Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERIMPIT di tengah kepadatan sebuah permukiman, rumah Nyonya Titin Embay bisa dikenali lewat kerai bambu yang meneduhi terasnya. Mungil ukurannya, cuma sebesar rumah tipe 36. Tembok depan rumah ini memeluk erat gang sumpek di Kelurahan Lopang Gede, Serang, Banten. Separuh ruang depannya dipakai untuk warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Yang tersisa cuma beranda sempit dijejali beberapa kursi plastik, yang biasa dipakai untuk menerima tamu.
Di beranda itulah Nyonya Titin, yang berusia enam puluhan tahun, menerima TEMPO beberapa waktu lalu. Alangkah terperanjatnya ibu 11 anak ini tatkala TEMPO menyodorkan fotokopi selebaran polisi Malaysia yang memuat foto anaknya, Abdul Aziz, 32 tahun. Aziz termasuk dalam daftar buron aparat negeri tetangga karena diduga terlibat dalam serangkaian kegiatan teroris. Dibalut jilbabnya yang bersih, air muka Titin tiba-tiba menjadi keruh. Wajahnya yang berkerut-kerut semakin tampak renta.
Dia mengakui gambar itu wajah Aziz, anaknya yang ke-8. Sang anak, yang bermuka kelimis dan bertubuh ramping, memang pergi ke Malaysia pada 1990-an. Dia jarang pulang kampung. Terakhir, Aziz pulang pada hari raya Idul Fitri dua tahun silam dengan membawa istri dan tiga anaknya. Hanya, jika anaknya disangkut-pautkan dengan aksi kejahatan, Nyonya Titin sungguh tak percaya. Soalnya, Aziz dikenal sebagai anak yang berbakti pada orang tua, santun, bahkan bersedia hidup prihatin. "Kalau tak ada nasi, dulu dia suka berpuasa," ujar sang ibu.
Hati Nyonya Titin—yang sudah cukup lama menjanda—terasa dipukul-pukul karena dalam selebaran itu Aziz disebutkan punya panggilan lain "Imam Samudra". Nama Imam Samudra alias Kudama baru-baru ini menyita halaman depan koran-koran di negeri ini. Dia diburu oleh polisi setelah Amrozi, tersangka peledakan bom Bali, melantunkan nyanyian di balik jeruji. Kata pemuda asal Lamongan di Jawa Timur itu, Imam-lah yang menyuruh dia membikin aksi teror. Keduanya, bersama beberapa kawannya, pernah bertemu di sekitar Pasar Klewer, Solo, sebelum pengeboman.
Nama Imam Samudra sejatinya sudah tak asing di telinga polisi. Dia bahkan sudah diincar sejak peledakan Plaza Atrium, Senen, Agustus tahun lalu. Gara-garanya, Taufik Abdul Halim alias Dani, pelaku yang tertangkap, buka mulut. Pemuda asal Malaysia ini bilang bahwa Imam yang punya rencana meledakkan sebuah gereja di Jakarta. "Saya mengenalnya di Indonesia, " kata Dani. Rencana itu sendiri gagal. Bom rakitan tiba-tiba meletup saat ditenteng Dani di pintu masuk Plaza Atrium. Akibatnya, kaki kanan Dani pun buntung tersambar pecahan ledakan.
Dari penelusuran TEMPO, jejak Imam juga membekas di Pekanbaru, Riau. Tahun lalu di provinsi ini pernah terungkap rencana penghancuran Gereja Padang Kerinci dengan bom rakitan seberat 300 kilogram. Tapi, sebelum rencana ini dilakukan, seorang pelakunya bernama Basuki keburu dicokok bersama bahan peledak yang ditentengnya. Nah, dalam pemeriksaan polisi Pekanbaru, dia mengaku aksi teror itu direncanakan bersama dengan Imam Samudra, yang saat itu menggunakan nama Abdurrahman.
Keduanya pernah bertemu di Surabaya pada 3 Desember 2001. Saat itu Basuki berniat melakukan jihad di Ambon. Tapi Imam, seperti dituturkan Basuki kepada polisi, menganjurkan lain, "Untuk berjihad, Anda cukup pergi ke Pekanbaru." Lalu pergilah dia ke kota itu dengan dibekali duit Rp 500 ribu oleh Imam untuk menggelar "jihad" yang akhirnya kandas itu.
Sejak tahun lalu Kepolisian Pandeglang, Banten, pun telah mencari-cari Imam. Perburuan ini bermula dari penggerebekan terhadap sekelompok orang yang mengadakan latihan militer di Cimalati, Pandeglang. Di situ polisi menemukan amunisi, senjata api, dan bahan peledak yang tersimpan di lokasi latihan. Tiga belas orang, di antaranya Dadan Hermawan, lalu ditangkap dan kini sedang menjalani hukuman.
Ternyata kelompok itu berhubungan dengan para pelaku peledakan di Atrium Senen. Dadan mengaku, bahan peledak dan senjata api itu didapat dari Abbas alias Edi Setiono, salah satu pelaku peledakan Plaza Atrium. Selain nama Abbas yang kini berada di penjara, nama Imam Samudra pun muncul. "Imam juga disebut-sebut sebagai pemilik bahan peledak tersebut," kata Komisaris Polisi Sugiyono, Wakil Kepala Polres Pandeglang.
Berbekal dari pengakuan tersebut, anak buah Sugiyono melacak Imam alias Abdul Aziz. Rumah ibunya di Lopang Gede tak luput dari pengawasan. Ketika salah satu adik Aziz dinikahkan pada September tahun lalu, sejumlah anggota polisi tampak berkeliaran di Serang. Mereka berharap Imam pulang dari pengembaraan.
Tapi sampai sekarang lokasi keberadaan Imam belum tercium. Polisi belum bisa memastikan apakah dia berada di negeri ini atau di Malaysia. Yang ditemukan malah jejak-jejaknya yang lain. Menurut bekas Direktur Antiteror Mabes Polri, Brigjen Utju Djuhaeri, diduga ia juga terkait dengan rencana peledakan bom di Batam tahun lalu.
Sejumlah media asing menempatkan Imam dalam deretan pimpinan Jamaah Islamiyah di samping Abu Bakar Ba'asyir dari Pesantren Ngruki, Jawa Tengah. Organisasi ini oleh Amerika Serikat dituding sebagai biang aksi teror di Asia Tenggara. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, pun mengatakan Imam adalah pendiri Jamaah Islamiyah di Malaysia bersama almarhum Abdullah Sungkar.
Menurut Abbas, Imam memang pintar. Dia seorang insinyur. "Bahasa Inggrisnya lancar, juga bahasa Arabnya," katanya. Soal kemampuannya berbahasa asing ini klop dengan yang digambarkan Amrozi. Abbas juga menyebut Imam pernah tinggal lama di Malaysia dan mengaku berasal dari Bogor. Dia beristrikan wanita Malaysia.
Sosoknya? Pelaku peledakan Plaza Atrium itu melukiskan tubuh Imam tak terlalu tinggi, dan gempal. Lalu, "Kepalanya agak botak," katanya kepada majalah Pantau beberapa waktu lalu.
Yang jadi soal, apakah Imam Samudra alias Kudama alias Abdurrahman, yang diduga terlibat dalam serangkaian aksi teror itu, bernama asli Abdul Aziz? Ada secuil keraguan. Soalnya, sosok Imam yang dilukiskan Abbas berbeda dengan gambar Abdul Aziz dalam selebaran polisi Malaysia yang telah diakui oleh ibunya. Foto Aziz yang terpampang dalam selebaran itu tidak gempal dan botak seperti dibilang Abbas.
Hanya, ketika belajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Serang, Aziz memang dikenal sebagai siswa yang sopan dan cerdas. Saat lulus dari sekolah ini ijazahnya dipenuhi angka delapan. Jangan heran pula bila kemudian ia bisa masuk dengan mudah ke Madrasah Aliyah Negeri 1 Serang dan duduk di kelas biologi. Di sekolah ini, prestasinya juga mengkilap. "Ia bukan hanya siswa yang cerdas, tapi juga aktif berorganisasi," tutur Saleh As'ad, seorang tokoh di Pandeglang dan guru Aziz saat di madrasah aliyah.
Dulu, di sekolahnya, kata Saleh, Aziz pernah menjabat Wakil Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan salah satu pemimpin takmir masjid sekolah. Dia termasuk murid yang disayangi guru-gurunya. Aziz keluar dari madrasah aliyah sebagai lulusan terbaik pada 1990 dengan nilai rata-rata 8,5.
Jika Imam dan Aziz adalah orang yang sama, telah terjadi lompatan besar pada pemuda Serang ini. Mungkinkah pengembaraannya ke Malaysia telah mengubah Aziz yang santun dan pendiam menjadi pencinta kekerasan? Teka-teki ini hanya bisa dijawab jika polisi sudah berhasil menangkapnya.
Yang pasti, Ramadan kali ini dilalui dengan berat oleh Nyonya Titin. Anaknya yang dulu paling disayangi tiba-tiba dituding sebagai otak di balik serangkaian peledakan bom. Dia jadi orang yang paling dicari oleh polisi saat ini. Sambil berjualan dan merancang pakaian muslim bermerek An-Nur 31, sang ibu kerap terbayang wajah Aziz yang terpampang di selebaran itu.
Tudingan pada anaknya membuat Nyonya Titin, yang keletihan membesarkan kesebelas anaknya, kian kelihatan lelah. Dia bahkan sudah tak kuat lagi menjahit pakaian muslim di tengah pesanan yang menumpuk menjelang Idul Fitri. Pekan lalu, ketika TEMPO menjenguknya lagi, suaranya kian berat dan napasnya sering tersengal. Perbincangan pun cuma bisa dilakukan sekitar tujuh menit. "Saya bingung menghadapi situasi ini," ujarnya lirih. Lalu, sang ibu buru-buru pamit pergi ke belakang, mengambil air wudu untuk sembahyang asar.
Darmawan Sepriyossa dan Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo