Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Depok - Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (Ketua BEM UI) 2023 Melki Sedek Huang mengaku keberatan dan meminta pengajuan pemeriksaan ulang terhadap Surat Keputusan Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024 yang memutuskan dirinya bersalah dan diberikan sanksi administratif atas laporan kekerasan seksual. Melki mengungkapkan alasan penyampaian keberatan terhadap SK tersebut, karena terkait transparansi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang proses investigasi di Satgas PPKS UI selama kurang lebih sebulan, ia hanya satu kali untuk dimintakan keterangan atas kasus yang ditujukan padanya. “Sehingga saya tidak pernah menyampaikan keterangan apa pun lagi ataupun mengetahui proses-proses investigasi yang ada di dalam Satgas PPKS UI hingga dikeluarkannya Keputusan Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024 pada 29 Januari 2024 lalu,” kata Melki dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu sore, 31 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang proses investigasi, Melki Sedek Huang menyatakan tidak pernah melihat dan diberikan berkas investigasi apa pun, termasuk catatan hasil investigasi, juga bukti-bukti yang ada dalam investigasi. Ia hanya dikirimkan Keputusan Rektor yang memutus dirinya bersalah dan memberikan sanksi tanpa adanya penjelasan apa pun.
“Bahkan saya tidak pernah sekali pun diajak untuk memvalidasi bukti-bukti yang ada,” ujar Melki.
Kemudian, ada kejanggalan setelah pemanggilan pertama pada 22 Desember 2023 lalu. Ia selalu mengharapkan adanya pemanggilan lanjutan ataupun informasi yang diberikan mengenai perkembangan proses investigasi.
“Nyatanya, saya tidak pernah sekali pun mendapatkan pemanggilan lagi. Sehingga, tidak ada ruang sedikit pun bagi saya untuk menyampaikan keterangan terbarukan, menyampaikan bukti-bukti, dan bahkan tak pernah sekali pun saya diajak untuk memvalidasi bukti-bukti yang ada,” tutur Melki.
Melki mengaku mengerti bahwa ada sensitivitas yang besar dalam kasus ini sehingga diperlukan proses-proses yang tak bisa ditempuh secara terbuka. Tetapi, sebagai tertuduh seharusnya ia mempunyai hak untuk mendapatkan informasi mengenai proses dan investigasi yang ada, demi pencarian kebenaran yang adil. “Setidaknya informasi ini pun sangat penting bagi saya dan keluarga yang selalu bertanya-tanya,” ujarnya.
Melki mengerti bahwa perspektif korban adalah hal yang penting sehingga kita wajib untuk menghormati hak-hak juga nama baik korban. Namun ia pun memiliki hak dan nama baik. Selama proses yang ada, ia merasa tak mendapatkan hak-hak tersebut, terlebih dalam hak untuk tidak dianggap bersalah sampai hadir putusan yang sah.
“Menyebarnya kasus, dokumen-dokumen, dan kabar-kabar tentang kasus ini sejak awal adalah masalah yang membuat saya tak mendapatkan hak-hak tersebut,” ujar Melki.
Melki menegaskan bahwa telah berusaha untuk menghargai proses investigasi Satgas PPKS UI dengan baik. Ia tidak pernah lari dari panggilan, tidak pernah berniat untuk tidak melaksanakan kewajiban, dan mematuhi aturan-aturan terkait yang berlaku.
Dalam diktum ketujuh dalam Keputusan Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024 tersebut, ia diperkenankan untuk meminta pemeriksaan ulang yang harus diajukan paling lambat 14 hari kalender sejak diterimanya Keputusan Rektor UI tersebut jika Keputusan Rektor UI tersebut dianggap tidak adil. “Sehingga, saya akan tetap mematuhi dan menjalankan upaya-upaya yang menurut aturan diperbolehkan,” tegasnya.
Sejak awal, ia selalu berkomitmen untuk mematuhi dan menghargai segala proses-proses hukum yang legal untuk menghadirkan kebenaran dan menegakkan hak-hak para pihak. Komitmen tersebut akan selalu diterapkan dan laksanakan hingga proses-proses ke depan.
“Maka, oleh karena minimnya transparansi, adanya kejanggalan, dan juga keputusan yang tidak adil, melalui surat ini, saya ajukan proses yang legal, yaitu pemeriksaan ulang atas kasus ini,” ucap Melki.