Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dosen Bersatu Tak Bisa Dikalahkan

KIKA mengajak para dosen di Indonesia mendirikan serikat pekerja. Dianggap jalan keluar dari permasalahan lama: gaji rendah.

2 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dosen saat mengajar di sebuah universitas di Jawa Tengah, 2021. ANTARA/Maulana Surya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banyak dosen merasa tidak digaji dengan layak, tapi tak bisa bernegosiasi karena posisi tawar mereka rendah.

  • Para dosen hendak membentuk serikat buruh.

  • Ada sebagian dosen yang enggan disamakan dengan buruh.

SEPULUH tahun yang lalu, tawaran menjadi asisten dosen di satu universitas swasta di Sulawesi Utara datang kepada Irma Maria Lontoh. Sembari mengajar, ia diizinkan meneruskan pendidikannya untuk S-2. Karena sonder beasiswa, Irma perlu pemasukan dari pekerjaannya sebagai asisten dosen di sejumlah perguruan tinggi untuk membayar uang kuliah. “Gaji asisten dosen sangat kecil, tapi beban kerjanya sama. Bahkan terkadang lebih dari dosen tetap,” kata dia kepada Tempo, Senin, 1 Mei 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah berhasil menyelesaikan studinya, Irma gamang harus menentukan di mana ia menetap sebagai dosen. Dia sempat bergabung dengan universitas negeri. Namun, melihat rekannya, dosen luar biasa—istilah bagi tenaga kontrak—yang tak kunjung diangkat sebagai dosen tetap, Irma pun mengundurkan diri. Ketika satu universitas swasta memberikan penawaran, Irma mengambil peluang tersebut. “Selain gajinya lumayan, pengangkatannya cepat,” kata dia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini, setelah empat tahun mengajar, perempuan berusia 35 tahun itu mendapatkan nomor induk dosen nasional (NIDN). “Kalau di kampus sebelumnya, belum tentu ada pengangkatan dan jaminan lainnya,” kata Irma. 

Sebagian rekannya yang memilih bertahan dan tak kunjung diangkat pada akhirnya memilih keluar. Irma mengatakan mereka terbentur rumitnya birokrasi kampus tanpa tahu harus mengadu ke mana. “Kalau saya di sana, belum tentu diangkat juga,” kata dia. Beberapa yang bertahan dengan upah yang tak sesuai dengan beban kerja pun terpaksa mencari pekerjaan tambahan.

 

Sejumlah mahasiswa mengikuti perkuliahan di kampus UNS, Solo, Jawa Tengah. Dokumentasi TEMPO/Bram Selo

Persoalan kesejahteraan masih dirasakan para pengajar di perguruan tinggi. Selama ini para dosen tidak memiliki wadah untuk berjuang bersama. Menjawab hal itu, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengajak para dosen di Indonesia bersama-sama mendirikan serikat buruh. Sebab, bagi mereka, dosen, sama halnya dengan buruh lainnya, juga perlu berserikat untuk membangun kekuatan.

Wacana pembentukan serikat buruh sudah lama ada. Menurut koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana, ide soal serikat buruh kembali gencar dibahas setelah terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. 

Peraturan yang berlaku mulai 1 Juli 2023 itu mendapat kritik sejumlah akademikus perguruan tinggi. KIKA, sebagai organisasi yang didirikan oleh dosen dan peneliti dari sejumlah perguruan tinggi, telah menyampaikan sikap penolakannya. 

Selain karena cacat formil dan materiil, KIKA menilai pembuatan peraturan menteri tersebut tidak melibatkan dosen. Menurut Satria, pembentukan aturan ini minim partisipasi dan dianggap membuat para pengajar semakin terkungkung dalam birokrasi. "Birokratisasi kampus cukup kompleks. Kredit dosen dan ASN di Kementerian Pertahanan, misalnya, itu berbeda,” kata dia. Ia mengatakan tidak seharusnya ada peraturan semacam omnibus yang menyamaratakan. “Bahkan, di tingkatan dosen pun, pengukuran kinerjanya berbeda-beda.”

Selain permasalahan peraturan tersebut, Satria melanjutkan, berkembang diskursus-diskursus bawah tanah untuk membentuk serikat pekerja kampus. Beberapa dosen bahkan sudah membentuk secara kolektif untuk berkongsi di beberapa universitas. “Ini fenomena gunung es. Mereka menghadapi situasi tekanan, ancaman diskriminasi, hingga hubungan tidak seimbang dalam kontrak,” kata dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.

Serikat buruh bagi para pengajar perguruan tinggi dapat menjadi wadah untuk menghadapi banyaknya permasalahan, seperti dosen yang tidak memiliki posisi tawar dalam hubungan kerja, kebebasan akademik, dan kesejahteraan. Semua dalam bingkai beban kerja dosen muda yang lebih besar dari dosen senior.

Menurut Feri Amsari, pakar hukum tata negara, kesadaran membangun serikat diperlukan, khususnya ketika muncul Peraturan Menteri PANRB yang semakin membuat profesi dosen bermasalah dan tidak merdeka. “Serikat pekerja ini dibuat untuk mengembangkan posisi dosen sebagai buruh yang perlu memperjuangkan hak-haknya,” kata akademikus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, ini.

Pengajar perguruan tinggi juga banyak yang masih menerima upah rendah. Hal itu diungkapkan oleh Kanti Pertiwi, dosen Universitas Indonesia. Kanti sempat membuat riset mandiri tentang kesejahteraan dosen yang dilakukan bersama akademikus di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Mataram. 

Survei yang dilakukan sebelum Lebaran lalu dengan 1.300 responden itu bermula dari Kanti dan rekannya yang membaca kegelisahan rekan-rekan dosen yang dituangkan di media sosial. “Hasilnya, hanya 9 persen yang menjawab memilliki gaji di atas Rp 5 juta,” kata dia. Hal ini masih dikeluhkan terutama oleh dosen yang berstatus non-aparatur sipil negara.

Beberapa dosen berpenghasilan rendah tersebut terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pejabat struktural. “Persoalannya, dosen-dosen S-3 yang seharusnya punya waktu untuk penelitian, saat selesai sekolah, harus mengorbankan waktunya untuk jabatan tersebut,” kata dia.

 

Sejumlah dosen yang tergabung dalam Ikatan Lintas Pegawai Perguruan Tinggi Negeri Baru se-Indonesia berunjuk rasa soal status kepegawaian para dosen dan tenaga kependidikan di kawasan Patung Kuda, Jakarta, 20 Maret 2023. ANTARA/Reno Esnir

Milda Istiqomah, peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), mengatakan dosen memiliki posisi lemah dari segi pengupahan. Ia menilai dosen tidak punya kapasitas untuk memperjuangkan hak-hak mereka tersebut secara perorangan. “Perlu ada wadah. Ini mengapa kita perlu berserikat,” kata dia.

Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, ini mengatakan hak dasar lain juga bisa diperjuangkan dengan berserikat. Misalnya hak akses kesehatan, seperti BPJS Kesehatan dan hak jaminan sosial.

Namun, Milda melanjutkan, upaya pembentukan serikat buruh bagi dosen masih terbentur sejumlah faktor. Di antaranya ego para akademikus tersebut yang enggan disebut sebagai buruh. Padahal, kata Milda, berserikat merupakan upaya berjuang bersama kelas pekerja lainnya.

ILONA ESTERINA PIRI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus