Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Melawan Sampah di Jatiwangi

Para seniman mancanegara tinggal dan bergaul dengan masyarakat Jatiwangi. Mereka membuat karya yang mengajak rakyat mengolah sampah.

19 Maret 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hujan deras dan geledek menyurut selepas petang. Sisa gerimis membasahi sekitar 50 warga dari berbagai penjuru kampung yang datang ke galeri Jatiwangi Art Factory (JAF) di Jalan Makmur 604, Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Rabu malam dua pekan lalu. Mereka hendak menyaksikan pembukaan pameran "After the Rain". Pameran hasil residensi lima seniman dari Jerman, Spanyol, Jepang, dan Indonesia itu digelar hingga 21 Maret.

Ada belasan karya yang dipamerkan. Di dekat pintu masuk galeri, karya Julian Weber, Indonesian Puddle, berdiri menghadang. Artis berusia 26 tahun asal Jerman ini membuat cetakan lubang jalanan di desa itu dengan gips putih. Luasnya hampir seukuran tabloid. Hasil cetakan yang dibalik dengan kerikil ikut menempel di bagian atasnya itu menimbulkan kesan baru: sebuah lanskap perbukitan yang seluruhnya tertutup salju.

Selama sebulan residensi di sana, Weber juga membuat Skyline, hasil imajinasi bentuk gedung-gedung pencakar langit dari barisan tiang penyangga mikrofon. Adapun Disco dibuat sangat sederhana. Ia hanya menempatkan lampu senter kecil yang biasa dipakai di sepeda. Sorotannya diatur berkedip-kedip ke arah bungkus plastik keripik kentang kosong yang menganga keperakan. "Saya ingin membuat ruang imajinasi di dalam bungkus itu," ujarnya.

Karya lainnya, Self Demonstration, dibuat bersama warga sekitar. Awalnya Weber mengajak sekitar 30 orang melukis wajah mereka masing-masing di atas kertas karton yang dijepit tongkat kayu. Mereka lalu mengaraknya keliling kampung sambil bernyanyi seperti aksi unjuk rasa. Setelah itu setiap peserta difoto dengan muka ditutupi gambar wajahnya. Seniman yang mempelajari seni patung di Jerman dan Austria itu mengajak setiap orang untuk berani menunjukkan dirinya.

Proyek kolaborasi dengan masyarakat juga dilakukan Makiko Watanabe. Mahasiswi pascasarjana di St Martin College, London, Inggris itu selama sekitar dua pekan membuat sebuah video Village Intervention Project. Pengajar komputer di London itu memadukan seni rupa dengan matematika. Ia mengulang keteraturan pemasangan genting rumah dengan membuat beberapa bentuk geometri, yang kemudian dibuat dalam cetakan sablon sederhana dari plastik. Perulangan bentuk geometri dengan cat aneka warna itu dikerjakan puluhan pelajar SMP dan SMA setempat di jalanan dan dinding sekolah.

Banyaknya produk berkemasan plastik di Indonesia mengilhami Bianca Benenti dari Spanyol untuk menggali ketegangan di antara dua material secara humoristis dalam Control and Cooperation. Mahasiswi seni rupa di Kunstochschule, Berlin, itu menggunakan sebidang kaca satu meter persegi. Kaca yang menyender di tembok itu lalu ia topang dengan dua bungkus saus murahan. Hasil kerja sama dua bahan itu selanjutnya ditentukan oleh kekuatan gaya tarik bumi.

Pada karya Irung, dari bahasa Sunda yang berarti hidung, perempuan kelahiran Turin, Italia, berusia 25 tahun itu membuat keramik hasil cetakan hidung milik 22 warga Jatiwangi. Bagian tubuh itu, menurut Bianca, unik karena berada di pusat wajah dan menonjol. "Hidung ikut menunjukkan identitas setiap orang di dunia," katanya. Ketika puluhan hidung itu dikumpulkan dan dibariskan, ia percaya pemiliknya bisa menge­nali. Proses itu seperti menemukan sese­orang dalam keramaian dari tampilan fisiknya.

Dari Indonesia, duet suami-istri Irwan Ahmett dan Tita Salina menghasilkan urban play bertema sampah. Pada karya Tamu Tak Diundang, mereka membuat rangka kayu dan bambu berlapis plastik tembus pandang sebagai tempat sampah berbentuk satu set sofa. Bangku itu kemudian ditempatkan di sebuah lahan desa di blok Pahing, yang selama ini dijadikan tempat pembuangan sampah liar oleh warga. "Kami ingin menjadikan tempat itu seperti ruang tamu, yang selalu bersih di rumah," kata Irwan.

Di lokasi pembuangan sampah liar lainnya, Irwan dan Tita membangun semacam monumen yang berfungsi sebagai tempat sampah. Bentuknya berupa bangunan huruf kapital setinggi kira-kira satu meter bertulisan "punteun" ("maaf" dalam bahasa Sunda). Cara itu dipakai sebagai penolakan secara halus bagi warga yang ingin membuang sampahnya di sana.

Di ruang galeri, mereka menyusun sampah plastik hasil temuan mereka di atas alas seukuran sajadah atau karpet kecil untuk salat. Arahnya tepat menghadap kiblat. Sebuah kotak televisi, yang memutar video aksi mereka di perkampungan dan suara azan, berdiri di depan seperti imam salat. Karya berjudul Sampah Berjamaah itu mengkritik kebiasaan orang membuang sampah sembarangan. "Karena banyak yang melakukannya atau berjemaah, mereka jadi merasa tak bersalah," ujar Irwan.

Sampah yang bertebaran di desa itu juga melahirkan ide karya Salam Tempel. Mereka menempelkan sampah dengan plester ke orang lain secara diam-diam. Aksi itu untuk menarik perhatian orang agar lebih memperhatikan sampah di sekitarnya. Cara lainnya dengan meminta kasir sebuah supermarket di Jatiwangi untuk menuang isi kemasan ke dalam botol-botol kosong yang mereka siapkan dari rumah. Aksi untuk mengurangi sampah itu direkam diam-diam dengan kamera video.

Dalam setahun terakhir ini Irwan dan Tita cuti dari pekerjaan mereka sebagai desainer grafis, yang mereka geluti selama sepuluh tahun, di Jakarta. Keduanya berkeliling ke sejumlah negara untuk residensi atau membuat proyek urban play, seperti di Belanda, Turki, dan Iran. Mereka, misalnya, mengajak warga atau seniman di sana membuat baling-baling manusia yang bergerak seperti pintu berputar. "Jatiwangi jadi tempat residensi pertama kami di Indonesia," kata Irwan.

Selama dua pekan di kampung itu, lelaki asal Ciamis, Jawa Barat, kelahiran 1975 ini mengaku mendapatkan banyak ide baru. Waktu terasa berjalan lambat di sana karena sambungan Internet sempat mati setelah tersambar petir. Maka, kata Irwan, ia punya banyak waktu untuk berkarya. Suasana pedesaan juga dirasakannya lebih tenang. Ia berencana membuat studio kerja baru di daerah perkampungan pinggiran Jakarta.

Program residensi seniman di desa petani dan pembuat genting itu sudah berjalan sejak JAF mulai berdiri pada 2006. Menurut pengelola galeri JAF, Arief Yudi, hampir tiap bulan selalu ada seniman yang ikut residensi di sana. Pameran biasanya dibuat pada akhir program jika diikuti lebih dari empat orang dan menghasilkan banyak karya. Adapun program residensi festival digelar dua tahun sekali.

Program lain mereka adalah mengundang seniman dari Jakarta, Bandung, dan kota-kota lain untuk memberi pelatihan kepada warga desa, seperti proyek Village Video Festival 2011. Sebagian hasilnya dipakai untuk mengisi program stasiun televisi komunitas JAF TV yang mereka kelola. "Setelah disambar geledek, sekarang daya jangkau siarannya diperluas sekecamatan," kata Arief Yudi, pengelola galeri JAF. Salah satu mata siarannya adalah iklan layanan masyarakat berupa kampanye mengurangi pemakaian kantong plastik.

Masalah sampah itu terus bergulir. Mulai tahun ini, kata Arief, mereka menawarkan program residensi bertema sampah ke para seniman dari dalam dan luar negeri yang berminat datang. Sampah memang telah menjadi masalah besar di sana, mulai sampah yang masuk irigasi dan terbenam di tanah sawah hingga pembuangan sampah di lahan-lahan kampung. Pengumpulan sampah di sawah dan irigasi selama setengah hari, contohnya, pernah mencapai tiga truk. "Lewat seni kami ingin mencari jalan keluar dari masalah perubahan sosial masyarakat agraris ke modernisasi di kampung ini," ujar Arief.

Hasilnya cukup menggembirakan. Warga Desa Jatisura kini berminat meneruskan karya sofa tempat sampah buatan Irwan dan Tita di daerahnya. Seorang warga yang hadir di pameran, Atek Wastaraswita, 36 tahun, mengaku mendapat inspirasi untuk mengubah sampah plastik menjadi mobil dan pesawat mainan anak-anak. "Saya mau anak-anak merasakan manfaat dari sampah," katanya.

Langkah selanjutnya yang sedang dirancang JAF bersama kuwu atau Kepala Desa Jatisura, Ginggi Syarif Hasyim, berupa pembuatan bank sampah. Warga yang menyetor sampah plastik akan dibayar, lalu uangnya diminta untuk tabungan rekreasi siswa sekolah dasar di desa itu. "Pelajar di sini tak pernah berekreasi karena biayanya mahal," kata Arief. Limbah itu nantinya dikelola oleh investor lokal untuk dibuat menjadi payung, cendera mata, tas, dan jas hujan.

Di Jatiwangi, seni bergerak ke masyarakat untuk perubahan sosial. "Bersih itu seperti kudeta, makanya sangat susah di negeri ini," kata Arief.

Anwar Siswadi


Residensi dan Tempe

Program residensi seniman di Jatiwangi Art Factory berbeda dengan kebanyakan tempat residensi bergengsi di dalam dan luar negeri. Para artis tidak dikurung di dalam studio yang disediakan tuan rumah, yang biasanya lengkap dengan fasilitas akomodasi mewah dan karya yang lengkap. Mereka tinggal selama 2-3 pekan di Desa Jatisura dan harus menerima kondisi apa adanya di sana.

Mereka tinggal di rumah tua berusia setengah abad lebih dengan dua kamar mandi yang dipakai bersama. Tuan rumah, Arief Yudi dan keluarganya, juga tak menyediakan makanan yang biasa mereka makan di negaranya. Menu utama tetap berupa nasi, sambal, dan lalap berupa kacang panjang, terong, dan mentimun mentah serta sayur dan tempe. Semua terhidang di meja makan untuk santapan dua kali sehari, sarapan mendekati jam makan siang dan makan malam.

Julian Weber dan Bianca Benenti mengaku tak bermasalah dengan makanan. Namun keduanya menghindari sambal ulek yang pedas. Weber pernah makan jengkol, tapi ia dan Bianca lebih senang mengunyah tempe. "Saya suka sekali tempe. Dibuatnya dari apa, ya?" tanya Weber, yang vegetarian. Sesekali mereka turun ke dapur untuk memasak makanan kesukaannya. Weber dan Bianca, misalnya, memasak makaroni dan Makiko membuat sup miso bihun dengan bumbu dari Jepang.

Menurut pendamping para seniman, Aceng Sopandi, proses adaptasi lainnya yaitu berbaur dengan masyarakat sekitar. Biasanya, kata guru sekolah menengah kejuruan itu, seniman asing enggan didampingi. "Warga juga lama-lama terbiasa ketemu orang asing sedang berada di kebun atau sawah sendirian," ujarnya. Buat warga desa, khususnya pengelola dan relawan di JAF, mereka pun jadi dipaksa membuka kamus bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan para seniman.

Pengelola galeri JAF, Arief Yudi, mengatakan program residensi itu mensyaratkan dua kegiatan kepada para seniman selain berkarya. Pertama, mereka bersedia membuat pelatihan untuk berbagi pengetahuan dengan masyarakat desa. Kedua, ikut mengajar di kelas. "Mereka bisa bercerita tentang perjalanannya ke Indonesia sampai ke sini atau cerita tentang negaranya, yang dimulai dari peta," katanya. Menurut sejumlah seniman yang pernah singgah, kata dia, ini bentuk residensi yang paling nyata.

Walau begitu, beberapa seniman asing sempat ada yang mengeluh dan kecewa hingga proyek seninya gagal karena bahan yang dibutuhkan tidak tersedia di kampung itu. Misalnya Weber, yang perlu cat wajah, dan Bianca, yang butuh karet silikon. Kedua bahan itu hanya bisa didapat di Bandung dan Cirebon. Dulu, kata Arief, ia mau melayani pembelian bahan hingga ke Bandung. Sekarang mereka harus kreatif membuat karya dari bahan yang ada di kampung itu.

Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus