Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUJA-PUJI itu dilontarkan Johannes Leimena kepada Mohammad Roem dalam salah satu sidang Kabinet Sjahrir III, 1946-1947. ”Roem is een ardige vent. Roem itu anak baik. Saya suka sama dia. Sebagai Menteri Dalam Negeri, pengetahuannya lengkap tentang keadaan dalam negeri. Kalau ia bicara mengenai hal itu, saya senantiasa tertarik, karena bidang saya, kesehatan rakyat, perlu juga pengetahuan soal keadaan dalam negeri.” Roem, yang disanjung Leimena—saat itu Menteri Muda Kesehatan—menyimak dengan takzim.
Jo, begitu dia disapa, meneruskan bahwa Roem mampu menerangkan keadaan dalam negeri dengan cara yang tenang, disertai fakta. Bukan analisis saja. Hal itu memberikan keyakinan bahwa Roem orang yang obyektif. Pandangannya berdasarkan kenyataan, bukan khayalan.
Roem mulai menduga-duga ke mana arah bicara Jo. Tapi Jo masih syur melanjutkan sanjungannya. ”Roem mempunyai common sense. Ini hal yang saat ini tidak banyak orang memilikinya. Dan biasanya, saya selalu setuju dengan Roem, tapi kali ini saya tidak dapat mengikutinya. Maaf ya, Roem,” Jo menutup puja-pujinya. Semua peserta sidang kabinet menyambutnya dengan tawa berderai.
Dia lantas mengajukan keberatan-keberatannya terhadap usul Roem. Penuh semangat Roem menanggapinya. ”Tapi, setelah dipungut suara, lebih banyak yang menolak usulan saya,” ujar Roem, 32 tahun kemudian. Dia mengatakan, Jo selalu punya jalan untuk melunakkan hati kawan dan lawannya. Cara seperti itulah yang membuka jalan bagi karier politiknya sejak terlibat Kongres Pemuda II, 1928.
Hidup Johannes Leimena mengalir sampai jauh. Dia lahir pada 6 Maret 1905 di Ambon, Maluku, dari pasangan Dominggus Leimena dan Elizabeth Sulilatu. Ayahnya guru bantu di salah satu sekolah di Ambon. Dominggus meninggal sebelum Jo genap berumur 9 tahun. Dia kemudian ikut pamannya, Jesaya Jeremias Lawalata, berlayar ke Pulau Jawa. Ketika itu, Jesaya baru saja diangkat sebagai guru kepala di Cimahi, Jawa Barat. Hanya beberapa bulan di Cimahi, mereka boyongan lagi ke Batavia.
Setelah tamat dari MULO (setingkat sekolah menengah pertama), Jo semula berniat kursus In en Uitvoerrechten (Bea-Cukai). Namun kursus ini hanya mau menerima keturunan Indo-Belanda. Jo ditolak. Beralih ke kursus Posterij, dinas pos, nasibnya sama saja. Kenalan pamannya menyarankan Jo mendaftar di sekolah hukum, Rechtschool. Dia sudah sempat mendatangi rumah direktur sekolah itu. Tapi, karena sang direktur sedang tak di rumah, Jo membelokkan niatnya dan malah memilih mendaftar ke sekolah kedokteran Stovia, yang jaraknya hanya satu kilometer dari Rechtschool.
Di sekolah dokter, Jo mulai melek politik. Pergaulannya dengan mahasiswa-mahasiswa lain dari Sumatera, seperti Amir Sjarifuddin dan Muhammad Yamin, membuka wawasan politiknya. Dari berbagai surat kabar yang waktu itu mulai beredar di kampus Stovia di Salemba, dia menyerap berbagai persoalan yang mendera Hindia Belanda.
Ia juga bergabung dengan Jong Ambon, yang didirikan oleh seniornya di Stovia, J. Kayadu, pada 1917. Semula organisasi pemuda Ambon di Jakarta ini hanya melulu sibuk dengan urusan sepak bola. Masuknya Leimena, Toule Salehuwey—mahasiswa sekolah hukum—dan beberapa pemuda lain meniupkan angin baru. Bagi mereka, adu sepak hanya soal sekunder; yang utama adalah pendidikan.
Lewat Jong Ambon, Jo terlibat Kongres Pemuda II pada 1928. Kendati dalam panitia kongres dia kejatuhan tugas sebagai pembantu IV, peran Jo dalam acara itu tak banyak diungkap. R.Z. Leirissa, penulis biografi Johannes Leimena, menduga Jo sengaja tidak menonjolkan diri karena pamannya tak setuju keterlibatannya dalam perhelatan itu. Menurut Jesaya, penjajahan di Indonesia merupakan takdir Tuhan.
Setelah kongres itu hingga usai proklamasi kemerdekaan, aktivitas politik Jo malah menurun. Dia lebih banyak tenggelam dalam tugasnya sebagai dokter dan aktivis gereja Kristen. Dia kembali masuk pusaran politik di Jakarta ketika Sutan Sjahrir memintanya masuk kabinet sebagai Menteri Muda Kesehatan pada Maret 1946.
Sebelum Sjahrir meneleponnya, Amir Sjarifuddin, teman lamanya yang ketika itu menjabat Menteri Penerangan, sudah berulang kali memintanya bergabung dengan pemerintah yang masih belia. Awalnya Jo enggan karena berpendapat pekerjaannya sebagai dokter lebih penting. ”Ah, itu nanti saja. Sekarang kita sedang berjuang,” kata Amir setengah memaksa. Jo luluh.
Dia pun menjabat sebagai Menteri Muda Kesehatan dan kemudian Menteri Kesehatan tanpa putus dari 1946 hingga 1956, bersambung Menteri Sosial, Menteri Distribusi, hingga Wakil Perdana Menteri II sampai Presiden Soekarno dicopot dari jabatan pada 1966. Dari Kabinet Sjahrir beralih ke Hatta, Natsir, Burhanuddin Harahap, Djuanda, hingga Kabinet Dwikora. Menjabat Ketua Umum Partai Kristen Indonesia, posisinya sebagai menteri tak tergoyahkan walaupun kabinet berulang kali bongkar-pasang dari partai Islam seperti Masyumi ke Partai Nasional Indonesia.
”Dia bisa bergaul dengan semua golongan,” ujar mantan wakil presiden Mohammad Hatta. Putri bungsu Jo, Lendra Kraton Melani Suharli Leimena, mengatakan ayahnya tak pernah membedakan agama dalam bergaul. ”Dulu rumah kami di Jalan Teuku Umar sudah seperti markas banyak partai. Bukan cuma Parkindo. Ada yang dari NU, Masyumi, atau dari Partai Katolik,” ujarnya kepada Tempo pekan lalu.
Boleh jadi kelenturan sikap dan ketenangan pribadinya membuat dia sering ditunjuk sebagai juru runding dan terkadang penghubung. Dalam hampir semua perundingan dengan Belanda—dari Linggarjati, Renville, hingga Konferensi Meja Bundar—dia selalu terlibat sebagai Ketua Komisi Militer. Di antara pembantunya ada Kolonel T.B. Simatupang.
Soal peran dia dalam perundingan Meja Bundar pada 1949 itu, Roem punya cerita. Saat itu yang mewakili pihak Belanda adalah Buurman van Vreeden. Begini Jo membuka perundingan. ”Saya memandang Tuan Buurman orang baik. Saya suka Anda.” Roem, yang pernah menghadapi taktik serupa, mulai mesem. Kata Jo lagi, ”Semakin lama saya kenal Tuan Buurman, saya semakin menghargai Anda. Tuan Buurman, tahukah Anda bahwa arti nama Tuan itu indah sekali? Tetangga perdamaian.”
Seperti biasa, setelah segala banjir pujian itu selesai, Jo mulai menyerang. ”Tuan biasanya melihat persoalan dari semua sudut. Tapi kali ini saya cari-cari, tidak menemukan rangkaian pemikiran yang logis.” Dia kemudian menutupnya dengan sejumlah usul yang menekan Belanda. Taktik Jo berhasil.
Jo Leimena punya hubungan dekat dengan Bung Karno. ”Saya tidak tahu pasti apa yang mulai membuat keduanya dekat,” kata Melani. Tidak hanya menjadi pembantu Bung Karno, dia juga karib, pendukung setia, dan terkadang menjadi penghubung. Setiap kali hubungan Soekarno-Hatta mulai renggang, Jo selalu disuruh Bung Karno berbicara dengan Hatta. Jo pula, bukan Wakil Perdana Menteri I Subandrio atau Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, yang ditunjuk Soekarno sebagai penjabat presiden apabila dia melawat ke luar negeri.
Kendati posisinya di pemerintahan sedemikian penting, Jo tetap sederhana. ”Pakaiannya hampir selalu warna putih dan itu-itu saja. Padahal di lemari ada baju pemberian teman-temannya yang lebih bagus,” kata Remy Jesaja Leimena, 61 tahun, putra ketujuh Jo, kepada Tempo. Cara hidup itu dia terapkan pula bagi keluarganya.
Pernah suatu ketika Remy minta uang untuk biaya kuliah kepada ayahnya. Tapi, karena Jo sedang bokek, Remy disuruh menjual salah satu lampu hias di rumah. ”Pernah ada anaknya yang minta dibelikan jas malah disuruh beli di loakan saja,” ujar Melani. Setiap kali pulang dari tugas di luar negeri, oleh-oleh bagi anak-anaknya hanya tumpukan buku.
Begitu lurus cara Jo memandang hidupnya, saat anaknya menghadapi persoalan politik, dia tidak mau memanfaatkan posisinya untuk ”menolong”. Dalam kasus Malari 1974, misalnya, Remy, yang kala itu menjabat Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, ditangkap dan dipenjara. Jo, yang masih anggota Dewan Pertimbangan Agung, membiarkan Remy dipenjara. ”Menurut Ayah, itu konsekuensi yang harus dia tanggung,” kata Melani, 57 tahun. Sikapnya sama ketika anaknya yang lain dipecat dari TNI Angkatan Laut karena dipandang melawan atasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo