Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu Pangeran Charles, Putri Camilla, Uskup Agung Canterbury, para keturunan Charles Dickens, dan rombongan sastrawan serta teaterwan Inggris memasuki Westminster Abbey, gereja kuno yang dibangun Raja Henry III pada 1245. Bagian dalam gereja ini dipenuhi makam tokoh terkenal, seperti fisikawan Sir Isaac Newton dan Ernest Rutherford. Rombongan tersebut melangkah ke Sudut Pengarang di selatan kompleks makam, tempat banyak sastrawan besar negeri itu dikubur, seperti Geoffrey Chaucer dan Rudyard Kipling.
Mereka berhenti di sebidang lantai dengan ubin bertatahkan tulisan "Charles Dickens, born 7th February 1812, died 9th June 1870". Makam itu berada di sebelah makam dua sastrawan besar Inggris lainnya, Kipling dan Thomas Hardy. Pangeran Charles meletakkan karangan bunga mawar putih dan snowdrop berbentuk lingkaran di atas makam Dickens. Lalu dua keturunan Dickens, Bob Dickens dan Rachel Dickens-Green, meletakkan dua karangan bunga atas nama keluarga besar mereka.
"Meskipun bertahun-tahun telah berlalu, Charles Dickens tetap menjadi salah seorang pengarang berbahasa Inggris terbesar di dunia yang menggunakan kejeniusan kreatifnya mengkampanyekan keadilan sosial dengan penuh gairah," kata Pangeran Charles, seperti dikutip The Telegraph, dalam pidatonya di makam itu pada 7 Februari lalu. Pidato itu menandai dimulainya perayaan 200 tahun kelahiran Dickens di seluruh dunia.
Para sarjana sastra menilai Charles Dickens sebagai sastrawan terbesar Inggris pada era Victoria. Sepanjang hidupnya, Dickens telah menulis sekitar 20 novel, beberapa kumpulan cerita pendek serta beberapa drama, puisi, dan esai. Novel-novelnya menjadi karya sastra klasik yang jadi bacaan wajib di berbagai negara berbahasa Inggris. Hingga kini, sekurang-kurangnya ada 180 film dan tayangan televisi yang mengadaptasi karyanya. Tak terhitung berbagai pentas teater yang mengangkat novelnya sejak 1913.
Dickens sebenarnya minta dimakamkan di Katedral Rochester di timur London, tapi masyarakat yang sangat memujanya pada masa itu memprotes sehingga ia akhirnya dikubur di Westminster Abbey. Gereja itu terletak di hadapan Gedung Parlemen Inggris, yang dihiasi menara jam Big Ben yang terkenal, dan tak jauh dari Downing Street, kediaman resmi Perdana Menteri Inggris. Di sebelah timurnya terbentang Sungai Thames—yang digambarkan dengan amat suram oleh Dickens dalam novel Our Mutual Friend (1864). Siapa pun dapat masuk ke gereja ini dan berziarah ke makam Dickens dengan membeli tiket seharga 16 pound sterling atau Rp 232 ribu.
Sepanjang tahun ini acara peringatan Dickens diadakan di berbagai tempat. Sejumlah pameran, diskusi, pemutaran film, dan dramatisasi novel-novel Dickens digelar di tempat yang berhubungan dengan sejarah hidup Dickens. Gerald Rhoderick Charles Dickens—piut Charles Dickens yang juga dikenal sebagai aktor yang mementaskan naskah-naskah Dickens—pun kebagian rezeki. Jadwalnya penuh sepanjang tahun ini. Hampir tiap pekan dia naik panggung. "Saya mementaskan banyak pertunjukan, termasuk di gedung tempat kakek buyut saya dulu pentas," katanya.
Ada pula paket wisata menyusuri jejak hidup Dickens, mulai wisata jalan kaki menelusuri bagian London yang dituliskan Dickens dalam novel-novelnya hingga wisata di London, Portsmouth, dan Chatham—kota-kota yang pernah ditinggali Dickens—selama lima hari dengan dipandu oleh seorang ahli tentang Dickens. Biaya paket wisata seperti ini bisa mencapai lebih dari 1.800 pound sterling atau Rp 25 juta, termasuk penginapan.
Saluran televisi BBC sepanjang tahun ini memutar film-film adaptasi dari novel Dickens, termasuk Great Expectations, yang diproduksi khusus BBC baru-baru ini. Dalam film ini, Gillian Anderson, pemeran agen Dana Scully dalam film seri X-Files, berlakon sebagai Miss Havisham. British Film Institute Southbank memutar semua film yang diangkat dari novel-novel Dickens dalam program "Dickens on Screen". Kita dapat pula menonton film dokumenter baru karya sineas terkemuka Inggris, William Raban. Di situ Raban membandingkan suasana London pada malam hari dewasa ini dengan London masa lampau seperti yang dijabarkan Dickens.
Dickens memang dikenal sangat mencintai London dan diketahui secara teratur sering berjalan-jalan melihat-lihat kotanya. Pemandangan, suara, dan bau Kota London tua kemudian dia catat dengan apik ke dalam tulisannya, yang membuat pembaca ikut hanyut merasakan. Peter Ackroyd, penulis buku biografi Dickens, menyatakan, dari karya Dickens, kita bisa tahu betapa London sangat kotor pada zaman Victoria. "Jika orang dari abad ke-21 datang ke masa itu, dia pasti akan mual mencium bau-bauan di sana," tulis Ackroyd.
Simaklah bagaimana Dickens dalam Little Dorrit menggambarkan London seusai hujan deras: "Di pedesaan, hujan pastilah menimbulkan ribuan bebauan segar.Di kota, hujan hanya menimbulkan bau busuk, penuh kotoran menyebalkan dalam got."
Di luar Inggris, perayaan juga berlangsung di Bologna, Italia, negeri yang pernah dikunjungi Dickens pada 1844. Dari kunjungannya itu, dia menulis sebuah catatan perjalanan, Pictures from Italy. Festival Dickens di Bologna berlangsung sepanjang tahun ini .
Kota Lowell di New England, Amerika Serikat, yang pernah dikunjungi Dickens pada 1842, juga menyelenggarakan perayaan Dickens selama tujuh bulan dan menampilkan tidak kurang dari 75 acara.Dan Museum Strauhof di Zurich, Swiss, menggelar pameran "The Mysteries of Charles Dickens" sampai akhir Maret ini.
Sebagai hadiah ulang tahun untuk Dickens, Heritage Lottery Fund dan Dickens Fellowship akan memperbaiki dan mempercantik Charles Dickens Museum di Doughty Street. Museum yang didirikan pada 1925 oleh Dickens Fellowship itu merupakan satu-satunya bekas rumah Dickens di London yang tak berubah hingga kini. Proyek renovasi ini membuat museum itu ditutup mulai April dan akan dibuka lagi pada Desember nanti untuk merayakan Natal ala Victoria, yang dipopulerkan Dickens lewat novelnya, Christmas Carol. "Setelah perbaikan nanti, pokoknya museum ini akan terasa sangat seperti rumah Dickens, dan seperti Dickens baru saja lewat," kata gadis penjual tiket di museum itu.
Ya, meski sudah 200 tahun berlalu, Dickens seperti baru saja lewat. YouGov, badan periset di Internet, mencoba menghimpun pendapat orang Inggris tentang relevansi tulisan Dickens.Lesley H. dari London, salah seorang responden, membandingkan isu penjara dan kriminalitas serta bullying dengan tulisan Dickens. "Penjara masih merupakan masalah besar sekarang dan kriminalitas merupakan hal yang banyak disoroti dalam tulisan Dickens, misalnya dalam Oliver Twist, The Mystery of Edwin Drood (penggunaan narkotik), serta David Copperfield dan Nicholas Nickleby (dijahati guru dan murid)," katanya.
Bagi Femi Martin—penulis muda yang juga Dickens 2012 Young Writer in Residence—tema yang terus muncul dalam karya-karya Dickens, seperti kekejaman terhadap anak-anak dan masalah sosial-ekonomi, masih amat relevan. "Tidak hanya relevan bagi masyarakat Inggris, tapi juga secara global. Ketika Dickens menulis tentang London, dia juga sadar mengenai ketidakadilan yang terjadi di tempat lain. Hal ini, misalnya, dicerminkan oleh kritiknya terhadap perbudakan di Amerika Serikat setelah Dickens mengunjungi negara itu saat dia berusia 29 tahun," kata Femi.
Kelahiran Dickens dirayakan di seluruh dunia karena dia telah menjelajahi banyak negara saat hidup. Seperti yang dikatakan hantu dalam A Christmas Carol: "Setiap orang, jiwanya harus berjalan ke luar negeri, berkelana jauh sekali. Jika dia tak melakukannya saat hidup, dia akan dikutuk setelah mati."
Kurniawan, Lenah Susianty (london)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo