Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Zakaria: "Amrozi Hanya Pesuruh"

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA "bintang televisi" tiba-tiba muncul di Tenggulun— sebuah desa yang kering, meranggas, dan berdebu di Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, pesisir utara Jawa Timur. Dalam sepekan terakhir, para wartawan dalam dan luar negeri, intel, dan polisi mendatangi desa itu pagi dan petang. Mereka semua punya tujuan serupa: menemui beberapa orang yang bisa menjelaskan perihal Amrozi, pria asal Tenggulun yang kini menjadi "bintang utama" dalam kasus peledakan bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan lebih dari 185 orang.

Salah satu tokoh Tenggulun yang disambangi tamu-tamu jauh itu adalah Zakaria, 32 tahun, ustad yang memimpin Pondok Pesantren Al-Islam. Zakaria adalah salah satu saksi yang dianggap mengenal Amrozi dari dekat. Keduanya bahkan punya pertalian di Al-Islam: Amrozi ikut mendirikan dan aktif di pesantren tersebut. Setelah Amrozi dibekuk polisi, Zakaria mengaku melihat Amrozi sedang menonton tinju di televisi ketika peristiwa itu terjadi. Ini tidak mustahil karena rumah Amrozi bersebelahan dengan Pondok Pesantren Al-Islam.

Pesantren ini sempat pula digeledah polisi setelah penangkapan Amrozi—untuk mencari adik-adik Amrozi yang diduga bersembunyi di situ. Beberapa hari silam, Tenggulun lagi-lagi menjadi pusat perhatian tatkala polisi mengabarkan penemuan mereka terhadap beberapa pucuk senjata api dan peluru yang tersimpan di dalam pipa plastik paralon. Maka, pekan lalu, Zakaria terbang ke Bali dengan tujuan menemui Amrozi. Ternyata di sana dia juga menjalani pemeriksaan polisi.

Dalam pemeriksaan tersebut, Zakaria mengatakan mendengar langsung pengakuan Amrozi soal keterlibatannya dalam bom Bali. "Tapi saya tidak melihat wajahnya secara langsung. Saya hanya mendengar suaranya," ujar Zakaria kepada TEMPO. Setelah dua hari berada di Bali, Zakaria dipulangkan lagi ke Lamongan. Ketua tim investigasi Inspektur Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika dengan bercanda mengatakan soal status Zakaria, "Kalau mau diperdatakan, kurang data. Kalau mau dipidanakan, kurang dana." Sekarang Zakaria telah kembali berada di Pesantren Al-Islam dan menjalankan aktivitasnya seperti biasa: memimpin pesantren dan menjadi imam salat tarawih para santrinya.

Siapakah sebenarnya Zakaria? Lahir di Lengkolar, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dia berasal dari sebuah keluarga "campuran". Ayahnya seorang muslim, sedangkan ibunya penganut agama Kristen yang kemudian menjadi muslimah. Dia belajar di SD Katolik setempat sebelum masuk SMP negeri setempat. Pendidikan agamanya dia tempuh di Bima, Nusa Tenggara Barat, selama dua tahun. Dia masuk Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo, pada 1988 atas saran seorang ulama di Nusa Tenggara Timur. "Tapi saya tak pernah bertemu dengan Ustad Ba'asyir (selama belajar) di Ngruki," katanya.

Pada masa itu, Ba'asyir masih berada di Malaysia sebagai pelarian politik Orde Baru.

Lulus dari Ngruki, Zakaria bertugas ke Lamongan dan berkenalan dengan H.M. Chozin, yang ingin mendirikan sebuah pesantren. Pada 1993, di atas sebidang tanah wakaf di Desa Tenggulun, berdirilah Pondok Pesantren Al-Islam. Chozin meminta Zakaria mengasuh pesantren itu sampai sekarang. Di desa itu pula pria Flores ini membangun kehidupan rumah tangganya. Dia menikah dengan Kurniati Puji Lestari—sarjana biologi yang ikut mengajar di Al-Islam. Pasangan ini dikaruniai dua anak.

Ustad Zakaria dua kali diwawancarai TEMPO pada pekan lalu. Pertemuan pertama terjadi di Denpasar dengan wartawan TEMPO Edy Budiyarso. Setelah dia kembali ke Lamongan, wartawan TEMPO Sunudyantoro dan Fajar Wahyu Hermawan menemuinya untuk melengkapi perbincangan itu. Di teras Sekretariat Pondok Pesantren Al-Islam, Zakaria menjawab semua pertanyaan dengan nada suara yang tenang.

Berikut ini petikannya.


Apa status Anda ketika diperiksa polisi di Bali?

Saya menandatangani berita acara pemeriksaan sebagai saksi.

Anda dikaitkan dengan Amrozi. Kapan terakhir bertemu dengannya?

Saya terakhir bertemu satu minggu sebelum penangkapan polisi.

Siapa Amrozi dalam pengetahuan Anda?

Dia salah satu anggota keluarga pendiri Pesantren Al-Islam.

Apakah Anda mengenal Ali Imron, adik Amrozi yang dituduh ikut pengeboman?

Ali Imron itu staf saya di Pondok Pesantren (Ali Imron kini sedang dalam pencarian polisi—Red.)

Apa saja yang ditanyakan polisi dalam pemeriksaan?

Sejauh mana hubungan saya dengan Amrozi, apa saja kegiatan dia. Polisi juga menanyakan siapa itu Imam Samudra, siapa itu Idris, siapa itu Hambali. Mereka semua itu tidak saya kenal. Tapi, ketika polisi menanyakan Ali Fauzi, Ali Imron, dan Mubarok (saudara-saudara Amrozi—Red.), saya mengatakan saya kenal.

Apakah Anda bertatap muka langsung dengan Amrozi dalam pemeriksaan?

Saya tidak bertatap muka langsung. Ketika dia (Amrozi) diperiksa, saya hanya melihat bagian tengkuk, punggung, dan kakinya. Itu pun hanya sebentar. Pada waktu itu secara tidak sengaja saya mendengar beberapa ungkapan dia yang menunjukkan bahwa dia turut mengambil bagian dalam peledakan bom di Bali.

Bisa beri contoh ungkapan itu?

Soal rumah kos yang dia tempati di Jalan Gatot Subroto, Denpasar, selama dia berada di Bali. Itulah yang membuat saya percaya. Tapi dia cuma orang yang bertugas, orang yang disuruh mengumpulkan bahan peledak, membeli mobil dan barang lainnya.

Anda percaya Amrozi terlibat?

Saya percaya.

Kok, Anda bisa yakin betul?

Karena sudah ada bukti jok mobil yang dibongkar oleh dia. Mobil itulah yang ke- mudian diisi bahan-bahan peledak. Lalu soal bahan-bahan peledak yang dia beli. Ada orang yang punya toko di Surabaya. Orang ini sudah bertemu dengan Amrozi. Mereka sama-sama ditanyai dan sama-sama mengakui. Yang menjual mengatakan barang-barang itu benar miliknya dan Amrozi membenarkan barang yang dia beli. Karena itu, saya percaya bahwa dia mengambil bagian dalam peledakan. Dia di bagian pengadaan bahan peledak, sedangkan otaknya adalah Imam Samudra.

Berapa lama Anda diperiksa di Bali?

Mulai Senin malam pukul 21.00 sampai keesokan paginya pukul 03.30 Waktu Indonesia Tengah. Selama tiga hari di Bali, saya diperiksa tiga kali.

Anda tahu soal senjata yang ditemukan polisi di Hutan Dadapan?

Berdasarkan keterangan saksi, barang-barang itu punya Amrozi. Awalnya saya yakin begitu. Belakangan saya pikir itu titipan orang lain. Dia cuma menyimpannya.

Siapa yang menitipkan?

Saya tidak tahu siapa orang ini. Tunggu saja perkembangannya. Nanti pasti ada pengakuan.

Seberapa akrab Anda dengan Amrozi?

Biasa-biasa saja, tidak terlalu akrab.

Katanya, Anda sering mengantar-jemput dia?

Oh, tidak. Paling, kalau ingin makan sate saja, dia saya ajak, "Ayo, kita makan sate." Di daerah Brondong kan ada sate enak. Demikian juga kalau ingin makan bebek goreng di Kecamatan Sekaran, di daerah selatan Lamongan. (Kepada wartawan TEMPO Kukuh S. Wibowo, yang mewawancarainya sebelum ke Bali, Zakaria mengaku sering meminjam mobil Toyota Crown milik Amrozi untuk berkeliling mengisi ceramah—Red.)

Ali Imron, Ali Fauzi, dan Mubarok kini menjadi buron polisi. Apakah mereka pernah mengontak Anda akhir-akhir ini?

Tidak pernah sama sekali. Ketiga-tiganya baru masuk (menjadi staf Pesantren Al-Islam) pada tahun 2001.

Apakah mereka juga berasal dari Pesantren Al-Mukmin, Ngruki?

Tidak. Ali Fauzi berasal dari pondok pesantren di Kertosono, Nganjuk. Ali Imron lulusan Madrasah Aliyah Karangasem, Paciran, Lamongan. Sedangkan Mubarok berasal dari Ngruki, tapi saya tidak tahu apakah dia dari Al-Mukmin atau dari madrasah aliyah.

Bagaimana konduite mereka sebagai staf Al-Islam?

Mereka berdisiplin dalam mengajar. Mubarok amat berdisiplin. Begitu juga Ali Fauzi. Fauzi mengajarkan syariah, Mubarok mengajarkan nahwu dan sharaf (bahasa Arab), sedangkan Ali Imron mengajarkan tafsir dan faraid.

Apa komentar Anda soal Al-Islam yang kini disorot dalam kaitan dengan bom Bali?

Kalau bom Bali dihubungkan dengan Al-Islam, Ustad Abu Bakar Ba'asyir, dan Amrozi, itu boleh-boleh saja. Tapi, menurut saya, itu harus dipisahkan. Ustad Ba'asyir jangan dikait-kaitkan dengan Al-Islam. Dan jangan pula dikaitkan dengan Rozi (Amrozi). Rozi ya Rozi, jangan dikaitkan dengan pesantren. Ini supaya penyelesaian masalahnya berjalan dengan baik.

Bagaimana hubungan Anda dengan Abu Bakar Ba'asyir?

Hubungannya ya sewaktu mengundang dia ceramah di acara pelepasan santri untuk mengisi taushiyah khutbattul wada' (pesan-pesan baik yang terakhir/perpisahan). Kalau hubungan secara batin, ya, saya senang saja. Tapi tidak ada hubungan secara struktural dan organisasi. Dia pernah datang ke sini dua kali tahun lalu dan bulan Juni tahun ini.

Mengapa Ustad Ba'asyir yang Anda undang?

Pertimbangannya? Sosok dan pembicaraannya cocok untuk pesantren kami. Beliau memberikan ceramah pada acara pelepasan siswa terakhir. Ceramahnya tentang bagaimana caranya meningkatkan ilmu agama kepada Allah. Suatu kali, saat ceramah, tiba-tiba ada dinding dari bambu yang jatuh karena sudah dimakan usia. Ustad Ba'asyir menghentikan ceramahnya dan menangis.

Ketika Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dideklarasikan di Yogyakarta, yang memilih Ba'asyir sebagai ketua, apakah Anda hadir?

Tidak. Semula memang saya akan hadir. Rencananya saya berangkat dari Surabaya. Tapi, entah karena urusan apa yang saya lupa, saya tidak jadi berangkat ke Yogya.

Selama di Ngruki, seberapa kerap Anda bertemu dengan Ba'asyir?

Saya masuk Ngruki pada 1988 dan lulus pada 1992. Waktu itu Ustad Ba'asyir berada di Malaysia. Jadi, kami tidak pernah bertemu sama sekali.

Atas referensi siapa Anda memilih belajar di Ngruki?

Saya tertarik ke sana dari seorang alumni yang dulu pernah ke Bima. Alumni itu orang dari Larantuka, Flores Timur. Namanya Arifudin bin Anwar. Pada waktu dia berceramah, saya senang mendengar ilmu serta metodenya. Saya langsung menyatakan kesenangan itu kepada dia dan dia langsung mengakomodir dan menunjuk nama Pesantren Ngruki itu. Akhirnya, saya berangkat ke sana.

Apakah Anda menerapkan metode pendidikan Ngruki di Al-Islam?

Kami tidak mengadopsinya. Walaupun ada studi perbandingan ke Ngruki, di sini kita independen.

Kami mendapat kabar, pesantren Anda ini tidak membaur dengan masyarakat sekitar?

Dipandang dari sudut yang mana? Mungkin karena kita tidak mengumbar anak-anak bebas bergaul di jalan-jalan atau dengan masyarakat lain, lalu dianggap eksklusif. Kita ingin membentuk pribadi orang itu supaya mengerti betul cara-cara hidup yang Islami. Jadi, kalau kami dianggap eksklusif, ya, tidak apa-apa.

Bagaimana dengan kompleks pesantren putri yang tertutup dan santrinya mengenakan cadar muka?

Lo, kalau untuk santri putri, ya, harus seperti itu. Wanita tidak boleh dipandang oleh laki-laki karena begitulah Quran mengatakannya dan kita harus mengikutinya. Kalau kita tidak mau ikut Quran, ya, ditransparankan saja: hidup bebas, seks bebas, dan bebas-bebas lainnya.

Apakah Anda menjalin komunikasi dengan Panglima Laskar Jihad, Ja'far Umar Thalib, dan Ketua Front Pembela Islam, Habib Rizieq?

Dengan Ja'far Umar Thalib tidak. Dengan Habib Rizieq, saya pernah berhubungan ketika murid-muridnya meminta saya menghadiri majelisnya di Ampel, Surabaya. Saya ketemu dia karena saya juga pas longgar.

Omong-omong, mengapa Anda menempuh pendidikan dasar Katolik? Apa ada alasan khusus?

Karena di sana (Manggarai, Flores Barat—Red.) tidak ada SD negeri atau madrasah. Yang ada hanya sekolah-sekolah Katolik. Mayoritas masyarakat di sana adalah Katolik. Yang Islam di kelas saya sewaktu SD itu cuma dua orang.

Setelah lulus dari Ngruki, Anda ke mana?

Saya bertugas di daerah Glagah, Lamongan. Tepatnya di Dusun Kalimalang, Desa Kentong. Tugas itu diberikan oleh Kepala Pesantren Ngruki Ustad H. Farid Ma'ruf. Di sana saya mengajar di madrasah dan mengurus masjid dari bulan Juli 1992 sampai Juni 1993. Kemudian ada Ustad Chozin yang berniat mendirikan pesantren di Solokuro. Dia itu berkunjung ke desa saya dan mengajak saya. Chozin, bersama Ja'far dan Muslich (almarhum), adalah pendiri pesantren ini.

Kembali ke soal Amrozi. Beberapa waktu lalu di Surabaya, Anda mengatakan akan menyelamatkan Amrozi dan Al-Islam. Apa maksudnya?

Sekarang sudah semakin terang bahwa Amrozi sudah tak bisa diselamatkan, tapi (hukumannya—Red.) bisa dikurangi.

Mengapa begitu?

Karena Amrozi hanya pesuruh. Dia bukan eksekutor. Adapun Pesantren Al-Islam, insya Allah, bisa diselamatkan. Kalau gena getahnya, ya, jangan banyak-banyak. Kalau ada oknum pesantren yang terlibat, jangan dikaitkan dengan pesantren sebagai institusi. Jika terbukti, dia saja yang dikenai hukuman.

Siapa yang meminta Anda datang ke Bali?

Pada hari Jumat, 8 November, sebelum saya mengisi salat Jumat, ada wartawan yang menanyakan soal pengakuan Amrozi terlibat dalam peledakan bom di Bali. Saya konfirmasi dulu ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Saya waktu itu ada di Surabaya, di rumah mertua di Sidotopo (Jalan Sidomulyo Gang IV-B Nomor 15, Surabaya). Saya ingin ke Polda Ja-Tim untuk mendapatkan berita konkret tentang Rozi, atau syukur-syukur bisa mendengarkan pernyataan langsung dari Amrozi.

Jadi, Anda ke Polda Jawa Timur setelah salat Jumat?

Ya, setelah salat Jumat di Masjid Al-Azhar (di Jalan Dupak Bandarejo, Surabaya), seseorang bernama Benny menjemput saya menuju Polda Ja-Tim. Di sana saya ketemu Kepala Direktorat Reserse Polda Ja-Tim, Pak Adi Rahardja. Kepada dia, saya menyampaikan keinginan untuk bertemu dengan Amrozi, untuk mengklarifikasi kaitan Amrozi dengan bom di Bali. Saya katakan, kalau ada yang memfasilitasi, saya ingin bertemu dengan Amrozi.

Siapa yang membelikan tiket pesawat Anda ke Denpasar?

Begitu mau pamit dan naik mobil, saya dipanggil oleh staf Pak Adi. Dia menyilakan saya masuk. Begitu saya masuk ke ruang kerjanya, dia berkata, "Ini rupanya ada rezeki. Kalau Kiai ingin ke Bali, sudah ada tiket ke Bali." Saya katakan, saya siap dengan syarat ada yang mengantar saya dari Polda Ja-Tim dan Polda Bali. Staf itu berkata lagi bahwa sudah ada yang siap mengantar.

Lalu Anda menjawab apa?

Saya katakan, lebih cepat lebih baik. Mereka bertanya, "Bagaimana kalau sekarang saja?" Saya bilang, saya siap. Jadi, dengan pakaian seadanya, berangkatlah saya hari Jumat itu sekitar pukul 16.00 WIB. Sampai di Bali pukul 17.00 Waktu Indonesia Tengah. Di Polda Bali, saya berharap untuk cepat bertemu dengan Rozi karena kesepakatannya memang seperti itu.

Bukankah Anda diperiksa dulu sebelum bertemu?

Ya, saya harus menunggu karena saya mesti diperiksa lebih dulu. Saya katakan tidak mau karena keinginan saya datang adalah untuk bertemu dengan Amrozi. Tapi saya pikir tidak apalah diperiksa sekaligus, biar persoalannya jelas. Tapi, sampai Selasa, 12 November, saya tidak bertemu dengan Amrozi.

Apa upaya Anda untuk menghubungi Amrozi?

Saya minta kepada Pak Heru Ismoyo, Komandan Reserse Umum di Polda Bali, agar menyampaikan pesan saya ke Amrozi.

Isi pesan itu seperti apa?

Saya minta pamit balik ke Surabaya dan menyampaikan salam dan minta ia sabar dalam menjalani proses hukum. Saya juga menanyakan ke Amrozi bagaimana kabar uang saya Rp 5 juta yang dipinjamnya. Katanya, itu kan uang modal usaha jual-beli telepon genggam yang dikelola oleh kawan Amrozi sendiri di Solo. Saya menanyakan apakah uang itu tetap di tangan Amrozi dan kapan dia kembalikan.

Apakah Amrozi menjawab pesan Anda?

Ya, lewat polisi, Amrozi membalas pesan saya. Dia menyampaikan salam kepada saya, salam untuk seluruh keluarga. Dia juga meminta maaf kepada seluruh keluarganya serta meminta, kalau bisa, istrinya datang menjenguk dia ke Bali. Masalah uang, dia meminta agar istrinya menjualkan sapi di kampung untuk "mengembalikan uang Pak Ustad." Dan usaha di Solo agar tetap berjalan. Tapi, kalau sapi itu tidak dijual, ya sudah, investasi usaha di Solo (Rp 10 juta) itu jadi milik saya, katanya.

Anda sudah menyampaikan pesan itu kepada istrinya?

Saya tidak tahu istrinya di mana sekarang.

Zakaria

Tempat/tanggal lahir: Lengkolar, Manggarai, 25 Desember 1970

Pendidikan:

  • SD Katolik Lengkolar, Manggarai
  • SMP Negeri Lengkolar, Manggarai
  • Pendidikan Guru Agama Negeri Bima, Nusa Tenggara Barat
  • Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo

Pekerjaan: Kepala Pesantren Al-Islam, Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus