Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SISTEM pilihan ganda rupanya tak hanya dipakai untuk ujian sekolah. Polisi juga mulai meniru cara pengujian yang banyak dikritik orang itu. Mau bukti? Lihat saja berita acara pemeriksaan Umar Al-Faruq yang dilakukan polisi Indonesia di Afganistan pada 24 Oktober lalu. Pertanyaan para polisi itu memang panjang mengular, tapi jawabannya, alamak, singkat sekali: ”Ya”, ”Tidak”, dan—sesekali—”Saya tidak ingat.”
”Itu seperti klarifikasi saja, bukan interogasi,” ujar M. Luthfie Hakim, pengacara Abu Bakar Ba’asyir. Ia meradang karena berita acara seperti itulah yang membuat kliennya dicokok polisi. Hatinya makin panas ketika gugatan praperadilan yang diajukan Ba’asyir kandas pekan lalu. Pengacara Ba’asyir lainnya, Adnan Buyung Nasution, tak kalah kecewa. ”Masa, keterangan seperti itu jadi alat bukti?”
Tak hanya para pengacara Ba’asyir yang bersuara. Anggota parlemen pun menanyakan hal itu saat bertemu dengan Kepala Kepolisian RI Da’i Bachtiar. Menurut pengakuan Da’i ketika bertemu dengan Fraksi PDIP, seperti yang dikatakan anggota Fraksi PDIP Permadi, polisi ternyata tak bertemu dengan Al-Faruq secara langsung. Alasannya, pemerintah Amerika tak memberi izin. Cuma, belakangan, keterangan Permadi ini dibantah Da’i. Siapa yang benar? Entahlah!
Yang jelas, dengan berita acara seperti itu, Al-Faruq tak bisa bebas berbicara. Polisi juga tak memperoleh hasil maksimal karena hanya mendapat keterangan yang dangkal. Wajar jika penasihat hukum Ba’asyir tak terima jika pengadilan ”membenarkan” kerja polisi tersebut. Merasa tak mendapat keadilan, mereka pun mengajukan kasasi.
Bukan hanya Ba’asyir yang dinilai tidak mendapatkan keadilan, tapi terlebih Al-Faruq-nya sendiri. Ini dikatakan responden jajak pendapat yang dilakukan www.tempointeraktif.com. Sebanyak 64,4 persen dari total 1.321 responden menilai pemeriksaan yang dijalani Al-Faruq dengan jawaban hanya ”ya” dan ”tidak” itu tidak adil. Sedangkan yang menyatakan hal itu adil ada 33,2 persen.
Mengagetkan. Begitulah penampilan perdana Amrozi, tersangka pengeboman Bali yang menewaskan hampir 200 orang, di muka publik pekan lalu. Lelaki itu berwajah cerah, banyak senyum dan tawa, ketika diwawancarai Kepala Kepolisian RI Da’i Bachtiar. Ketika wartawan memanggilnya, ia pun melambaikan tangan.
Bagi polisi, penampilan santai Amrozi menguntungkan karena setidaknya bisa menepis dugaan rekayasa di balik pengakuannya. Sebaliknya, keluarga korban marah. Pejabat dan publik Australia bersuara keras. Amrozi dinilai tak menghargai nyawa orang. Sementara itu, sikap lain lagi ditunjukkan oleh Tim Pembela Muslim Jawa Timur, pengacara Amrozi. Mereka minta polisi menghentikan penyidikan sampai Amrozi diperiksa psikiater.
Nah, berdasarkan penampilan Amrozi yang ”luar biasa” itu, sebuah pertanyaan layak diajukan, ”Setujukah Anda bila Amrozi diperiksa psikiater setelah dia tampil tanpa beban dan penuh canda saat diwawancarai Kapolri Da’i Bachtiar?” Apa pun jawabannya, suarakan lewat www.tempointeraktif.com. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Adilkah pemeriksaan Al-Faruq dengan jawabannya yang hanya ”ya” dan ”tidak” seperti itu?
(8 - 15 November 2002)Ya 33,3% 439 Tidak 64.4% 851 Tidak tahu 2.3% 31 Total 100% 1.321
Jajak Pendapat Pekan Depan:
Lihat Benefit Lainnya