TAK ADA DAMAI BUAT PALESTINA Dokter Swee Chai Ang, 41 tahun, pernah bekerja sebagai tenaga suka rela di sebuah rumah sakit Palestina di Jalur Gaza. Wanita asal Singapura yang berkebangsaan Inggris ini memberikan kesaksian di dalam mingguan berbahasa Jerman Der Spiegel, No. 6/1989: Betapa kejam perlakuan tentara Israel terhadap rakyat Palestina. Orang Palestina tak pernah menikmati kedamaian. Belum lagi adanya rongrongan "yahudinisasi" dengan kedatangan emigran Ethiopia dan Uni Soviet -- Yahudi Hitam dan Yahudi Putih -- sebagai yang diungkap dalam The Jerusalem Post. SETELAH melewati pemeriksaan paspor di bandara udara Ben Gurion kami disambut beberapa gadis manis dengan bunga-bunga indah. Saya mendapat sekuntum mawar dengan secarik kertas bertuliskan: "Kami berterima kasih atas kunjungan Anda dan berharap, kita bisa bertemu lagi secepatnya. Kementerian Pariwisata". Apakah saya akan disambut demikian tulus, bila mereka mengetahui maksud kedatangan saya yang sebenarnya? Semua bermula enam tahun yang lalu, di musim panas 1982. Ketika itu, saya, secara sukarela menawarkan jasa membantu korban perang di Libanon. Hingga saat itu, saya tidak tahu apa-apa tentang orang Palestina. Di kamp-kamp pengungsian Sabra dan Shatila, saya dihadapkan pada kenyataan menakjubkan. Israel, sebuah negeri yang selama ini saya kagumi dan cintai, tiba-tiba menjadi sebuah negeri monster yang tak kenal ampun. Pasien saya yang pertama, seorang anak kecil yang terkena pecahan bom. Ia meninggal, tak bisa ditolong. Toh saya mengucap syukur kepada Tuhan sebab, bila anak itu bertahan hidup, ia harus hidup tanpa mata, tanpa kedua kaki, dan tanpa paras. Setelah itu berdatangan pasien-pasien kecil lainnya. Ada yang menderita luka terbakar, patah tulang dan ada yang tubuhnya mengeluarkan nanah dari borok yang seakan tidak akan pernah sembuh. Seandainya sembuh, pasti meninggalkan bekas-bekas luka yang buruk rupa. Hingga kini masih terngiang di telinga saya kata-kata seorang wanita Palestina: "Mati itu sangat mudah. Tetapi kami harus hidup dan kukuh untuk melanjutkan perjuangan, demi generasi yang akan datang". Karena itu, sejak tahun 1982 kamp Shatila entah sudah berapa kali dibangun dan dibangun kembali dari puing-puingnya. Dan, kendati Shatila tidak pernah benar-benar sembuh dari "luka"-nya, begitu penduduknya mendengar bahwa saudara-saudara mereka di Jalur Gaza melakukan intifadah (perlawanan dengan batu) dan memerlukan seorang ahli bedah, mereka merengek agar saya bersedia ke sana. Saya tiba di Checkpoint Gaza, sore itu. Tampak jelas perbedaan antara London dan Israel. Kesan pertama saya tentang Gaza adalah mirip dengan beberapa daerah di Libanon Selatan atau beberapa bagian kota Beirut Selatan. Di mana-mana kawat berduri, panser dan militer dengan senapan mesin. Saya kembali menemui keadaan sehari-hari seperti yang biasa saya temui di Shatila. Kemiskinan dan penderitaan, larangan ke luar rumah dan pemogokan. Lalu rombongan korban peluru dan popor senapan tentara Israel. Kemiripan yang membuat saya seakan berada di rumah sendiri adalah sikap dan keteguhan orang-orang Palestina. Sikap ramah-tamah, keyakinan akan kasih sayang dan kemurahan Tuhan. Tak ada kesan kepahitan hidup. Ketenangan dan keberanian mereka dalam menghadapi kemelaratan dan intimidasi yang tak terkirakan. Kesemuanya adalah hal-hal yang saya kenal baik dari masa tugas saya di Libanon. Jalur Gaza panjangnya sekitar 40 km dengan lebar 8 km. Dalam areal sempit ini, 650.000 orang Palestina hidup berdesak-desakan. Sebagian besar mereka tinggal di dalam kamp-kamp, antara lain di Shati, Buraidz, Dair al Balah, Nussairat, Maghasi, Jabaliyah, dan Rafa. Setiap kamp dihuni sekitar 10 ribu sampai 50 ribu orang. Bahkan tidak jarang lebih dari 50.000 orang. Seperti di Libanon, "pondokan" di kamp-kamp Jalur Gaza tidak berupa tenda, tetapi rumah kotak kecil berderet bagaikan sarang lebah. Setiap rumah mempunyai dua ruang. Setiap "kotak" dihuni oleh satu kepala keluarga dengan 8 sampai 10 anggota. Di musim panas, penduduknya akan di-"serang" oleh bau kotoran manusia, nyamuk dan serangga lainnya serta berbagai jenis penyakit kulit. Di musim dingin, penderitaan mereka menjadi-jadi. Hujan dan dingin yang menyengat akan menerobos masuk ke dalam rumah-rumah mereka yang tidak dilengkapi pemanas ruang dan air hangat. Sebagian besar saluran air kotor telah rusak. Air limbahnya bermuara di sebuah lubang terbuka di tengah kamp. Jalanan di dalam dan di sekitar kamp rusak berlubang. Bila hujan, separuhnya tergenang air. Seakan derita tak pernah selesai. Mereka hidup terjajah, di bawah peraturan pemerintah asing. Di saat-saat berlakunya larangan ke luar rumah, mereka akan terkurung bertumpuk seperti ikan sarden di dalam "kotak" sempit. Sementara itu, peraturan penjajah tidak membenarkan mereka menambah atau memperindah tempat tinggal mereka. Lorong-lorong yang membelah jejeran rumah-rumah di kamp begitu sempit sehingga maksimal hanya bisa dilalui oleh dua orang dewasa yang kerempeng. Sedangkan jalan-jalan utama sengaja dibuat lebar, sehingga dapat dilalui oleh kendaraan patroli militer. Tahun lalu, militer malah membangun perumahan khusus bagi satuannya di halaman tengah kamp-kamp besar orang Palestina, hingga sewaktu-waktu mereka dapat menyergap setiap "pengacau" yang tinggal di dalam kamp. Selama saya tinggal di Gaza, banyak rumah penduduk diobrak-abrik oleh militer dengan paksa. Mereka kemudian menyeret dan memukul penghuninya. Sering hal ini dilakukan tanpa alasan yang jelas. Beberapa hari yang lalu delapan penduduk terpaksa dilarikan ke rumah sakit kami karena digebuk hingga memar di dalam rumahnya. Di antaranya terdapat anak-anak berusia enam, sembilan, sepuluh, dan dua belas tahun. Kasur-kasur penduduk di-"bedah" dengan pisau, mebel dihancurkan, bahkan tabung berisikan gas air mata dilempar ke dalam rumah-rumah penduduk yang sempit dan sesak. Hari Jumat adalah saat para wanita diizinkan menjenguk suami atau saudara lelaki mereka yang dipenjarakan. Suatu ketika saya melihat mereka berdiri bergerombol hendak mengunjungi penjara Anshar 2 yang terletak di tepi pantai. Jumlahnya sekitar seratus orang. Di Jalur Gaza yang padat itu masih ada satu penjara lagi yang bernama "Penjara-Pusat Gaza". Setiap sel penjara ini mengurung 25 tahanan sehingga mereka sering terpaksa tidur tindih-menindih. Mungkin para tahanan di kedua penjara itu masih lebih baik nasibnya ketimbang mereka yang ditahan di Anshar 3. Penjara ini terletak di tengah padang pasir Negev. Setiap orang di Jalur Gaza tahu betapa tidak manusiawinya kondisi penjara ini. Bahkan sama sekali tertutup untuk penjenguk. Setiap keluarga di Jalur Gaza, dari waktu ke waktu, mempunyai sekurangnya seorang anggota yang ditahan di sana. Tangan-tangan penjajah menjamah ke mana-mana. Bahkan juga terasa hingga di kamar bedah rumah sakit kota Gaza. Kebanyakan pasien saya adalah korban peluru atau pemukulan tentara. "BBA" alias Beaten by Army yang paling sering muncul. Menyusul pasien yang cedera peluru. Anggota keluarga yang trenyuh membawa mereka ke ICU -- bagian gawat darurat. Para korban umumnya anak-anak berumur lima hingga tujuh tahun dan para pemuda yang berumur belasan. Penyiksaan sering menyebabkan cedera berat pada urat dan otot. Pendarahan otak, tulang patah dan remuk di sekujur tubuh. Di atas meja kerja saya membukit hasil ronsen yang memperlihatkan cedera-cedera tersebut. Sesekali, mungkin sebagai variasi permainan, tentara Israel menembak ke udara. Tidak langsung kepada sasaran. Dalam suasana panik dan takut, anak-anak dan sebagian pemuda Palestina memanjat tembok tinggi untuk menghindarkan diri dari senapan militer. Militer lalu menembak dan memaksa anak-anak itu meloncat turun. Akibatnya, banyak yang patah tulang. Registrasi di rumah sakit akan berbunyi: "Patah tulang karena berusaha melarikan diri". Ada juga pasien yang cedera berat akibat terbakar. Ia dipaksa oleh tentara Israel mengambil bendera Palestina dari kawat-kawat beraliran listrik. Sebagian karena dipaksa membersihkan ban-ban mobil yang terbakar. Cedera karena peluru pun bervariasi. Peluru yang paling sering digunakan oleh militer adalah peluru plastik. Peluru ini meninggalkan cedera yang paling ringan. Tidak sampai mematikan, kecuali bila peluru itu ditembakkan dari jarak dekat dan mengenai mata maupun urat-urat nadi terpenting. Bagian bawah perut kalau sampai kena bisa menyebabkan pendarahan-dalam yang berat. Selain itu, ada cedera akibat peluru karet keras. Setahu saya, paling sedikit ada tiga macam peluru jenis ini. Yang pertama adalah peluru karet konvensional yang umum digunakan oleh polisi antihuru-hara di mana-mana. Tetapi peluru jenis ini jarang digunakan oleh tentara Israel. Mereka lebih senang memakai jenis yang sudah dimodifikasi: sepotong logam berat yang dibungkus karet. Akibatnya, korban akan lebih menderita sakit dengan cedera otot yang lebih parah. Peluru jenis ketiga terbuat dari bola logam setebal 1 cm yang dibungkus karet setipis kulit. Peluru ini -- sebuah "sopan santun" bila ia dinamakan peluru karet -- berakibat fatal. Ia menyebabkan batok kepala berantakan, gegar otak, remuknya tulang tangan dan kaki, serta cedera otot yang sangat parah. Cedera peluru itu pertama kali saya hadapi pada 2 Januari lalu. Pada hari itu seorang anak dimasukkan ke bagian ICU. Gambar ronsen memperlihatkan logam sebesar gundu bersarang di bawah matanya. Pasien kecil itu kemudian kehilangan satu matanya. Korban berikutnya muncul. Seorang gadis kecil yang batok kepalanya tertembus peluru. Cairan otak sudah mulai mengalir keluar dari lubang di kepalanya. Ibu gadis itu juga tertembak peluru yang sama sehingga sikutnya remuk. Bila ada perintah "tindak tegas", tentara Israel tentunya menggunakan peluru 9 mm yang dibungkus oleh lapisan baja dengan peralatan berdaya dorong tinggi yang mematikan. Sama seperti yang pernah saya amati di Libanon. Dalam hari-hari yang baik rumah sakit kami "hanya" menangani 10 korban. Sedangkan di hari-hari buruk, kamar-kamar rumah penuh dengan cepat, sehingga perawat kepala harus menambah kasur ekstra yang digelarkan di lantai. Hari yang terburuk terjadi sebelum kedatangan saya. Pada waktu itu militer menyerbu sebuah sekolah. Sekitar 60 korban yang cedera berat dikirim sekaligus ke rumah sakit. Mengobati luka-luka dan tulang yang patah serta remuk hanyalah satu sisi kesulitan kegiatan di rumah sakit. Kesulitan yang lebih besar yang harus kami tangani adalah "penanganan" pasien yang juga terancam penangkapan. Saya telah banyak memeriksa dan mengobati pasien yang baru saja dilepas dari tahanan. Selama di penjara, mereka disiksa secara brutal. Kisah penganiayaan mereka melampaui batas-batas daya tahan. Suatu malam saya membedah seorang pemuda yang tulang punggungnya hancur ditembus oleh peluru 9 mm. Baru saja operasi berakhir, muncul beberapa orang tentara ke ruang operasi dengan maksud menginterogasi pasien itu. Untung, ada sahabat, sorang ahli anestesi berkebangsaan Norwegia, yang berhasil mengusir mereka. Tapi beberapa jam kemudian, mereka muncul kembali dengan maksud yang sama. Saya bersikeras menolak. Tetapi, untuk ketiga kalinya mereka muncul di waktu subuh. Kali ini dalam jumlah yang lebih besar (10 orang) mereka masuk dengan paksa dan menginterogasi pasien saya. Dalam situasi demikian, saya dibuat tidak berdaya. Tak seorang pun mampu menghalang-halangi 10 tentara bersenjata. Mereka masih datang untuk keempat kalinya dengan maksud menahan pemuda seorang Palestina yang menjadi pasien saya. Untung, ia telah lebih dahulu dibawa pergi dan diamankan oleh anggota keluarganya sebelum rombongan tentara Israel itu tiba. Kengerian yang terbayang dari wajah pasien tak bisa saya lupakan. Mereka baru saja lepas dari ancaman maut langsung mau dijebloskan kembali ke dalam tahanan. Sampai hari ini tidak jelas bagi saya kesalahan mereka, dan kenapa korban tidak diberi kesempatan untuk dirawat seperlunya. Tidak bisakah militer yang begitu berkuasa menunggu satu atau dua hari hingga kesehatan pasien agak membaik sebelum menahannya? Pasien ini hanyalah satu dari banyak pasien yang mendapat perlakuan serupa. Dalam situasi demikian terdapat dua korban: pasien itu sendiri tentunya dan para dokter. Saya merasa seakan para militer itu memaksa saya melangkahi etika kedokteran. Mereka tidak saja menolak hak pasien atas perawatan medis tetapi juga menolak hak saya untuk merawat pasien dengan layak. Adalah ironis bahwa penduduk Gaza yang melarat dan ditindas itu harus membayar pajak yang membiayai kelangsungan pemerintah penjajah. Penduduk Gaza, dengan pajaknya itu, menanggung gaji militer yang menembak dan memukul mereka. Mereka juga membiayai penjara-penjara yang merampas kemerdekaan mereka. Pendeknya, menanggung belanja semua aparat militer yang bertugas menindas dan meremukredamkan mereka. Tidak heran bila intifadah masih terus berlangsung meskipun telah memakan korban sekitar 400 orang Palestina. Suatu hari saya membedah seorang gadis cantik korban penembakan. Saya lalu ngomong buat diri sendiri dengan suara agak keras: "Luka ini akan meninggalkan bekas yang buruk. Mudah-mudahan suaminya kelak tetap mencintainya, bila ia melihat bekas luka ini". Perawat, orang Palestina, yang menjadi asisten saya, memandang heran: "Kenapa Anda berkata begitu? Suaminya justru akan sangat bangga karena ia cedera untuk Palestina!" Seorang anak lelaki berumur 13 tahun didrop dari penjara. Militer telah mematahkan tulang sikutnya. Setelah ia diizinkan meninggalkan rumah sakit, saya dengar kabar bahwa ayahnya diancam akan diciduk militer bala ia melarikan diri. Pasien itu pulang dan dengan tabah menunggu penangkapannya kembali. Setelah mengamati keberanian orang-orang Palestina, saya yakin penjarahan tanah air mereka tidak lama lagi akan berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini