Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggilan itu tiba pada suatu hari di bulan Januari 1974. Yang memanggil Soeharto, Presiden Republik Indonesia. Yang dipanggil, Benny Moerdani, brigadir jenderal Tentara Nasional Indonesia yang bertugas sebagai Kuasa Usaha Ad Interim Indonesia di Korea Selatan. Di Tanah Air, suasana politik tengah panas dan guncang selepas Peristiwa Malari: demo berdarah para mahasiswa pada 15 Januari 1974 menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang ketika itu, Kakuei Tanaka.
Setiba di Jakarta, Benny diantar Ali Moertopo, Asisten Pribadi Presiden, menghadap Soeharto. Presiden tidak puas terhadap kinerja aparat intelijen menangani peristiwa Malari dan membutuhkan tenaga segar yang cocok.
Marsekal Muda Purnawirawan Teddy Rusdy, 75 tahun, tangan kanan Benny, mengatakan operasi intelijen terimbas oleh persaingan Kepala Operasi Khusus Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin)/Asisten Pribadi Presiden Soeharto, Mayor Jenderal Ali Moertopo, dengan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)/Wakil Pangab Jenderal TNI Soemitro. Akibatnya, fungsi intelijen tidak efektif.
Benny dihadirkan dengan target meredam persaingan dan menata ulang sistem intelijen Indonesia. "Benny bisa diterima dua kubu intel Malari," ujar Teddy. Soeharto menugasi dia mengendalikan Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan serta Asisten Intelijen Kopkamtib. Tugas lain Benny adalah membangun badan intelijen baru, yaitu Pusat Intelijen Strategis (Pusintelstrat) sebagai pengembangan Satuan Tugas Intelijen Hankam.
Posisi barunya membuat Benny berhadapan langsung dengan urusan politik dan ekonomi dalam negeri, wilayah yang tak terlalu menjadi perhatiannya selama menjadi diplomat. Pusintelstrat dibentuk untuk menghadapi berbagai ancaman strategis dan menjalin komunikasi langsung dengan para atase pertahanan RI di seluruh dunia.
Dalam situasi khusus, Pusintelstrat dapat mempergunakan satuan Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Komando Pasukan Khusus/Kopassus) untuk operasi khusus. Mayor Jenderal Purnawirawan Suryadi adalah sekretaris Benny tatkala atasannya menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan. Suryadi menuturkan, saat menjadi Atase Pertahanan RI untuk Laos pada 1981, dia dibina oleh Benny.
Saat itu Indonesia belum punya kerja sama militer dengan Laos, padahal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia perlu tahu perkembangan di wilayah itu. "Saya di-cover sebagai diplomat di Departemen Luar Negeri," ujarnya.
Suryadi mengatakan hubungan keduanya waktu itu belum dekat. "Kalau plintat-plintut, dia enggak suka," ucap bekas diplomat ini tentang mantan pembinanya itu. Jenderal Purnawirawan Agum Gumelar, bawahan Benny saat menjabat Komandan Satgas Intel Kopkamtib, berpendapat serupa. "Harus obyektif mengungkap kasus. Itu kesan saya," kata Agum. Berasal dari Komando Pasukan Sandi Yudha, Agum diperbantukan menjadi anggota tim khusus Satgas Intel Kopkamtib, yang menangani pembongkaran jaringan komunis pada 1973-1976.
Pada saat itu seorang mayor jenderal di kepolisian menjadi target operasi. Agum ditugasi mengungkap apakah dia terlibat Partai Komunis Indonesia atau tidak. Benny bertanya kepada Agum apa yang ada di benaknya setelah mendapat perintah itu. "Saya katakan, kriteria keberhasilan saya apabila saya bisa membuktikan dengan fakta-fakta hukum apakah dia terlibat atau tidak." Agum menirukan sahutan Benny, "Itu yang saya mau."
Benny bertanggung jawab atas keamanan Presiden Soeharto karena organisasi Pasukan Pengamanan Presiden ada di bawah kendalinya. Dia memonitor seluruh perjalanan Presiden. Menurut Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno, hubungannya dengan Benny terjalin sangat akrab secara kedinasan dan pribadi ketika ia menjadi ajudan Soeharto pada 1974 dan Benny menjadi Asintel Hankam/Kopkamtib.
Try diminta Benny membantu menata komunikasi intelijen di tingkat VVIP (very very important person). Benny meminta, saat Soeharto ke luar negeri, hanya ada dua jalur komunikasi, yaitu dari Indonesia lewat Badan Intelijen Negara/Bakin dan satu orang lagi adalah yang menyampaikan informasi ke Soeharto.
Pada saat itu, informasi yang diterima Presiden dalam perjalanan ke luar negeri dapat berasal dari berbagai sumber. Dari intel BIN, Pusintelstrat, atau Ali Moertopo. " Pak Benny anggap itu distorsi," ujar Try. Saat itu diputuskan semua berita A1 dari dalam negeri disampaikan melalui ajudan kepada Pak Harto.
Kepada Teddy, Benny mengatakan ia minta waktu 10 tahun kepada Presiden Soeharto untuk menata ulang sistem intelijen. Buat memikul peran itu, tiga jalur utama intelijen kemiliteran-Hankam, Kopkamtib, dan Bakin-secara bertahap dikendalikan Benny. Walhasil, dia merangkap enam posisi petinggi intelijen sekaligus, yaitu sebagai Wakil Kepala Bakin, Asintel Hankam, Asintel Kopkamtib, Kepala Pusat Intelijen Strategis, Kepala Pusat Screening Pusat, dan Kepala Satuan Tugas Intel Kopkamtib.
Teddy Rusdy ditunjuk sebagai sekretaris pribadi Benny di enam badan itu, selain posisinya sebagai Kepala Biro Asia-Pasifik di Asintel Hankam dan Kopkamtib. Sekali waktu, dia pernah mendapat tugas dari para perwira staf di enam institusi intel itu untuk menyiapkan ruangan kerja secara diam-diam di rumah pribadi Benny di Simprug, Jakarta Selatan.
Tujuannya agar bosnya tak sepanjang hari berada di kantor. Setelah selesai, Teddy melapor ke Benny. "Atas permintaan teman-teman, Ibu, dan Ria (putri Benny), Bapak jangan kerja di kantor sepanjang hari. Kami siapkan kantor di rumah," ujarnya. Hari pertama dan kedua, semua anggota staf merasa senang karena suasana berubah. Kondisi itu tak berlangsung lama. Seminggu kemudian, ritme kerja Benny kembali seperti semula. Bahkan Teddy yang justru terbawa kebiasaan Benny tidur di kantor.
Benny, menurut Teddy, punya kebiasaan menerima tamu pada pukul 17.00-23.00. Yang datang dari berbagai kalangan, dari direktur badan usaha milik negara sampai menteri. Pukul 24.00-02.00, ia membaca laporan dan meneken bermacam-macam surat. Teddy pernah mempertanyakan aktivitas menerima tamu itu ke Benny.
Menurut dia, waktu bosnya habis digunakan untuk orang-orang yang tak ada hubungannya dengan intelijen. Benny menjawab, "Kamu keliru. Tugas intel mencari informasi. Hari ini informasi datang sendiri. Itu mengentengkan kita." Dari situ, Teddy menyebutkan, "Saya sadar, kalau (pekerjaan) itu dilakukan di rumah, tidaklah nyaman."
Ihwal intelijen Indonesia pada zaman Benny, Teddy mengatakan, siapa saja dengan jabatan apa saja di negara ini, juga para duta besar, tinggal angkat telepon 24 jam ke kantor Benny di Tebet jika mereka perlu informasi apa pun. "Pasti ada jawaban karena ada Pak Benny," ucapnya.
Pada 1978, Benny memimpin reorganisasi badan-badan intelijen dalam satu wadah, Badan Intelijen Strategis. Langkah itu tak lepas dari pengalaman perpecahan intelijen di masa Malari. Menurut Teddy, penyatuan enam badan ke wadah tunggal intelijen didahului penilaian ulang yang komprehensif. Kata Teddy, "Ini organisasi yang besar sekali."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo