Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berhenti di depan lobi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, dari dalam mobil Suzuki APV berwarna perak muncul empat lelaki: Mirwan Amir, Melchias Markus Mekeng, Tamsil Linrung, dan Olly Dondokambey. Selasa tiga pekan lalu, satu per satu pemimpin Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat itu masuk gedung KPK.
Mereka datang memenuhi panggilan komisi antikorupsi untuk urusan dugaan suap proyek di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Di luar gedung KPK, sesaat setelah pemeriksaan, empat sekawan itu membantah penyelewengan dalam proses pencairan dana proyek percepatan pembangunan infrastruktur daerah. "Tidak ada itu. Tidak ada commitment fee," kata Tamsil.
Mengendarai mobil sederhana—di pasar harganya sekitar Rp 130 juta—keempatnya disebut sedang bermain teater. "Itu hanya sandiwara mereka," kata aktivis Indonesia Corruption Watch, Apung Widadi. Dengan naik mobil sederhana, "Mereka mencoba menutupi hartanya dan seolah-olah hidup sederhana."
Dalam laporan harta kekayaan di KPK, tidak satu pun petinggi Badan Anggaran itu yang memiliki mobil APV. Mekeng, misalnya, punya mobil Cherokee (1995), Toyota Alphard, dan Toyota Camry (2009). Mirwan punya Mercedes-Benz, sedangkan Tamsil memiliki Nissan Serena dan Toyota Alphard. Adapun Olly punya Nissan X-Trail dan Toyota Camry.
Dalam laporan kekayaannya di KPK, harta Olly meningkat drastis dari Rp 2,4 miliar pada 2003 menjadi Rp 8,2 miliar pada 2009. Penambahan terbesar berupa aset tanah—dari Rp 232 juta menjadi Rp 5,6 miliar. Dari laporan perubahan kekayaan, tanah Olly diketahui bertambah sekitar 200 ribu meter persegi, yang sebagian besar berada di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. "Kenaikan jumlah harta kekayaan pimpinan Badan Anggaran tidak wajar," kata Apung.
Olly—disebut-sebut bakal mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Utara pada Pemilu 2014—tak merespons panggilan telepon ataupun membalas pesan pendek yang dikirim Tempo. Didatangi ke rumahnya di Pondok Gede, Bekasi, ia tak tampak. Menurut sejumlah tetangga, Olly menjual rumah 300 meter persegi itu setahun yang lalu.
Wakil Ketua Badan Anggaran Tamsil Linrung mencatat harta paling sedikit. Pada 2003, hartanya Rp 1,79 miliar dan 2006 menjadi Rp 2,8 miliar. Menurut keluarganya, Tamsil adalah sosok yang murah hati. Kepada ibu mertuanya, Ingkisang Usman, Tamsil setiap bulan mengirim uang Rp 3 juta. "Saya kan mertuanya," kata perempuan 66 tahun ini ketika ditemui Tempo di kediamannya di Makassar. Sebuah Toyota Alphard hitam terbungkus di garasi rumah itu.
Tamsil adalah mantan Bendahara Partai Amanat Nasional yang menyeberang ke Partai Keadilan Sejahtera. Ia pernah ditangkap kepolisian Filipina karena diduga membawa bahan peledak. Bersama Agus Dwikarna dan Abdul Jamal Balfas, ia ditahan 36 hari sebelum dibebaskan. "Dia masuk PKS karena partai kami getol memperjuangkannya," kata Sekretaris Majelis Pimpinan Wilayah PKS Sulawesi Selatan Ariady Arsal.
Asam garam politik dicicipi Tamsil sejak kuliah dengan bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam MPO (1980-1984). Semasa kuliah ini, menurut abang kandungnya, Natsir Linrung, Tamsil juga kerap pulang-pergi Makassar-Jakarta. Belakangan, Tamsil dikeluarkan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ujungpandang karena memprotes kenaikan biaya kuliah. "Saya tidak tahu ia melanjutkan sekolah ke mana," kata Natsir.
Selain pada kasus dugaan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, nama Tamsil sempat dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya di kementerian yang sama. Seorang koleganya di Badan Anggaran mengaku tidak mengetahui sepak terjang Tamsil pada proyek apa saja. "Dia sering main sendiri," kata sumber yang menolak disebut namanya.
Berbeda dengan Tamsil, Mirwan Amir tidak punya latar belakang sejarah politik yang panjang. Pria kelahiran 1961 ini diketahui baru berpolitik sekitar tahun 2000 ketika menjungkirkan Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Dalam wawancara dengan modusaceh.com pada Juli lalu, Mirwan, yang lebih dikenal dengan nama Ucok, mengakui perannya di balik penggulingan Puteh.
Mirwan, yang total kekayaannya pada 2004 lebih dari Rp 27 miliar, tak banyak menghabiskan waktu di Aceh. Ia hanya pulang jika ada urusan bisnis, termasuk mengelola Hotel Kuala Tripa miliknya. Jika ke kampung halaman, Mirwan suka mengumpulkan teman-temannya di hotel tersebut.
Ketika Susilo Bambang Yudhoyono mundur dari kabinet Megawati Soekarnoputri dan membentuk Partai Demokrat, Mirwan bergabung. Jauh sebelum masa kampanye buat calon presiden, Mirwan sudah memasang spanduk-spanduk dan foto Yudhoyono.
Atas jasanya dan sebagai Ketua Partai Demokrat Provinsi Aceh yang pertama, Mirwan diangkat menjadi wakil bendahara partai, mendampingi Nazaruddin. Sumber Tempo di Partai Demokrat menyebutkan Mirwan dan Nazar bertugas mencari uang untuk partai. Nazar mencari dana dari swasta, sementara Mirwan mengatur pengalokasian di Badan Anggaran. "Dia dikenal sebagai head of fee collector," ujar sumber Tempo. Hal ini sesuai dengan posisi Mirwan di Badan Anggaran, yakni koordinator anggaran pemerintah pusat bersama Melchias Mekeng.
Dari pelariannya, Nazaruddin dengan tegas menuding Mirwan ikut menerima duit yang dibagi-bagi ke Badan Anggaran. Mirwan tidak bisa dihubungi. Telepon selulernya tidak aktif. Ketika dicegat seusai pemeriksaan di KPK akhir bulan lalu, Mirwan juga tidak menjawab meski dicecar juru tinta. "Tidak. Saya soal Kemenakertrans," ujarnya.
Ketua Badan Anggaran Melchias Markus Mekeng punya latar yang lebih tegas dalam dunia politik dan bisnis. Pria kelahiran 1963 ini memulai kariernya sebagai pedagang valuta asing di Bank Duta. Dari situ ia sukses punya perusahaan PT Mesana Investasi Utama bersama salah seorang anak Dicky Iskandar Dinata. "Dicky melakukan transaksi dengan perusahaan itu dalam kasus pembobolan Bank Negara Indonesia," kata sumber Tempo di kalangan perbankan.
Dari dunia bisnis, Mekeng masuk politik. Pada periode 1999-2004, ia terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan Daerah Nusa Tenggara Timur. Karier politiknya berlanjut di Partai Golkar hingga kini menduduki jabatan wakil bendahara. Dari 2006 hingga 2010, hartanya meningkat dari Rp 16,7 miliar menjadi Rp 19,9 miliar. "Meski dia pernah berbisnis, hartanya tidak wajar," kata Apung. Mekeng tidak menjawab panggilan telepon dan pesan pendek yang dikirim Tempo.
Tito Sianipar, Setri Yasa, Pramono, Isma Savitri, Martha Thertina (Jakarta), Jumadi (Pangkep), Ardiansyah (Makassar)
Diperiksa, Lalu Mengancam
Langkah KPK memanggil pimpinan Badan Anggaran DPR dalam pengusutan praktek rasuah pembahasan anggaran DPPID senilai Rp 500 miliar berbuntut panjang. Para terperiksa mengancam menghentikan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012.
14 September
Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan ada kaitan kasus suap wisma atlet serta Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja dengan Badan Anggaran DPR.
16 September
Rapat jajaran pemimpin DPR sepakat meminta rapat-rapat Badan Anggaran diawasi KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan.
19 September
KPK menjadwalkan pemeriksaan empat pemimpin Badan Anggaran dalam kasus suap Rp 1,5 miliar di Kementerian Transmigrasi.
20 September
Empat pemimpin Badan Anggaran datang memenuhi panggilan KPK.
20 September
Rapat internal Badan Anggaran memutuskan menolak pembahasan RAPBN 2012, yang akan digelar bersama pemerintah pada 21-26 September.
21 September 2011
Pembahasan RAPBN 2012 tidak terlaksana.
25 September
Ketua Badan Anggaran Melchias Markus Mekeng menyatakan pembahasan RAPBN 2012 menunggu hasil pertemuan pimpinan DPR dengan KPK, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung.
26 September
KPK menyatakan tidak bisa memenuhi undangan DPR.
27 September 2011
Tamsil Linrung dan Olly Dondokombey mangkir dari pemeriksaan KPK.
Fanny Febiana Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi, wawancara, PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo