Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dwifungsi dan Kesadaran Sipil

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaleswari Pramodhawardani*

TAK sekali pun terlintas di benak Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal A.H. Nasution bahwa konsep dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia memberikan peluang ”tak terbatas” kepada angkatan bersenjata untuk terjun ke pemerintahan sipil di kemudian hari. Pada awalnya, gagasan itu dikenal sebagai konsep ”Jalan Tengah”, dan diusulkan kepada Presiden Soekarno pada 1958.

Doktrin itu mengatakan ABRI punya dua tugas penting. Pertama, menjaga keamanan dan ketertiban negara. Kedua, memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dalam paragraf yang tampaknya dibuat hati-hati itu, terbaca: ”... memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi....”

Pada masa Soeharto, pesan itu berubah. ABRI terjun secara organisatoris, dan bukan perorangan. Mereka menguasai sejumlah jabatan strategis di wilayah sipil. Begitu banyak perwira menjabat menteri, gubernur, dan bupati. Lalu, tanpa melalui pemilihan umum mereka menjadi ”wakil rakyat” di parlemen, dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.

Dengan kekuasaan khas, karena ABRI pemegang monopoli penggunaan kekerasan yang sah, sulit bagi para tentara menghindari godaan berkuasa tanpa melampaui batas. Dari sekadar kepentingan sektoral tentara, mereka merambah ke kepentingan politik dan bisnis. Tentu, dengan modal kapasitas koersif, ”invasi” tentara ke dunia bisnis berpotensi mengancam iklim usaha yang sehat.

Lebih dari separuh abad kelahirannya, serta daya rusak hampir 32 tahun di bawah rezim Soeharto—plus dua tahun setelah runtuhnya rezim Orde Baru—akhirnya doktrin ini sepakat dihapus oleh pimpinan Tentara Nasional Indonesia pada 2000. Tapi doktrin yang telah berkuasa lama ini punya dampak tidak kecil bagi proses perjalanan reformasi selanjutnya.

Gagasan tampaknya lebih lama surut ketimbang situasi aktual tempatnya hidup. Kita tentu ingat sikap para politikus sipil memanfaatkan keberadaan militer saat itu, dengan sengaja memperpanjang keberadaan TNI di legislatif hingga 2009. Tapi TNI justru menarik dirinya lebih awal menjelang Pemilu 2004. Para politikus sipil berpikiran pendek itu seperti tak peduli pada dampak aksi mereka bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Jalan menuju paradigma baru militer di Indonesia pascareformasi ternyata tidak selalu mulus. Memang TNI telah melakukan reformasi internal, dan berikrar tak akan terlibat ”day to day politics”, seturut tamatnya doktrin dwifungsi. Ada pula janji setia TNI terhadap negara dan otoritas sipil berdaulat, dan jaminan tak akan mengambil alih kekuasaan (kudeta) pemerintahan yang sah. Tapi banyak kalangan meragukan kesungguhan itu. Soalnya, banyak indikasi TNI sulit menyesuaikan diri terhadap keniscayaan supremasi sipil sebagai prasyarat utama menuju ”civil society”.

Kesulitan bukan hanya terletak pada tingkat konseptualisasi definisi subyektif civil society yang memuat bias ideologi. Tapi juga pada tingkat aktualisasi.

Pertama, ada keengganan TNI menanggalkan kepentingannya, sehingga sikap politiknya masih terkesan mendua. Perubahan struktur rupanya tak serta-merta dapat diikuti perubahan kultur. TNI sulit menanggalkan watak politik dan bisnisnya, karena justru tak mendapat dukungan memadai dari para politikus sipil.

Kedua, di tengah tuntutan begitu kuat terhadap profesionalisme TNI sebagai antitesis watak ABRI di masa lalu, para politikus sipil kerap memanfaatkan kehadiran TNI sebagai pusat legitimasi. Baik dalam bentuk undangan dukungan bagi kepentingan politik jangka pendek maupun dalam aksi barter politik ala simbiosis mutualistik. Akibatnya kehadiran TNI dihampiri secara mendua.

Pada satu sisi, kehadiran TNI di dunia politik sama sekali ditampik, tapi di sisi lain, kehadirannya masih diperebutkan sebagai basis dukungan politik, khususnya tatkala pertengkaran politik dalam negeri sedang memanas. Hal ini terlihat jelas pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.

Selain itu, salah satu kelemahan yang dapat dilihat dalam masa transisi itu adalah sulitnya menyingkirkan kepentingan kelompok dan golongan dalam perebutan kekuasaan. Akibatnya, beragam produk strategis (undang-undang), baik atas inisiatif lembaga legislatif maupun eksekutif, cenderung sarat kepentingan ideologis, dan tak dituntun paradigma berbasis nilai-nilai demokrasi. Gerilya politik para akademisi, praktisi, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat dalam ikut mempengaruhi pembahasan rancangan undang-undang adalah cermin ketidakpercayaan publik atas para politikus sipil ini. Contohnya, saat pembahasan RUU TNI pada 2004, atau kegagalan disahkannya RUU Rahasia Negara pada 2009.

Ketiga, hegemoni militeristik ikut berkontribusi dalam menjelaskan penyelesaian berbasis kekerasan sebagai metode utamanya. ”Military mind-set” seolah-olah telah menjadi bagian inheren dari sebagian kesadaran massa. Tampaknya ini konsekuensi logis atas terlalu lamanya hegemoni militerisme di masa lalu. ”Kekerasan” ini tidak saja tecermin dalam ruang politik kita, tapi juga kelembagaan lainnya, seperti sosial, budaya, pendidikan, dan agama.

Keempat, perubahan karakter politik militer menuju tentara profesional telah menjadikan TNI lebih mawas diri (inward-looking). Profesionalisme dan budaya demokrasi normatif ini membuat TNI membatasi diri pada apa yang menjadi kewajibannya. Ini berbeda tatkala TNI masih berwatak politik dan melahirkan banyak faksi di internal TNI, sehingga kudeta militer yang kerap dikhawatirkan itu justru tak mendapat ruang. Tapi, ketika profesionalisme menguat, soliditas antarkorps terbangun penuh, dan kepentingan negara menjadi taruhannya, TNI menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan kehadirannya dalam ranah politik. Kekhawatiran ”kudeta” menjadi dimungkinkan, walaupun peluangnya kecil jika melihat basis empiris selama ini.

Kebutuhan menghadirkan kembali TNI di ranah politik menjadi terbuka manakala pemerintah mengalami kegagapan dalam menyelesaikan problem pemerintahannya seperti hari ini. Apalagi jika keadaan ini diikuti kebutuhan akan tertib sosial dalam berdemokrasi yang jauh dari jangkauan, penegakan supremasi hukum dan kompetensi aparat yang masih berhenti pada tingkat wacana, korupsi merajalela, dan ekonomi rakyat yang masih tersengal-sengal. Gejala ini tampak pada pemilihan presiden pada 2009. Banyak kandidat presiden yang memiliki tim sukses para mantan elite militer pada masanya.

Lalu bagaimana beragam paradoks atau ketegangan pembangunan militer profesional dan keadaban demokrasi itu harus dikawinkan?

Sepuluh tahun pascapencabutan dwifungsi ABRI memang tidak serta-merta mencabut ”military mind-set” dalam kesadaran kita. Diperlukan pelipatgandaan wacana, dan negosiasi damai tentang hubungan sipil-militer yang terus-menerus sebagai solusi. Meminjam argumen Alfred Stepan, bagi negara berkembang, intervensi militer dalam kehidupan sosial-politik harus senantiasa berada dalam kendali kedaulatan rakyat. Ia harus diatur sejak sistem anggaran belanjanya sampai bagaimana mendayagunakan secara tepat fungsi intelijen.

Saya pikir, setelah sepuluh tahun Indonesia berangkat menuju pemerintahan sipil, argumen ini masih tetap relevan.

*) Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan The Indonesian Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus