Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hemat Energi di Jantung Tokyo

Tanpa kampanye besar-besaran, warga Jepang bersatu dalam gerakan hemat energi yang luas dan efektif—selepas bencana nasional Maret 2011.

12 September 2011 | 00.00 WIB

Hemat Energi di Jantung Tokyo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DARI jendela di lantai 18 Hotel New Otani, Tokyo, pencatat suhu di puncak pencakar langit di seberang jalan menyembulkan angka 29 derajat Celsius. Di pagi hari, angka itu bisa naik-turun dalam hitungan menit. Tapi tidak pada siang itu, ketika suhu Tokyo nyaris mirip hawa Jakarta yang panas-terik.

Petugas kebersihan kamar, perempuan setengah umur bernama Matsu-san—dengan halus dia menolak menyebut nama lengkapnya—menjura berulang-ulang di depan Tempo. Dengan bahasa Tarzan bercampur Inggris kacau-balau, dia berkata, andai penghuni kamar berkenan, dia menyarankan penyejuk udara digeser dari level high ke medium. "Ruangan lebih nyaman karena AC tak menyembur terlalu kencang," katanya. Sebetulnya dia sedang mengingatkan tamunya tentang upaya hemat energi.

Matsu-san, dan entah berapa ribu pelayan kamar di seluruh Jepang, menjadi garda depan industri hotel yang turut membela dengan gagah gerakan penghematan energi selepas bencana 11 Maret. Tokyo mencanangkannya tak lama setelah tsunami—lebih-lebih setelah kehancuran pusat nuklir Fukushima. Tujuannya menyelamatkan pasok­an energi nasional yang tersisa, yang amat dibutuhkan untuk renovasi. Seluruh wilayah prefektorat menyambut ajakan Tokyo dengan serius—bahkan nyaris militan.

Matsu-san adalah perempuan sederhana beranak empat. Hanya tamat sekolah menengah di Yamagata, dia mengaku tak paham "kebijakan tingkat tinggi" di balik perihal hemat energi nasional. Tapi ia mahir bukan main menjelaskan dalam bahasa Tarzan bahwa Hotel Otani tak dapat melayani binatu dari tengah malam tembus pukul empat pagi, sarana eskalator, lift, dan pintu masuk hotel harus diamankan dengan menghemat sedapat mungkin pemakaian listrik di dekat sarana-sarana itu. Itu semua terpaksa dilakukan, karena, "Keadaan belum normal sehabis gempa besar. Sabarlah, dan maafkan," kira-kira itu terjemahan bebas bahasa Inggrisnya, yang di bawah banderol.

Wanita 53 tahun yang empat tahun terakhir bertugas membersihkan kamar-kamar di Garden Tower—salah satu sayap Hotel New Otani—ini menunjukkan kepada Tempo kereta dorongnya yang penuh pernak-pernik kamar mandi. Dengan bangga, seraya menjura berulang-kali, dia memperlihatkan kartu segi empat bertulisan "terima kasih, Anda telah turut menghemat energi hari ini". Kartu itu diletakkan di dekat bantal bila pemilik kamar sudi menggunakan seprai atau handuk yang sama lebih dari sehari.

Di manakah Matsu-san ketika geger besar itu terjadi? Dia berada di depan Stasiun Shibuya, satu marka yang masyhur di Tokyo karena kisah nyata Hachiko. Anjing setia Hachiko—dalam kisah itu—menanti tuannya setiap hari sampai mati di depan stasiun metro ini. Sampai kini, Stasiun Shibuya menjadi titik perjumpaan banyak warga Tokyo, termasuk Matsu-san. Hari itu, dia berjanji minum kopi sehabis kerja dengan Natsuki-san.

Berjarak 330 kilometer dari pusat gempa, Tokyo ibaratnya hanya dilanda "goyangan halus" dibanding kota seperti Sendai, Matsushima, dan Fukushima, yang hancur rata-tanah. Toh, Matsu dan Natsuki membenarkan, Tokyo termasuk paling "militan" menghemat energi. "Di mana-mana ada itu (hemat energi)," ujar Natsuki-san, yang dikenalkan Matsu kepada Tempo.

Natsuki-san adalah salah satu pengusaha bunga yang memasok kembang untuk pesta-pesta perkawinan, termasuk di New Otani. Tapi, dalam perbincangan dengan Tempo hari itu di kedai kopi di lantai 6 hotel, Natsuki lebih getol membahas cara-cara New Otani mengirit energi ketimbang soal bisnis bunga.

Syukurlah, dia berbahasa Inggris cukup fasih berkat hubungan dagang bunga dengan orang-orang asing di sekitar Shibuya dan Shinjuku, dua titik paling hip di jantung Tokyo. Dia mencontohkan sarapan di Top of the Tower, tempat sarapan prestisius di puncak Hotel New Otani, dihentikan karena servis itu menyedot listrik terlampau banyak.

Natsuka lalu menggamit Yamada-san, seorang pria muda santun, pelayan coffee shop, yang agaknya sudah dia kenal baik. Keduanya berbicara cepat dan melodius, dalam bahasa Jepang. Lalu Natsuka-san menoleh dengan wajah puas. "Ya, mereka masih mempersingkat jam-jam buka beberapa restoran di sini," ujarnya. "Seperti Belle-Vue, Seisen-tei, dan Momiji-tei. Semuanya baru buka normal pada 22 September," wanita energetik itu menambahkan.

Apa yang membuat perempuan ini repot-repot memikirkan program hemat listrik? Begini dia menjelaskannya: kian cepat renovasi kelar, kian cepat pula "toko-toko bunga di hotel bisa beroperasi kembali pada jam normal, seperti sebelum bencana. Di situlah tersimpul kepentingan Natsuka-san.

Ketika kami mencomot potongan roti untuk teman minum kopi, dia memilih roti yang sudah dipanggang secara "massal". Dia menolak memakai pemanggang. "Maafkan, dan sabarlah," ujarnya—kok jadi terdengar seperti Matsu-san, ya—seraya membungkuk. Lalu dia menunjuk jumlah watt yang terpakai bila roti harus dipanggang lagi. Sebelum berpisah, dia menyarankan Tempo jalan-jalan ke Shibuya sebelum meninggalkan Tokyo.

Shibuya kami sambangi pada suatu malam sebelum kembali ke Jakarta. Di pintu keluar stasiun, parade ­fashion musim panas tiba-tiba terbentang di depan mata. Ratusan orang, pria dan wanita, dalam baju-baju katun, linen, semiwol, mini, maxi, kemeja button-down rapi-jali berpadu dengan celana berpotongan sempurna, lalu-lalang di jalanan. Sekelompok remaja pria dan wanita mengecat rambutnya berwarna-warni, mengenakan celana secekak pangkal paha dan menghirup rokok dalam-dalam di depan gedung belanja Shibuya 109.

Dalam seketika, kita seperti terlontar ke belahan Jepang paling urban, tempat jejak-jejak prahara tak terlihat sedikit pun... sampai saat kita masuk gedung. Lantai demi lantai dihubungkan oleh eskalator. Toko-toko memajang aneka busana musim panas serta musim gugur dengan murah hati. Gerai-gerai sepatu memajang nona manis dalam stoking tembus pandang sebagai penjaga toko untuk menarik pengunjung. Toko-toko tas beradu cepat menyodorkan diskon. Hanya satu yang tak dapat mereka diskon: energi.

Ketika Tempo membayar belanjaan, tuan toko mencatat hitungan dengan kalkulator dan mematikan mesin hitungnya dari sore-sore—bila pengunjung tak terlalu membeludak demi hemat energi. Jam baru pukul sembilan, tapi kenapa semua orang bergerak menutup toko? Tuan toko menjawab dengan ramah dan bersemangat: "Sebelum gempa, kami bisa buka lebih lama. Sekarang harus berhemat listrik... ada eskalator, lampu toko, dan lampu di gang."

Dia menatap Tempo dengan wajah tak berdaya. Rupanya dia masih ingin menambahkan hal-hal lain yang perlu dihemat, tapi, "My English is poor," ujarnya. Ya, ya..., "Sabarlah, dan maafkan!"

Hermien Y. Kleden (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus