Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HELGA Kankani tak pernah menyangka bahwa 11 Maret 2011 akan mencatatkan peristiwa tak terlupakan sepanjang hidupnya. Siang itu, sekitar pukul 14.00 waktu Jepang, wanita 29 tahun asal Lembang, Jawa Barat, ini tengah menonton drama Korea di televisi. Yamada, 8 tahun, anak semata wayangnya yang baru pulang sekolah, asyik bermain sendiri. Musim dingin belum usai pada awal Maret. Salju membungkus tebal-tebal Ishinomaki, membuat Helga memilih mendekam di rumah.
Sekitar pukul 14.46, Helga terkejut tatkala apartemennya bergoyang. Ada gempa. Dia berada di wilayah Prefektur Miyagi yang rawan lindu. Goyangan gempa sudah jadi "tamu rutin" di Kota Ishinomaki, tempat Helga dan keluarganya berdiam. Entakan pertama masih pelan, kian lama guncangan kian kuat. Perempuan berparas ayu ini mengaku sudah terbiasa dengan goyangan lindu selama 11 tahun di Jepang. "Tapi saat itu (11 Maret) beda," katanya. "Bangunan apartemen seperti di ayun-ayun."
Pertemuan dengan Helga di City Hall, Ishinomaki, 29 Juli lalu, membuat Tempo dan lima wartawan dari Asia Tenggara lain lebih banyak terdiam. Cerita dia dan sepuluh warga asing di kota pelabuhan ini menghadirkan kembali dengan terang saat-saat mencekam ketika gempa 8,9 skala Richter, disusul tsunami, mengempaskan sebagian wilayah Jepang hingga berkeping-keping.
Ketika gempa mereda, perempuan itu meraih anaknya yang bersembunyi di kolong meja makan. Dia melarikan Yamada ke luar apartemen yang terletak sekitar 800 meter dari pantai Ishinomaki. Di area parkir, puluhan tetangganya sudah berkumpul. Mereka turun tanpa persiapan apa pun. Helga dan Yamada hanya memakai celana pendek, tanpa alas kaki, tanpa jaket dan jas hujan penahan salju.
Sejenak kemudian, sirene tanda bahaya tsunami meraung-raung. Semua orang di halaman apartemen lari berhamburan. Tanpa berpikir lagi, Helga menyeret Yamada, dan berlari kencang. "Ketika itu sempat terlintas, saya akan terseret gelombang tsunami," katanya. Apalagi, saat berlari ke jalur evakuasi, Helga sempat menoleh ke belakang. Dan, ini yang dia lihat dari kejauhan: gulungan air bah dari Laut Pasifik seolah berpacu mengejar di belakangnya.
Helga selamat. "Saya tak percaya bisa lolos dari maut," ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Sore itu, di jalan-jalan terlihat ratusan mayat bergelimpangan. Bangunan-bangunan di dekat bibir pantai sudah rata dengan tanah. Di seluruh Ishinomaki, tercatat 3.097 orang tewas ketika itu.
Selama satu pekan, Helga dan Yamada menetap di tempat pengungsian sementara. Dia masih kerap ketakutan. Apalagi suaminya, seorang warga Jepang, sedang bekerja di kota lain. Enam bulan setelah bencana, kehidupan Helga perlahan-lahan pulih. Dia mengaku tak lagi sedih dan takut, meski gempa susulan masih sering datang.
+ "Apakah tidak ingin pulang dan menetap di Indonesia saja?" Tempo bertanya kepadanya.
- Terdiam sejenak, dia lalu menjawab dengan lugas: "Tidak. Saya tetap ingin menetap di sini. Sekarang semuanya sudah pulih seperti semula."
Ishinomaki memang tengah beranjak pulih. Kota ini sudah bersih dari tumpukan sampah tsunami, walau bangunan yang rusak belum sepenuhnya direnovasi. Warga kota sudah kembali beraktivitas seperti sedia kala, tak terkecuali di pinggir-pinggir pantai: area yang pernah menjadi mimpi buruk bagi mereka.
"Kebangkitan" dari reruntuhan juga terlihat di kota lain yang dikunjungi Tempo, seperti Matsushima, Hiraizumi, dan Hachimantai. Warga kota seolah telah melupakan Jumat hitam, 11 Maret, tatkala gelombang tsunami datang—selepas gempa—dan merenggut nyawa 15.400 orang. Tujuh ribu orang hilang tanpa bisa ditemukan jasadnya.
Barisan rumah semipermanen itu berjejer rapi di salah satu sudut Ishinomaki. Bentuk, ukuran, dan warnanya seragam. Satu ruangan agak besar di bagian tengah menjadi tempat berkumpul keluarga. Inilah kompleks rumah penampungan sementara para korban yang mendadak jadi tunawiswa akibat gempa dan tsunami. Di ruangan seluas 30 meter persegi itulah Nyonya Yamato, 67 tahun, menghabiskan hari-harinya selepas bencana—yang merenggut nyawa dua anaknya. Dia mengaku sudah lima bulan tinggal di situ. "Saya senang bisa berkumpul dengan kawan senasib," katanya.
Rumah sementara yang gratis ini memang disiapkan pemerintah agar penghuninya nyaman. Fasilitasnya cukup lengkap: satu unit kulkas dua pintu, televisi layar datar 21 inci, pemanas ruangan, kompor dan penanak nasi listrik, serta kasur matras untuk tiga orang. Di setiap rumah terdapat kamar mandi dengan fasilitas air panas dan dingin.
Kemewahan di rumah sementara ini membuat pikiran seketika melayang ke Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. Daerah ini tersapu tsunami pada Oktober 2010. Dua bulan setelah bencana, Tempo berkunjung ke daerah yang terbentang di bibir Samudra Hindia itu. Penampungan sementara yang disiapkan bagi setiap keluarga adalah tenda darurat berukuran 4 x 5 meter beratap terpal, beralaskan tanah. Tak ada fasilitas kecuali dapur umum dan tempat mandi umum.
Di Kota Sendai, kota lain di Jepang, yang juga babak-belur dihajar prahara 11 Maret, terdapat 18 kompleks rumah penampungan sementara. Masing-masing terdiri atas 184 unit rumah. Takuma Oyada, Kepala Divisi Promosi Kota Sendai, menjelaskan bahwa tingkat hunian rata-rata rumah mencapai 75 persen. Rumah itu boleh ditempati siapa saja yang perlu, sampai kegiatan pembangunan rumah baru tuntas dilaksanakan.
Di setiap kompleks dibentuk komunitas yang mengurus sejumlah kegiatan, seperti kesehatan dan konseling. "Tujuannya agar mereka merasa senang dan tidak stres," kata Oyada. Ohashi, 65 tahun, ketua komunitas rumah penampungan sementara, mengaku senang korban tsunami bisa mengatasi problem bersama-sama. "Kami upayakan selalu berkumpul dan tak mengurung diri di kamar," katanya.
Semangat kebangkitan pada warganya menjadi faktor penting bagi pemerintah Jepang untuk membangun kembali negeri itu dari kehancuran. "Dukungan masyarakat, khususnya para korban, menjadi modal berharga bagi kami," kata Yoshihiro Murai, Gubernur Prefektur Miyagi. Sejak tsunami sampai sekarang, dia mengenakan seragam khusus—bukan jas atau safari seperti gubernur di Indonesia.
Menurut dia, fokus utama pemerintah adalah bergerak cepat dalam program rekonstruksi. "Hal ini tentu tak bisa dilaksanakan jika masyarakat tetap terpuruk dalam kesedihan," ujarnya.
Gerak cepat yang disebutkan Murai terlihat jelas di lapangan. Perbaikan bandar udara Sendai, misalnya. Selepas tsunami, hampir seluruh landas pacu bandara tertutup air laut, yang juga menyapu sejumlah pesawat. Terminal penumpang rusak parah dan sebagian tak bisa digunakan lagi. Hanya dalam 17 hari, kerusakan di landas pacu dapat diatasi. Tentara Nasional Jepang, dibantu Angkatan Darat Amerika Serikat, bekerja siang-malam memperbaiki landasan dan fasilitas bandara.
Alhasil, mulai 13 April, bandara Sendai kembali beroperasi melayani penerbangan domestik dari Henada dan Osaka. "Semua terminal ditargetkan bisa beroperasi pada September 2011," kata Katsuhiko Ito, Presiden Sendai Airport Terminal Co Ltd. Jalur kereta api cepat The Tohoku Expressway juga terkena gerak cepat perbaikan. Ketika gempa datang, 347 dari 675 kilometer jalur rel kereta rusak parah dan tak bisa digunakan. Hanya 13 hari setelah bencana, jalur yang retak dan runtuh pulih seperti sedia kala.
Chief Cabinet Secretary Jepang Yukio Edano mengatakan keluar dari krisis akibat bencana merupakan tantangan terberat. Program rekonstruksi, menurut dia, diharapkan bisa digegaskan dengan mendorong masuknya investasi dari seluruh dunia. Dana rekonstruksi diperkirakan mencapai US$ 612 miliar (Rp 5.500 triliun).
Tergerusnya pasokan energi menjadi persoalan pelik lain yang harus dihadapi pemerintah Jepang selepas tsunami. Penyebab utamanya, pembangkit listrik tenaga nuklir Daiichi Fukushima rusak berat. Akibatnya, pasokan energi nasional terpangkas 50 persen. Penghematan energi yang mereka lakukan layak ditiru.
Sejumlah kantor yang dikunjungi Tempo, termasuk beberapa ruangan di kompleks perkantoran Perdana Menteri Naoto Kan, mematikan penyejuk udara. Pegawai instansi pemerintah dan swasta, yang dulu kerap berjas lengkap, kini lebih sering berkemeja lengan pendek tanpa dasi. "Inilah penampilan baru kami," kata Shu Miyoshi, salah seorang staf Kementerian Luar Negeri Jepang, kepada Tempo.
Abdul Muhari, mahasiswa program doktor asal Indonesia di Universitas Tohoku, Sendai, menuturkan bahwa sejak krisis energi, semua penyejuk udara di ruang kuliah dan laboratorium dimatikan. Lampu jalanan dan gedung perkantoran juga harus dipadamkan lebih cepat ketimbang biasanya.
Menurut dia, masyarakat mendukung penuh kampanye hemat energi yang dicanangkan pemerintah. "Pejabat di sini bukan sekadar mengimbau, tapi mempraktekkannya terlebih dulu," kata Abdul.
Tragedi 11 Maret berhasil membangkitkan semangat kebersamaan warga Jepang. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat terbentuk dan giat membantu pemerintah menolong para korban. Fair Trade Tohoku adalah satu satunya. Dijalankan oleh anak-anak muda membantu para korban tsunami di Ishinomaki. Saban pagi, mereka mendatangi rumah penampungan sementara, dan mendistribusikan barang kebutuhan pengungsi.
Ryuichi Fuse, Koordinator Fair Trade Tohoku, menjelaskan barang-barang bantuan berasal dari lembaga dalam dan luar negeri. Menurut dia, sejak hari ketiga setelah bencana, bantuan terus mengalir tanpa henti. Organisasi sukarelawan lain yang juga giat membantu korban adalah On the Road, Nippon Foundation, dan Project. Mahasiswa dan pelajar dari berbagai kota pun bersama-sama membersihkan kota-kota dari reruntuhan.
Pada hari terakhir lawatan di Jepang, Tempo melihat persiapan pembukaan Festival Malam Sungai Ishinomaki. Di sana berkumpul ratusan sukarelawan dari semua provinsi Jepang. Mereka membikin ratusan lampion untuk dihanyutkan di sungai itu. Satu pesan yang akan mereka kirimkan lewat acara itu: kebangkitan bersama melewati bencana.
Setri Yasra (Sendai, Ishinomaki, Matsushima)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo