Fungsi otak pada encephalocele tingkat berat seperti Markus biasanya memang mustahil bisa dipertahankan. Dilihat dari sisi medis, kemungkinan Markus hidup lama tampaknya tipis. Ancaman terhadap keselamatan jiwanya bukan hanya datang dari terganggunya sistem saraf setelah dioperasi, tapi juga akibat tengkorak yang terlalu kecil. Bila otak tumbuh, tengkorak yang kecil itu akan menjepit otak yang membesar. "Akibatnya, otak itu akan menekan batang otak yang merupakan pusat pernapasan," ujar Lucas. Secara teoretis, bila Markus dirawat dengan baik, usianya mungkin bisa mencapai antara 2 dan 10 tahun. Apakah Markus sebuah kasus yang istimewa? Padmo mengungkapkan bahwa di Indonesia kelainan encephalocele bukanlah hal yang jarang terjadi. Berbeda dengan di Eropa dan Amerika, di mana insidensi kelainan ini kecil saja. Di Indonesia kelainan otak seperti yang diderita Markus cukup banyak. "Di RSCM saja, kami menangani kasus semacam ini sekitar 10-15 kasus setiap tahun," katanya. Di Bandung, ahli bedah saraf dr. Benny Atmadja mengemukakan hal serupa. "Saya sendiri sedang menangani kasus yang sama," katanya, sambil memperlihatkan bayi 1 bulan yang sedang ditanganinya. Menurut Benny, sekitar 30-40% pasien bedah saraf RS Hasan Sadikin, Bandung, adalah pasien dengan kasus encephalocele. Catatan literatur menunjukkan, hingga kini penyebab encephalocele masih berupa teori. Menurut Lucas, yang pernah meneliti kelainan ini, penyebabnya mungkin faktor genetis atau janin kekurangan gizi pada masa kehamilan, atau mungkin juga karena gangguan lain. Padmosantojo berdasar pengamatannya menduga, encephalocele terjadi terutama karena usaha menggugurkan kandungan pada masa kehamilan dini. Misalnya, dengan cara pemijitan dan penggunaan jamu peluntur. "Hampir pada semua kasus ini, ibunya mengaku pernah berusaha menghilangkan kehamilannya," ujar Padmo. "Sering, setelah tidak menstruasi seminggu, si ibu lalu minum jamu peluntur. Ia tidak tahu, ketika itu susunan saraf janin dalam kandungannya sudah mulai tumbuh." Mungkinkah kelainan Markus disebabkan oleh kehamilan ibunya terganggu, atau malah akibat usaha pengguguran kandungan? Jamin Siregar, adik kandung Rusni, mengatakan bahwa kakaknya pernah mengalami stres ketika mengandung Markus. "Sampai harus dirawat psikiater di rumah sakit selama seminggu," katanya. Menurut Jamin, selain karena Rusni harus melakukan tugas-tugas berat, mengangkat air, dan merawat anak-anaknya, kehidupan perkawinan Rusni-Mampe juga tidak serasi. Soal pengguguran kandungan? Sulit dipastikan, karena Rusni tak bisa ditemui untuk wawancara. Namun, kemungkinan itu agaknya ada. Menurut Mampe, sang suami, Rusni memang pelanggan tetap Jamu gendong. Jim Supangkat, Agung Firmansyah, Syafiq Basri (Jakarta), Jenny R. Suminar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini