Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN musim rontok turun di kompleks pekuburan Berlin, Jerman, awal Oktober lalu. Bau cendawan mengusap-usap hidung. Sepotong nisan dari batu berwarna kehitaman setinggi paha orang dewasa seperti tumbuh dari rumput yang tercukur rapi.
Di sana dikubur Adolf Bastian—dokter, antropolog, dan guru besar etnologi Universitas Berlin. Ia telah memakai nama Indonesia pada 1884 ketika negeri ini lebih dikenal sebagai Nederlandsch-Indie, yang berarti Hindia kepunyaan Belanda.
Kata Indonesia berasal dari bahasa Latin: Indo dan Nesioi. Indo berasal dari kata Indus, yang berarti Hindia. Nama ini diberikan oleh para penjelajah asal Eropa generasi awal untuk daerah yang terbentang antara Persia dan Tiongkok. Nesioi bentuk jamak dari Nesos, yang berarti pulau-pulau. Jadi Indonesia berarti pulau-pulau Hindia.
Di kuburan tersebut, Presiden Asosiasi Indonesia-Jerman Hans Berg siang itu juga berziarah bersama genealog Jurgen Bock Lachmes. Di depan makam Bastian, di tengah gerimis, ia melepas topinya dan menyingkirkan payungnya sejenak untuk menghormati Indonesianis ini. Ia membiarkan rambutnya masai dibasuh hujan. Matanya berkaca-kaca. ”Ia sangat mencintai Indonesia,” ujarnya.
Setahun lalu, Berg merampungkan film dokumenter tentang Bastian. Ia mengabadikan lokus-lokus di Indonesia yang pernah dikunjungi pria kelahiran Bremen, 26 Juni 1826, itu. ”Ia orang hebat Jerman dan dunia,” ujarnya.
Pada zamannya, nama Bastian sungguh harum. Dialah yang mengantarkan etnologi dan antropologi hingga diakui sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan. Atas jasa-jasanya, Kaisar Jerman, William, memindahkan makamnya dari Trinidad, Amerika, ke pemakaman di pusat Kota Berlin pada 1905.
Bastian mangkat akibat kecelakaan mobil di Port of Spain, Trinidad—kini Trinidad-Tobago—pada 3 Februari 1905. Gara-garanya, konon sopirnya, seorang anak muda negeri itu, ugal-ugalan membejak pedal gas di tengah kota. Akibatnya, terjadi tabrakan dengan mobil lain.
Ketika Adolf Hitler berkuasa, makam Bastian digusur bersama makam warga Berlin lainnya. Pemimpin Nazi ini ingin membangun jalan baru yang menghubungkan Berlin dengan beberapa daerah lain. Saat penggusuran baru dimulai, Hitler takluk kepada Sekutu. Jalan itu tak pernah jadi kenyataan, tapi makam Bastian sudah dipindahkan ke peristirahatannya yang sekarang.
Makam itu ada di Sudwestkirchhofs Stahnsdorf, sekitar 30 kilometer ke arah barat daya dari pusat Kota Berlin. Pemakaman umum seluas 156 hektare ini dikelola oleh pemerintah kota sekaligus negara bagian Berlin. Berada di dekat jalan raya Berlin-Potsdam, kompleks makam ini dipenuhi cemara, linden, dan mapel yang sedang meranggas.
Di sini juga dimakamkan sejumlah orang terkenal Jerman. Sebagiannya akrab dengan Indonesia dan kawan dekat Bastian. Friedrich Murnau, misalnya, seniman yang merintis lahirnya desa seni di Ubud, Bali. Lainnya adalah etnolog Fedor Jagor, yang juga akrab dengan Indonesia, meskipun kemudian banyak melakukan riset etnologi dan antropologi di Filipina.
Orang hebat lain yang beristirahat di pemakaman ini adalah Carl Friedrich von Siemens. Ia adalah pendiri Siemens, perusahaan elektronik, teknologi informasi, perangkat keras, dan real estate terkemuka di dunia.
Pemerintah Berlin memberikan tanda istimewa berupa keramik merah bata pada makam Bastian, untuk membedakannya dari makam orang biasa. Asal tahu, sangat jarang makam yang memiliki tanda seperti itu di kompleks tersebut.
Sepanjang hidupnya, Bastian menghabiskan banyak waktunya untuk melakukan perjalanan ke berbagai belahan dunia. Saking sibuknya bertualang, ujar Lachmes, ”Bastian tidak pernah menikah.”
Bastian mengunjungi Indonesia empat atau lima kali antara tahun 1864 dan 1880. Sekali berangkat ia menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan hingga setahun. ”Untuk mengenal seluk-beluk tata cara hidup dan budaya Nusantara yang ia kaji,” ujar Berg, ”ia sering tidur di rumah penduduk.”
Tapi ia juga punya hotel favorit di Indonesia. Salah satunya Hotel Salak di tepi Kebun Raya Bogor.
Di Indonesia, ia pernah melakukan perjalanan menelusuri jalan darat dari Batavia (Jakarta) ke Banten, Teluk Betung, Bengkulu, Padang, Bukittinggi, Padang Sidempuan, hingga Samosir di Sumatera Utara. Ia juga meneliti Yogyakarta dan Solo dan sangat menikmati Bali. Selain itu, ia mempelajari adat-istiadat penduduk Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Flores, dan Timor.
Hasil kunjungannya ke Indonesia adalah koleksi benda etnik dari seantero Nusantara miliknya. Ada wayang kulit, wayang golek, wayang beber, dan gamelan. Ada juga peranti memasak di dapur, peralatan bertani, serta senjata untuk berburu. Oleh-oleh itu ia angkut dengan kapal laut ke rumahnya di Berlin, tidak jauh dari kawasan elite Potsdamer Platz.
Setelah ia meninggal, rumahnya dijadikan museum etnologi. Benda-benda koleksinya dipamerkan untuk umum, di bawah pengelolaan yayasan untuk pengembangan ilmu etnologi. Sayangnya, rumah ini hancur lebur akibat bom Sekutu pada Perang Dunia II. ”Perang membuat Berlin luluh-lantak, termasuk rumah Bastian, yang tak punya kepentingan dengan perang,” kata Lachmes.
Kini di bekas rumah Bastian berdiri flat yang umumnya dihuni mahasiswa. Sejumlah mahasiswa asal Indonesia di Jerman tinggal di sini. Di bagian lain kawasan flat, berdiri restoran Indonesia milik Rudy Widjajono, 48 tahun. Rumah makan itu bernama Mabuhay, menyajikan makanan khas Indonesia dan Filipina. Inilah salah satu tempat nongkrong kesukaan orang Indonesia di Berlin. Di mana gerangan koleksi Bastian yang selamat dari perang?
Benda-benda itu kini menjadi koleksi Museum Etnologi di Dahlem, Berlin. Ini museum etnologi terbesar di Eropa, dengan 50 ribu item benda asal Asia dan tiga perempatnya berasal dari Indonesia. Namun peninggalan terpenting Bastian sesungguhnya dua buku yang melejitkan nama Indonesia. Ia memakai kata Indonesia dalam karyanya Indonesien Oder Die Inseln Des Malayischen Archipels, yang terbit lima jilid.
Di bukunya, ia memakai kata itu untuk menyebut pulau besar dan gugusan pulau yang mengitari pulau besar di kawasan ini—dari Jawa, Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Molukken (Maluku), Timor, hingga Flores. ”Indonesia adalah satu kesatuan kepulauan Nusantara yang berumpun Melayu,” tulisnya. Ia kembali memakai kata Indonesia dalam bukunya yang lain, Die Volkev des Ostl Asien, pada bab ”Reiscn im Indischen Archipels”.
Dua buku ini pula yang melambungkan nama Bastian sebagai etnolog kelas wahid. Saking terkenalnya, dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie (1918), ia sempat disebut sebagai penemu nama Indonesia. Betulkah? Ternyata tidak. Bastian cuma merawat dan mempopulerkan nama Indonesia yang ditemukan duo James Richardson Logan-George Samuel Windsor Earl.
Pada mulanya nama Indonesia adalah usulan Earl, etnolog Inggris, di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia Volume IV, 1850. Ia merasa wilayah jajahan Belanda ini sudah perlu punya nama khas, karena nama Hindia sering tertukar dengan penyebutan wilayah yang lain. Earl punya dua calon nama, Indunesia atau Malayunesia. Ia memilih nama Malayunesia karena nama ini sangat tepat untuk ras Melayu, sementara cakupan nama Indunesia terlalu luas.
Tapi Logan punya pendapat berbeda soal kedua nama itu. Ia lebih sreg dengan nama Indunesia yang dibuang Earl. Alasannya, seperti disebutkan di Wikipedia, kata Indunesia lebih seperti sinonim untuk Indian Islands atau Indian Archipelago. Namun ia mengganti huruf u dengan o, semata agar ucapannya lebih baik. Maka, jadilah: Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo