Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI berkemeja hijau itu tampak lunglai ketika keluar dari ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Wajahnya menunduk dan bibirnya mengatup rapat. Hari itu, Senin pekan lalu, Charlie Mangapul Sianipar, demikian nama pria itu, berharap segera mendengar putusan sela yang dijatuhkan hakim. Ia datang pagi-pagi, ternyata hakim menyatakan pembacaan putusan itu ditunda menjadi Rabu pekan ini.
Adalah perkara gadget yang menjadikan lelaki 45 tahun ini jadi pesakitan. Sehari-hari Charlie memang penjual benda-benda semacam itu, termasuk iPad, yang kini tengah ngetren, di Mal Ambassador, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Urusan menjual sabak digital itulah yang membuatnya ditangkap polisi.
Polisi menuduh ayah tiga anak ini memperjual-belikan barang ilegal. Pasal yang dijeratkan untuk dirinya adalah melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Telekomunikasi. Untuk pelanggaran Undang-Undang Konsumen, ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara. Adapun dari UU Telekomunikasi, ancamannya satu tahun penjara. Pelanggaran dua undang-undang itu pula yang didakwakan jaksa di ruang sidang.
Kesialan yang menimpa Charlie ini dimulai pada Selasa 2 November tahun lalu. Saat itu, di suatu siang, tokonya didatangi dua perempuan yang menyatakan hendak membeli iPad. Lantaran wanita itu menanyakan bagaimana seluk-beluk dan cara mengoperasikannya, Charlie pun menghidupkan alat itu dan menunjukkan cara penggunaannya.
Sial. Alih-alih membeli, perempuan itu langsung menangkap dan menggelandangnya ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka rupanya polisi yang tengah menyamar. Selain membawa Charlie, dua polisi itu mengangkut 14 sabak digital yang harganya Rp 9 juta per unit sebagai barang bukti. "Sampai hari ini saya masih bingung, apa salah saya dan kenapa pula harus dijebak dengan cara itu," kata Charlie kepada Tempo.
Polisi tak menahan Charlie. Itu karena pengusaha yang sudah sekitar sebelas tahun terjun di bisnis jual-beli komputer itu dianggap kooperatif dan tak bakal kabur. Perkara Charlie persis sama dengan yang menimpa Randy Lester Samusamu dan Dian Yudha Negara. Keduanya kini tengah menunggu vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah ditangkap polisi karena menjual iPad ilegal, yakni tanpa panduan bahasa Indonesia. Bedanya, dua alumnus ITB itu menggunakan sarana online untuk menawarkan dagangannya.
SABAK digital itu digenggam erat di tangan kiri, sedangkan tangan kanan Charlie dengan lincah mengutak-utik layar sentuh. Kepada Tempo, sesekali Charlie menunjukkan hasil penelisikannya. Ia memperlihatkan bahwa iPad memiliki panduan pemakaian dalam bahasa Indonesia, yang dapat diunduh dari situs resmi perusahaan Apple Inc, sang pembuat.
Lalu ia memperlihatkan pula bagaimana produsen memberi proteksi dan garansi kepada konsumennya. "Setahu saya, semua produk Apple seperti ini, tidak menggunakan kertas," katanya. "Jadi saya bingung kalau disuruh menunjukkan fisik buku manual dan garansi."
Charlie mengaku memperoleh barang-barang itu dari komunitas pedagang produk Apple di Internet. Menurut dia, cara demikian lazim dan tidak ilegal. Konsumen juga tidak dirugikan karena kebutuhan konsumen akan petunjuk manual dan garansi bisa didapat konsumen sendiri dari situs produsen. "Jadi, tidak ada konsumen yang dirugikan," katanya.
Di Ambassador terdapat puluhan pedagang iPad seperti Charlie. Beberapa pemilik toko yang didatangi Tempo mengaku iPad yang mereka jual itu tidak ada buku manualnya. Sama seperti Charlie, menurut mereka buku petunjuk dan kartu garansinya bisa diunduh dari situs produsen.
Pengacara Charlie, Andar R. Hasihola, menilai dakwaan jaksa terhadap kliennya tidak berdasar. Ia menegaskan, Charlie tidak melanggar UU Perlindungan Konsumen atau UU Telekomunikasi. Undang-undang itu, katanya, tidak mensyaratkan adanya buku petunjuk sebagai media informasi produk. "Jaksa juga tidak bisa menunjukkan konsumen mana yang dirugikan," katanya.
Andar juga mempermasalahkan penjebakan atas kliennya, serta pemeriksaan terhadap saksi yang tak lain adalah polisi yang menyamar sebagai pembeli. "Jadi, di sini independensi saksi diragukan karena keterangannya hanya membenarkan."
Polisi berkukuh apa yang mereka lakukan terhadap Charlie sudah benar. Menurut juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Baharudin Djafar, penyelidikan kasus-kasus penjualan iPad ilegal seperti dilakukan Charlie itu mulai sejak tahun silam, tatkala benda itu mulai booming. Polisi, ujarnya, menerima 94 laporan penipuan jual-beli iPad di duni maya. "Inilah yang membuat kepolisian mulai menyelidiki perdagangan benda itu."
Menurut Baharudin, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Perdagangan mendukung langkah kepolisian ini. Kedua kementerian itu menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin berkenaan dengan penjualan benda itu. Polisi, ujar Baharudin, juga melibatkan saksi ahli dari Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi serta Kementerian Perdagangan dalam proses penyidikan perkara iPad tersebut. "Semua sepakat penjualan iPad adalah tindak pidana," kata Baharudin. Menurut dia, langkah polisi ini untuk melindungi konsumen yang pernah membeli serta calon pembeli.
Sebenarnya bukan hanya Charlie, Dian, dan Randy yang dibekuk polisi dengan tuduhan menjual gadget ilegal itu. Pada 2010, misalnya, ada 11 kasus penjualan iPad yang ditangani polisi, sedangkan pada 2011 jumlahnya naik, yakni 13 kasus. Sebagian besar pelakunya—ya, para penjual itu—ditangkap setelah "diutak-atik" di dunia maya dan diajak "kopi darat". "Yang pasti, yang kami lakukan tidak melanggar hak asasi," ujar Baharudin.
Menurut Baharudin, polisi sebenarnya ingin mengungkap siapa pengimpor kakap benda ilegal itu. "Tapi ini sulit," katanya. Menurut dia, semua penjual yang ditangkap tidak ada yang mengaku mendapatkan sabak digital itu dari perusahaan atau bandar besar. "Semua mengaku beli putus dari perseorangan."
Persoalan penjualan iPad ini kini mendapat perhatian dari Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Salah seorang komisionernya, Yusuf Shofie, bahkan sudah pernah memberi keterangan perihal iPad itu di persidangan serta kepolisian.
Menurut Shofie, iPad bukan termasuk 45 barang yang wajib disertifikasi seperti yang diperintahkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan. Jikapun wajib ada sertifikasi, ujarnya, yang wajib membuatnya adalah produsen. Shofie menegaskan, jika hendak menegakkan perlindungan konsumen, kepolisian seharusnya mencari siapa importir iPad di Indonesia. "Jadi, bukan kemudian menangkap penjualnya." Karena itulah, menurut dia, dalam kasus penangkapan penjual iPad seperti terhadap Charlie itu, polisi sudah melakukan error in persona.
Kepada Tempo, Charlie, Randy, dan Dian menyatakan siap menerima putusan apa pun yang dijatuhkan hakim. "Yang saya harapkan, hakim memberi putusan yang seadil-adilnya," kata Charlie.
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo