WALAUPUN tak jelas mengapa baru sekarang diucapkan, sinyalemen
yang dilontarkan Menteri PUTL, Sutami dalam rapat kerja dengan
Komisi V pertengahan bulan yang lalu -- cukup mengagetkan juga.
Berkata Sutami: "program perbaikan lingkungan perumahan kota
atau perbaikan kampung tampaknya kurang dapat mencapai sasaran
yang diharapkan". Idealnya, program tersebut seharusnya
bertujuan membantu penduduk berpenghasilan rendah yang sebagian
besar tinggal di kampung-kampung, tambahnya. Tapi, kata Sutami
-- yang pada hari itu juga mengungkapkan rasa belum puasnya akan
pelayanan penerangan listrik dan air minum yang ada -- kenyataan
menunjukkan bahwa perbaikan kampung itu malahan meningkatkan
uang sewa atau uang kontrak dan harga tanah. Hal ini kemudian
menyebabkan makin menyingkirnya penduduk berpenghasilan rendah
ke pinggiran kota. Tak urung Sutami pun menawarkan pada DPR
untuk meneliti hal ini bersama-sama Departemen PUTL.
Memang, mempersoalkan program perbaikan kampung dalam
hubungannya serta manfaatnya bagi penduduk berpenghasilan rendah
-- terutama di Jakarta -- menarik juga. Pada Pelita I,
Pemerintah DKI telah menyelesaikan perbaikan kampung seluas 2400
Ha yang didiami 1,2 juta penduduk. Pada Pelita II direncanakan
perbaikan kampung -- yang biasa dikenal dengan Proyek Muhamad
Husni Thamrin (MHT) itu -- akan meliputi wilayah seluas 4800 Ha,
dengan target setiap tahun sekitar 990 Ha. Ini berarti 1,8 juta
penduduk kampung akan menikmati lingkungan yang lebih baik dari
sebelumnya. Dan sebagai program yang mendapat prioritas pertama,
untuk perbaikan kampung tahun 75/76 ini saja Pemda DKI
menyediakan biaya sebesar Rp 10,7 milyar. Namun, apa yang
dikemukakan Sutami itu -- tentang kenaikan uang kontrak dsb --
ada juga benarnya. Di Rawasari Jakarta Pusat misalnya, dua tahun
yang lalu ketika jalan Sayuti belum terkena Proyek MHT uang
kontrak sebuah rumah 3 x 12 meter yang terbuat dari gedek hanya
Rp 45 ribu setahunnya. Sekarang harganya mencapai Rp 100 ribu
setahun.
Tapi, apakah kenaikan harga itu tak ada hubungan juga dengan
menanjaknya angka inflasi dan besarnya permintaan? Di daerah
Tomang -- yang tak termasuk Proyek MHT -- dua tahun lalu kontrak
rumah permanen berkisar ' juta rupiah setahun. Sekarang mencapai
antaraRp 800 ribu sampai Rp 1 juta setahunnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini