Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Harapan di Tepi Laut Merah

Setelah beberapa kali gagal bertemu, Israel dan Palestina sepakat berunding lagi. Namun, banyak yang pesimistis, pertemuan itu bisa menavyakan konflik.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Sharm el-Sheikh, harapan itu disandarkan. Di daerah wisata yang terletak di tepi Laut Merah itu Presiden Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak sepakat untuk bertemu, Senin pekan ini. Kepastian ini diumumkan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, Sabtu silam. Sebe tulnya, pertemuan itu hampir terjadi Sabtu lalu dan batal akibat penolakan Arafat untuk hadir bila Israel tak menarik pasukannya. Arafat be rubah pikiran setelah Annan menjamin bahwa per mintaannya akan diakomodasi.

Kawasan tepi Laut Merah juga akan dikunjungi oleh Presiden AS Bill Clinton, Presiden Mesir Hosni Mubarak, Sekjen PBB Kofi Annan, dan Raja Abdullah II dari Yordania, yang akan menjadi para penengah dua pihak yang bertikai itu. Pertemuan itu akan menjadi titik yang sangat menentukan dalam upaya mengakhiri konflik di kawasan Timur Tengah, meski sudah pasti ini bukan pertemuan dengan solusi besar. Paling tidak, bila tercapai kata sepakat, jumlah korban yang jatuh akan berkurang. Sebaliknya, bila keduanya ngotot seperti yang pernah terjadi dalam pertemuan sebelumnya, di Paris dan Mesir, eskalasi di kawasan Timur Tengah tak terbendung lagi. "Saya akan melakukan apa saja untuk mengurangi kekerasan yang terjadi dan mempersiapkan segalanya lebih baik demi suksesnya pertemuan ini," kata Presiden AS Bill Clinton, yang seharian sibuk menelepon beberapa pemimpin negara Arab agar menyokong pertemuan ini. Tetapi ia mengakui tak mau berilusi untuk segera mencapai kesepakatan damai. Bahwa para pemimpin bersedia bertemu saja sudah dianggap mampu, paling tidak, enekan "gencatan senjata" sementara.

Memang, upaya menyeret pihak yang bertikai ke meja perundingan bukanlah yang pertama kali dilakukan. Dua pekan silam, di tempat yang sama, Presiden Hosni Mubarak mengundang PM Ehud Barak dan Yasser Arafat untuk membicarakan perdamaian di antara keduanya. Tapi pertemuan yang merupakan lanjutan dari pembicaraan di Paris itu gagal total. Barak menolak datang memenuhi undangan Mubarak. Penolakan ini sebagai protes atas penolakan Yasser Arafat untuk menandatangani kesepakatan gencatan senjata rancangan AS.

Kini, apakah pertemuan ini bisa membuahkan hasil yang menggembirakan? Sulit agaknya. Ketegangan yang terus meningkat di kawasan itu selama dua pekan terakhir tak lain merupakan indikasi bahwa keduanya enggan menempuh jalan perundingan.

Sementara itu, di kalangan negara Arab sendiri, muncul perbedaan dalam memandang pertemuan ini. Kubu yang moderat menginginkan agar penyelesaian konflik ini bisa segera dilakukan melalui jalan damai. Sebaliknya, kalangan garis keras justru memandang gerakan anti-Israel yang memuncak di beberapa negara Arab belakangan ini sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk merebut kembali daerah yang dianeksasi Israel dalam Peperangan Enam Hari pada 1967 itu. Dan hal itu hanya dilakukan dengan serangan bersenjata.

Menurut mereka, negosiasi di Tepi Laut Merah ini tak lain merupakan upaya Amerika dan Israel yang dapat mempengaruhi Pertemuan Tingkat Tinggi Pemimpin Arab, minggu depan. Deputi Perdana Menteri Irak, Tariq Aziz, Sabtu silam menyatakan pertemuan itu merupakan upaya melanggengkan pembantaian terhadap rakyat Palestina. Pendapat serupa datang dari pemimpin Libya, Muammar Qadhafi. Singkat kata, negara-negara Arab khawatir pertemuan itu justru akan membuat posisi Palestina kian melemah.

Persoalannya: apakah negara-negara Arab benar-benar siap untuk berperang? "Seandainya memang itu alternatif terakhir, saya yakin negara-negara Arab siap. Toh, masyarakat Arab sudah menyatakan kesanggupannya ketika mengadakan aksi untuk berperang melawan Israel. Jadi, tidak ada kata tidak siap," kata Prof. Dr. Mohammad Sayyed Salim, pengamat masalah Timur Tengah dari Universitas Kairo, Mesir. Dalam rangka itu, menurut dia, beberapa waktu lalu angkatan udara Mesir telah melakukan latihan.

Meski begitu, menurut Salim dan seperti harapan dunia, semua pihak harus mencari alternatif terbaik demi tercapainya perdamaian di kawasan itu.

Tepi Laut Merah akan menjadi penting bukan hanya karena merupakan sandaran para pemimpin dunia, tapi juga merupakan sandaran nasib puluhan juta penduduk Palestina dan Israel yang berhak untuk hidup dengan rasa aman. Jangan siapkan obituari bagi perdamaian.

Irfan Budiman, Zuhaid Alqudsy (Kairo, Mesir)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus