Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERBINCANGAN dua sahabat di awal musim panas 2008 itu berlangsung sengit. Apalagi ketika pembicaraan sampai pada topik menyesakkan: Afganistan. Kali ini Colin Powell—mantan menteri luar negeri dan kepala staf gabungan militer Amerika Serikat—tidak dapat menyembunyikan rasa gundahnya. Lebih-lebih setelah sang sohib, John McCain, tak bisa ”membaca” perubahan pada air mukanya, dan tetap pantang mundur dengan pertanyaan militeristis: bagaimana cara memenangi pertempuran di Afganistan.
Persahabatan Powell-McCain yang sudah berlangsung 20 tahun memang tak terputus gara-gara pembicaraan itu. Tapi Powell setelah itu membuat langkah mengejutkan banyak orang separtai mereka. Pekan lalu, ia mengumumkan dukungannya kepada Barack Obama, pesaing John McCain, dari Partai Demokrat. Demikianlah Powell dalam jumpa pers yang cukup mengejutkan, Kamis pekan lalu.
Perang di Afganistan memang tak berakhir dengan tumbangnya rezim Taliban pada 2001. Bahkan, dalam pelbagai kampanyenya, McCain berjanji akan menambahkan tiga brigade lagi ke Afganistan jika ia terpilih nanti. Simaklah ketegangan di Distrik Maiwand di Provinsi Kandahar, selatan Afganistan, dua pekan lalu.
Kamis itu, tiga bus yang berjalan beriringan mendadak disetop oleh sekelompok anggota Taliban. Kepala polisi Kandahar mengatakan pasu-kan Taliban gagal menghentikan satu bus dan menembakinya. Seorang bocah tewas dalam serangan itu. Mereka kemudian menghentikan bus lain yang berisi 50 penumpang dan membunuh 27 di antaranya. Sejumlah mayat ditemukan kemudian dalam kondisi terpenggal kepalanya.
Keterangan versi Taliban tentu saja berbeda. Juru bicara Taliban, Yousuf Ahmadi, mengatakan mereka menemukan sejumlah tentara Afganistan di antara penumpang bus. ”Kami menemukan dokumen pemerintah di tangan mereka dan kami membunuh 27 di antara penumpang,” katanya. ”Sisanya, yang merupakan warga sipil, kami bebaskan.” Kontroversi terus bergulir. Kabul membantah keterangan itu dan menyebut Taliban sengaja mengorbankan rakyat sipil. Pasukan militer tidak akan bepergian dengan bus, tapi dengan pesawat atau konvoi militer, terutama di kawasan bergolak seperti Kandahar.
Eskalasi ketegangan di selatan Afganistan itu membikin repot pemerintah Bush dan pasukan negara-negara Barat (NATO) yang bercokol di sana sejak rezim Taliban berakhir. Karena itulah Presiden George W. Bush kemudian memerintahkan militer meningkatkan serangan misil ke Afganistan dan perbatasan Pakistan yang menjadi basis kekuatan kelompok Taliban. Kebijakan Bush yang memadukan operasi militer dan pemulihan sipil, dengan harapan agar pemerintah Afganistan bisa cepat mandiri, tak membuahkan banyak kemajuan.
Tujuh tahun di negeri itu, pasukan Amerika dan NATO seperti belum menemukan strategi yang jitu untuk mengatasi seribu satu persoalan—khususnya di bagian selatan. Belakangan Amerika mengangkat David Petraeus sebagai Kepala Komando Pusat yang memimpin operasi militer di Timur Tengah dan Afganistan. Padahal Petraeus jenderal yang dikenal telah mengubah Irak menjadi arena perang. Mungkinkah ia akan memindahkan ladang itu ke Afganistan? Presiden Bush hanya mengatakan bahwa berkurangnya pasukan di Irak membuat Gedung Putih bisa mengalokasikan brigade tambahan ke Afganistan.
Selain itu, Gedung Putih akan mengirim Jenderal John Nicholson, yang berpengalaman menghadapi pemberontakan. Nicholson diharapkan bisa mengatasi kondisi di selatan. Yang menarik, setelah itu, beberapa orang mencoba menjelaskan bahwa nenek moyang Nicholson seorang brigadir Inggris yang mengubah Delhi menjadi ladang pembantaian pada 1857. Entahlah.
Taktik militer pasukan Amerika yang terus meningkatkan serangan udara, ketimbang memperkuat barisan personel di darat, juga menimbulkan pertanyaan. Soalnya, ini hanya akan menambah panjang daftar korban sipil. Kemarahan terhadap langkah militer yang diambil Amerika Serikat sekarang muncul di kalangan pejabat dan rakyat Afganistan. Dalam lima tahun terakhir, jumlah korban tewas di kalangan rakyat sipil tercatat sudah mencapai 500 orang.
Sebenarnya peningkatan konsentrasi militer asing di Afganistan juga disebabkan oleh ketidaksanggupan Presiden Hamid Karzai mengambil keputusan sendiri. Juga dukungan Pakistan untuk menghambat gerak Taliban jauh dari maksimal. Sejumlah pengamat menyebutkan masih banyak elemen dalam tubuh pemerintah Pakistan yang mendukung Taliban.
Sikap Karzai yang tidak mampu mengendalikan kekuatan militer ini tentu saja merepotkan Amerika dan pasukan NATO. Apalagi tak semua negara siap menempatkan pasukannya di Afganistan untuk jangka panjang. Belanda dan Kanada, misalnya, sudah menunjukkan gelagat akan menarik pasukan dari Afganistan paling lambat pada 2010. Keduanya akan memusatkan kontribusinya dalam bentuk pelatihan pasukan militer Afganistan.
Transisi pasukan Kanada dan Belanda ini tentu akan merepotkan Inggris, yang telah menempatkan pasu-kan terbanyak di sana. NATO sendiri tampaknya lebih memusatkan konsentrasinya pada pemberdayaan sipil di wilayah yang relatif aman. Provinsi Helmand, misalnya, dipandang sebagai wilayah yang menunjukkan perkembangan menggembirakan. Pemimpin sipil yang ditunjuk, di antaranya Gubernur Gulab Mangal yang mantan anggota komunis, dipandang bisa berfungsi sebagai pejabat yang efisien sekaligus punya kekuatan militer.
Obat mujarab untuk menyembuhkan Afganistan yang sakit belum dijumpai. Dan keadaan ini dimanfaatkan benar oleh Taliban yang terdesak ke selatan. Sadar kekuatan mereka tidak lagi sedigdaya ketika berkuasa dulu, kemampuan Taliban untuk bertahan dan menunggu saat yang tepat buat menyerang memang membuat negeri ini tak pernah tenang.
Angela Dewi (AFP, AP, BBC, CNN, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo