Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
I NYOMAN Suisnaya menerima telepon pada Maret lalu. Mengaku bernama Ali Mudhori, orang dekat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, si penelepon menyampaikan informasi tentang anggaran Rp 600 miliar untuk pembangunan 26 kota terpadu mandiri.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi itu, Ali menyatakan dana bakal mengucur jika ada usul program. Lantaran tak kenal, Nyoman tak segera mengiyakan. Beberapa hari kemudian, bosnya, Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Harry Heriawan Saleh, meminta dia datang menghadap.
Seseorang yang kemudian diketahui sebagai Ali ternyata telah berada di ruang kerja Harry di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, itu. "Dia konsultan Badan Anggaran, biasa melobi DPR," kata Nyoman kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, seperti ditirukan Danardono, pengacaranya. Di sini, "perintah resmi" dikeluarkan: Nyoman harus menyusun rancangan anggaran.
Beberapa hari kemudian, Nyoman memanggil Kepala Bagian Program Pelaporan dan Evaluasi Dadong Irbarelawan. Itulah pertemuannya dengan Ali, yang disebutnya sebagai anggota staf khusus Muhaimin. Ketika itu hadir juga Sindu Malik Pribadi dan Acos—belakangan diketahui bernama asli Iskandar Pasajo. Setelah berkenalan, Dadong mengetahui Sindu adalah "konsultan Badan Anggaran". Adapun Acos disebutnya sebagai anggota staf Tamsil Linrung, Wakil Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera.
Berbasa-basi sejenak, Ali, Malik, dan Acos kemudian berbicara soal dana pengembangan infrastruktur daerah yang bisa cair. Syaratnya, ada sogokan sebesar 10 persen dari nilai proyek—lima persen dibayar di muka dan sisanya setelah kebagian proyek.
Dua hari kemudian, mereka bertemu lagi. Kali ini di ruangan Harry Heriawan. Mereka membahas usul program dan biaya 10 persen agar kebagian proyek. Ali, Malik, dan Acos mengklaim telah ada kesepakatan antara Joko Sidik Pramono, direktur jenderal sebelum Harry, dan Tamsil Linrung jauh-jauh hari sebelumnya soal proyek ini.
Selang beberapa waktu, Dadong diminta Nyoman datang lagi ke ruangannya. Di sana, ia berkenalan dengan Dani Nawawi dan Dharnawati. "Doktor Dani adalah Staf Khusus Presiden Bidang Tim Penilai Akhir," kata Dadong. Adapun Dharnawati—biasa dipanggil Nana—adalah pengusaha. "Saya diminta Pak Menteri berperan aktif, khususnya di bidang transmigrasi," kata Dani, seperti ditirukan Dadong kepada penyidik.
Nyoman kenal Dani hanya beberapa pekan sebelumnya, ketika Dani tiba-tiba datang ke ruangannya membawa profil perusahaan PT Alam Jaya Papua. Mengaku sebagai orang Istana yang dekat dengan pejabat ini-itu, Dani meminta jatah proyek. "Silakan ketemu orang-orang itu," ujar Nyoman, merujuk Ali, Malik, dan Acos. Dalam pertemuan selanjutnya, Dharnawati mengajukan proyek di Keerom, Mimika, Teluk Wombama, dan Manokwari—empat kabupaten di Papua.
Menurut pengacaranya, Rakhmat Jaya, Dharnawati menggambarkan pertemuannya dengan Nyoman, Dadong, Dani, Ali, Malik, dan Acos. Suatu kali ia menudingkan telunjuk ke papan tulis putih di ruangan Nyoman, yang dipenuhi nama proyek dan anggarannya. Acos menukas, "Bu Nana enggak cengli. Ada uang enggak?"
Seraya menyodorkan kertas berisi nama-nama perusahaan, Acos kembali berkata, "Ini perusahaan-perusahaan yang sudah bayar 10 persen." Nyoman meyakinkan Acos dan kawan-kawan bahwa Dharnawati yang akan mengurus proyek di Papua.
Menurut Dadong, usul proyek yang disusunnya untuk anggaran Rp 600 miliar tak jadi dipakai. Sebab, kata dia, Malik mengajukan usul lain yang nilai totalnya Rp 388 miliar. Malik, kata Dadong, lalu mengatakan usul program memerlukan surat dari Menteri Tenaga Kerja ke Menteri Keuangan.
Malik dan Ali sudah menyiapkan konsep surat Menteri Muhaimin, yang harus diparaf Sekretaris Direktorat Jenderal, Direktorat Jenderal, Kepala Biro Perencanaan, dan Sekretaris Jenderal Kementerian. Beberapa waktu kemudian, Dadong mengaku sempat melihat kopi surat yang telah diteken Muhaimin.
Sekitar Juni, mereka kembali bertemu. Malik dan Acos, kata Dadong, mengatakan program dengan usul anggaran Rp 388 miliar itu tak bisa diterapkan. Nyoman memutuskan usul program sebesar Rp 988 miliar. Tapi, pada Juli, Dadong dikabari bahwa anggaran yang cair hanya Rp 500 miliar. Dadong, Acos, Malik, dan Nyoman kembali bertemu untuk membahas eksekusi.
Pada 23 Juli, menurut Dadong, surat persetujuan alokasi proyek pengembangan infrastruktur daerah untuk kawasan transmigrasi terbit. Yang meneken adalah Menteri Keuangan dan pemimpin Badan Anggaran DPR.
AKHIR Juli itu, Harry Heriawan digantikan Jamaluddin Malik. Tak lama setelah menjabat, Jamaluddin memerintahkan Nyoman memanggil para calon penerima dana infrastruktur. Pada 9 Agustus, para kepala dinas transmigrasi berkumpul di Jakarta. Saat itu, kata Dadong, Dharnawati ikut hadir.
Para kepala dinas bertanya tentang kelanjutan program dan fee yang harus dibayar. Nyoman menjawab soal itu perlu dibahas di ruang kerja Malik di lantai 2 gedung utama Kementerian Tenaga Kerja di Jalan Gatot Subroto. Selanjutnya, Malik meminta kepala dinas melunasinya karena, "Commitment fee akan diserahkan ke Badan Anggaran DPR."
Menurut Dadong kepada penyidik, esoknya Malik menelepon, memberitahukan bahwa Dharnawati dan beberapa kepala dinas belum membayar pelicin. Beberapa hari kemudian, sambil marah-marah, Dharnawati menghubungi Dadong. "Kepala dinas pada lapor bahwa saya dikatakan tidak commit," katanya. "Tolong ke Pak Malik jangan intervensi ke daerah binaan saya. Saya pasti commit."
Setelah itu, Dharnawati menemui Nyoman dan menyerahkan secara sukarela buku Tabungan Plus BNI, kartu ATM, serta amplop berisi PIN ATM. Menurut Danardono, pengacara Nyoman, sebelumnya Malik mengancam akan membatalkan proyek untuk Dharnawati bila sogokan tak dilunasi. Menurut Rakhmat Jaya, Dharnawati menyerahkan buku tabungan setelah dipaksa Nyoman.
Karena suatu hal, Nyoman kemudian memanggil Dadong dan memintanya mengurus Dharnawati. "Gimana caranya agar commitment fee-nya keluar," kata Nyoman kepada Dadong sambil menyerahkan buku tabungan Dharnawati. Melongok isi buku tabungan, Dadong mengetahui saldonya saat itu Rp 500 juta.
Sekitar pekan ketiga Agustus, Dharnawati dua kali menemui Dadong. Pada pertemuan pertama, Dharnawati memberitahukan telah mentransfer Rp 1 miliar. Beberapa hari kemudian, ia kembali datang dan memberitahukan telah mengisi Rp 500 juta lagi. Sementara itu, Malik terus menghubungi Dadong untuk mencairkan isi rekening. Sayangnya, meski PIN dan kartu ATM telah di tangan, rekening tak bisa dikuras.
Mengetahui rekening Dharnawati sudah terisi, menurut Dadong, Ali dan Malik jadi sering menemuinya. Dalam suatu kesempatan, Ali mengatakan uang tersebut harus diserahkan ke "Pak Kiki", yang disebut Ali sebagai orang kepercayaannya. Singkat cerita, Dharnawati akhirnya bersedia mencairkan isi tabungannya sendiri. Buku tabungan dan kartu ATM diserahkan lagi oleh Dadong ke Dharnawati.
Pada Rabu, 24 Agustus, sekitar pukul 09.00, Dadong ditelepon Malik diminta menghadap ke ruangannya. Menurut Dadong, di ruangan Malik saat itu juga ada Muhammad Fauzi, anggota staf Muhaimin. Setelah Dadong membeberkan bahwa Dharnawati bakal menyetorkan uang, Malik berkata, "Pak Fauzi harus klarifikasi dulu ke Trans-1 siapa yang akan terima. Pak Ali atau Pak Fauzi sendiri." Fauzi menjawab singkat, "Oke, nanti saya klarifikasi." Trans-1 yang dimaksudkan adalah Menteri Muhaimin.
Kabar bahwa Dharnawati bakal mencairkan uangnya juga disampaikan ke Jamaluddin, atasannya. Sebelum menghadap Jamaluddin, sekitar pukul 14.00, Fauzi menghubunginya. "Saya sudah klarifikasi dengan bos. Nanti uangnya serahkan saja ke saya."
Menurut Dadong, ketika bertemu dengan Jamaluddin, bosnya itu menghubungi Jazilul Fawaid, anggota staf khusus Muhaimin, untuk mengetahui siapa yang sebenarnya paling layak menerima uang titipan dari Dharnawati. "Saya sudah klarifikasi ke Pak Jazil akan dikemanakan uang Rp 1,5 miliar itu," kata Jamaluddin kepada Dadong. "Menurut Jazil, hal-hal yang berhubungan dengan uang semacam itu hendaknya diserahkan ke Fauzi."
Karena Jamaluddin tak mengenal Fauzi, Dadong lalu menghubungkannya dengan Fauzi lewat telepon. Ia mendengar Jamaluddin berkata kepada lawan bicaranya di telepon: "Lagi di mana? Oh, Widya Chandra. Main-mainlah ke sini. Ada hal-hal yang perlu dibicarakan terkait Pak Menteri." Tapi, di telepon, Fauzi berkata tak bisa menemui mereka, juga tak bisa langsung menerima uang dari Dharnawati. Alasannya, sedang ada tugas mendesak. Akhirnya diputuskan Dadong yang mesti menerima duit itu.
Keesokan harinya, Kamis, 25 Agustus, sekitar pukul 13.00, Dharnawati menyerahkan duit yang dijanjikannya kepada Dadong dalam kardus durian. Ia memaksa Dadong meneken kuitansi tanda terima, tapi ditolak.
Ketika itu, kata Dadong, Dharnawati sempat bercakap-cakap dengan Dani di telepon. Selesai menelepon, kepada Dadong, Dharnawati bercerita bahwa Dani mengatakan Menteri Muhaimin "butuh uang untuk para kiai". "Pak Menteri butuh lebih dari Rp 1,5 miliar," ujar Dharnawati. "Besok saya ke sini lagi untuk mencairkan sisanya, yang akan diserahkan langsung Pak Dani ke Menteri." Dharnawati kembali menyerahkan buku tabungan dan kartunya kepada Dadong. Beberapa jam kemudian, Dharnawati, Nyoman, dan Dadong diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengacara Dadong, M. Syafri Noer, membenarkan kliennya memberikan keterangan seperti itu. "Klien saya cuma menjalankan perintah," ujarnya.
Pada Jumat pekan lalu, Tempo mencari Jazilul dan Fauzi di lantai 2 gedung Kementerian—selantai dengan ruangan Muhaimin. Seorang petugas keamanan mengatakan Jazilul hari itu tak ada di ruangan. Adapun Fauzi telah tak di sana lagi. Telepon seluler mereka juga tak bisa dihubungi. Anggota staf Jamaluddin bernama Sodiq di KPK pada Selasa pekan lalu mengatakan bosnya sedang pulang kampung lantaran ibunya meninggal. Ia membantah keterlibatan atasannya dalam kasus ini. Sedangkan Istana menyatakan tak ada anggota staf khusus bernama Dani Nawawi.
Adapun Acos dan Malik tak bisa ditemui. Tamsil Linrung, yang satu organisasi dengan Acos di Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia, mengatakan sudah tiga bulan tidak bertemu dengan Acos. "Saya kenal dia, tapi dia bukan anggota staf saya," katanya. Tamsil juga membantah mengutus Acos dan kawan-kawan untuk mengurus usul anggaran di Kementerian Tenaga Kerja.
DIANGKAT sebagai anggota tim asistensi pada bulan kedua setelah Muhaimin dilantik sebagai menteri, Syamsuddin Pay "menonaktifkan diri" pada April 2010. "Saya sibuk di daerah," katanya Kamis pekan lalu.
Dalam surat pengangkatan, kata Syamsuddin, ada lima orang lain yang dilantik sebagai anggota tim untuk setahun. Mereka adalah Fauzi, Eko Samijoyo, Faisol Reza, Luluk Nur Hamidah, serta Yuniar. Belakangan, Yuniar digantikan Yusuf Muzni.
Meski tak pernah lagi datang ke Gatot Subroto, Syamsuddin mengaku tetap menerima gaji hingga bulan puasa lalu. "Jadi, surat keputusan itu hanya formalitas," katanya. "Buktinya, saya masih menerima gaji."
Menurut Syamsuddin, di antara semua anggota tim asistensi, Fauzi-lah yang paling dekat dengan Muhaimin. "Dia 24 jam bersama Menteri," katanya. Tangan Muhaimin yang lain adalah Jazilul Fawaid, satu dari tiga anggota staf khususnya. Belakangan, setelah tak lagi di sana, Syamsuddin mendengar bahwa Ali Mudhori masuk tim asistensi.
Ali adalah anggota DPR periode 2004-2009 dari Partai Kebangkitan Bangsa. Menurut seorang sumber, meski tak lagi menjadi anggota Dewan, Ali tetap hilir-mudik ke Senayan untuk mengurus anggaran. Sumber di Kementerian Tenaga Kerja mengatakan Ali pernah meminta semua pejabat Kementerian mengumpulkan dana untuk pembangunan kantor PKB. Sumber itu mengaku sempat melihat catatan Ali: duit yang terkumpul mencapai Rp 12 miliar.
Kepada Tempo beberapa waktu lalu, Muhaimin membantah Ali kepanjangan tangannya dalam mengumpulkan duit. Soal uang Rp 1,5 miliar dari Dharnawati, ia berkali-kali membantah pernah meminta duit. Muhaimin merasa namanya dicatut.
Ali Mudhori juga telah membantah soal ini. Ia menyatakan tak tahu-menahu tentang pengajuan anggaran itu karena sudah tak aktif lagi di tim asistensi Muhaimin sejak Februari 2011. "Saya sibuk di kampung," katanya.
Orang di sekitarnya disebut para tersangka, Muhaimin buang badan. Ia menyatakan tak punya anggota staf bernama Muhammad Fauzi, yang disebut pengacara Dharnawati hendak mengantarkan Rp 1,5 miliar itu ke sang Menteri. Menurut dia, tim asistensi di kementeriannya juga telah dibubarkan, akhir tahun lalu. Sindu Malik juga tak berkantor di Kementerian.
Persoalannya, Fauzi tak pernah diberhentikan secara resmi dari tim asistensi. Fauzi adalah anggota staf di sekretariat PKB, seperti pernyataan Muhaimin dalam satu acara televisi, Rabu pekan lalu. Segera setelah mengikuti talk show, Muhaimin menggelar pertemuan di rumahnya. Menurut sumber Tempo, hadir sejumlah tokoh PKB, seperti Baharuddin Nasori, Marwan Jafar, Abdul Kadir Karding, Hanif Dhakiri, Jazilul, dan Fauzi.
Pertemuan digelar hingga pukul 02.00, Kamis dinihari. Banyak hal dibicarakan, termasuk pergeseran anggota fraksi di DPR. Marwan Jafar dan Hanif Dhakiri, misalnya, dipindahkan ke Komisi Hukum. Pertimbangannya, Marwan piawai melobi. Adapun Hanif dikenal vokal. "Ini penting karena mitra kerja Komisi Hukum itu KPK," ujar politikus muda PKB itu.
Pertemuan kemudian ditutup dengan satu kesepakatan: kalaupun orang PKB sampai kena, hanya akan sampai Fauzi dan Ali Mudhori. Pertemuan menyimpulkan kasus tak boleh merembet hingga Muhaimin.
Marwan Jafar membantah adanya pertemuan. Kendati begitu, ia membenarkan telah pindah ke Komisi Hukum. Ia berdalih, pergeseran ini "untuk pemilihan pemimpin KPK".
Anton Septian, Setri Yasra, Pramono, Wahyu Dhyatmika (Jakarta), David Priyasidharta (Lumajang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo