Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gairah Berkebun Masyarakat Urban

Gerakan berkebun di lahan sempit, perumahan, atau tanah kosong perkotaan sudah lama ada. Namun pandemi virus corona memicu gerakan ini bergerak lebih masif, merangkul semua golongan dengan berbagai latar belakang. Solidaritas dan inisiatif masyarakat dalam menjaga ketahanan pangan.

6 Juni 2020 | 00.00 WIB

Anggota komunitas Bogor Rise Againts Coronavirus melakukan pemindahan bibit cabai. Dok. Borac
Perbesar
Anggota komunitas Bogor Rise Againts Coronavirus melakukan pemindahan bibit cabai. Dok. Borac

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ester Indahyani Jusuf tak menyangka niatnya membagi-bagikan bibit tanaman singkong jenis mentega akan disambut dengan antusiasme begitu tinggi. Dari sekadar ide kecil-kecilan untuk menanami lahan di perumahannya yang menganggur, Ester kemudian justru "dicari" ribuan orang dari berbagai daerah. Sejak April lalu sampai sekarang, perempuan peraih Penghargaan Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hien 2002 ini sudah mengirim lebih dari 130 ribu batang bibit singkong ke sekitar Jabodetabek dan sejumlah kota di Pulau Jawa. "Semuanya saya kasih gratis," kata Ester kepada Tempo, Kamis lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Semuanya dimulai ketika Ester galau menghadapi situasi di masa awal pandemi penyakit Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Ia khawatir, jika kondisi ini terjadi berkepanjangan, perekonomian akan semakin terpukul. Dia juga mempelajari data soal perubahan iklim yang memprediksi akan terjadi kekeringan panjang tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Beberapa lembaga dunia memang memprediksi ancaman krisis pangan. Organisasi pangan PBB, FAO, dalam laporannya pada April lalu, misalnya, memperingatkan semua anggota PBB ihwal meningkatnya risiko krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Menurut FAO, pandemi virus corona dapat menimbulkan kelangkaan dan kenaikan harga pangan. Akibatnya, jumlah orang yang tidak punya akses untuk mendapatkan bahan pangan meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 265 juta orang di seluruh dunia.

Dengan kondisi itu, Ester khawatir, jika krisis pangan terjadi, jumlah orang kelaparan semakin banyak. "Kita perlu berbuat sesuatu, tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah." Perempuan berusia 49 tahun itu lalu menghimpun beberapa sahabatnya untuk membuat gerakan tanam pangan. Ia mengusulkan ide membagi-bagikan bibit singkong mentega kepada siapa saja yang berminat.

Singkong dipilih sebagai pengganti beras karena sama-sama mengandung karbohidrat dan mengenyangkan. Singkong juga dianggap lebih mudah ditanam ketimbang tanaman lain. "Tinggal tancap di mana saja juga tumbuh," Ester berseloroh. Bibit-bibit itu dibagikan sekarang dengan asumsi, jika bisa ditanam oleh banyak orang, singkong-singkong itu bisa dipanen pada akhir 2020 atau awal 2021. "Lumayan untuk dijadikan stok bahan pangan kalau nanti benar ada krisis pangan."

Ia lalu membuat pesan berantai yang mulanya disebarkan kepada teman-temannya sendiri. Tapi tanpa disangka, pesan itu viral dan sampai ke mana-mana. Bahkan isi pesan itu terdistorsi, ada yang mengubah isi pesan dari bagi-bagi bibit singkong menjadi bagi-bagi bibit aneka tanaman. "Jadi, banyak yang minta benih sayuran dan cabai ke saya, padahal saya cuma sedia singkong," ujarnya.

Karena peminatnya membeludak, 55 ribu bibit singkong yang ia dapatkan dari sumbangan beberapa orang dan petani di Sukabumi dan Bogor ludes dalam tiga hari. Memenuhi permintaan yang masih banyak, Ester dan kawan-kawannya patungan membeli bibit dari pengepul di daerah Pati, Jawa Tengah, sebanyak satu truk atau sekitar 69 ribu batang. Biaya yang dihabiskan mencapai Rp 12 juta.

Ester mengundang siapa saja untuk mengambil langsung bibit-bibit itu ke rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan. Akibatnya, puluhan orang berdatangan untuk mengangkut calon tanaman singkong itu dengan kendaraan masing-masing. Yang unik, sebagian menggunakan mobil pribadi untuk mengangkut batangan pohon, dari yang dimasukkan ke bagasi hingga diikat di atap.

Untuk pengiriman di tempat yang jauh, ia memanfaatkan jasa ojek online. "Saya tidak pilih-pilih, siapa saja boleh ambil, tapi singkong ini wajib ditanam dan jika sudah panen harus dibagikan ke tetangga, jangan dimakan sendiri," tutur dia.

Cerita unik datang dari orang-orang yang baru belajar menanam singkong. Meski mudah, banyak yang keliru menanam: dibenamkan secara terbalik atau tidak dipotong lebih dulu. Akibatnya, yang tumbuh hanya daunnya. Ester pun dengan sabar membimbing mereka agar menanam dengan benar. Belakangan, untuk memenuhi tingginya permintaan, Ester mendatangkan bibit singkong putih dengan harga lebih murah dari Sukabumi, Jawa Barat.

Gerakan tanam pangan pun mengilhami orang lain untuk melakukan hal serupa. Di Semarang, sebuah perusahaan pembuat minuman, Marimas Putera Kencana, meniru gerakan Ester dengan membagikan 60 ribu bibit singkong kepada tokoh masyarakat dan warga. Menurut Ester, sumbangan Marimas ini banyak menyasar pengurus pesantren, rumah ibadah, dan pemimpin komunitas dengan tujuan menciptakan lumbung pangan di komunitas masing-masing. "Kalau ditotal, gerakan tanam pangan yang dijalankan banyak pihak ini sudah berhasil menyebar sekitar 500 ribu batang singkong ke seluruh Indonesia."

Kegiatan membagi-bagikan bibit tanaman untuk ditanam orang lain juga dilakukan Anis Hidayah, pendiri lembaga peduli buruh migran Migrant Care. Mulanya, ia mempraktikkan perkebunan urban (urban farming) organik di pekarangan rumahnya di kompleks Studio Alam Indah, Depok, Jawa Barat. Meski lahannya tak luas, Anis yang mulai berkebun pada 2006 ini punya 16 jenis buah lokal dan puluhan jenis sayur, rempah-rempah, serta bunga-bungaan. "Baru dua tahun terakhir ini intensif menanam sayur, dan mulai tahun lalu sudah bisa panen hampir setiap hari," ujarnya.

Anis memulai berkebun secara organik setelah sejumlah tetangga di perumahannya meninggal dalam waktu berdekatan akibat kanker. Melalui berbagai literatur, ia menduga salah satu penyebab kanker adalah kandungan pestisida pada buah dan sayur yang dikonsumsi. Anis dan suaminya, yang merupakan pengurus RT, berinisiatif membuat kebun organik di rumahnya dan lahan-lahan fasilitas umum di kompleks mereka. "Sekalian mengajak warga untuk ikut berkebun." Awalnya warga lain tak mau mengikuti karena merasa tak punya waktu dan tidak berbakat mengurus tanaman. Tapi, dengan telaten dan memberi contoh, sekarang sudah ada 60 keluarga yang mengikuti jejak Anis.

Sejak 2019, warga di komplek Anis pun sudah tak perlu lagi pergi ke pasar atau berbelanja ke tukang sayur. Mereka kompak saling melengkapi dan membantu memenuhi kebutuhan makanan harian. Setidaknya, Anis bercerita, setiap hari ia dan para warga bisa memanen kangkung, paprika, pakcoy, sawi, cabai, dan wortel. Untuk perawatan tanaman dan kebun pun, warga beramai-ramai membuat pupuk kompos. Dengan demikian, kompleks perumahan Anis sangat sedikit menyumbang sampah ke TPA. Karena hasil kebunnya berlimpah, Anis juga kerap membagi-bagikan hasil panen kepada teman-temannya. "Semenjak pandemi, bagi-bagi ini jadi lebih sering," tutur Anis.

Belakangan, Anis mulai melakukan pembenihan di rumahnya. Aneka benih itu ia berikan kepada siapa saja yang meminta. Anis biasanya mengumumkan stok benihnya di media sosialnya atau akun Instagram khusus kebunnya, @kebun-oriswa. "Karena saya punya maksud terselubung: membangun gerakan berkebun secara luas." Jika ditotal, sepanjang masa bekerja dari rumah tiga bulan terakhir ini, Anis sudah membagikan 400 paket benih secara gratis, yang terdiri atas aneka macam tanaman. Sama seperti Ester, pengumuman bagi-bagi benih oleh Anis pun jadi berantai dan sampai ke mana-mana. "Sampai kewalahan memenuhi permintaan. Tapi saya senang, banyak orang punya kesadaran baru, yakni menyayangi tubuh dengan mengkonsumsi makanan sehat dan organik," ujarnya.

Apa yang dilakukan Anis persis seperti aktivitas musikus sekaligus peneliti Rara Sekar Larasati dan suaminya, Ben Laksana. Di kediaman mereka di Bogor, Rara dan Ben juga memanfaatkan lahan pekarangan dan sepetak tanah kosong di depan rumah mereka untuk dijadikan "hutan makanan". Meski hanya berukuran 4 x 4 meter, di sana ia menanam berbagai jenis sayur, seperti okra, kale, bayam hijau dan bayam merah, serta kemangi. Sejumlah rempah, seperti jahe, ginseng, kunyit, dan kecipir, sampai aneka buah, seperti jambu, lemon, dan jeruk nipis, serta cabai juga dicoba ditanam di "hutan mini" itu. Karena memanfaatkan lahan fasilitas umum di depan rumahnya, Rara membebaskan para tetangganya mengambil hasil panen dari kebun tersebut.

Rara berhasil menularkan semangat berkebun itu kepada tetangga di sekitar rumahnya. Kini, ia mengatakan, komunitas warga di kompleks perumahannya juga sudah kompak membuat sistem kompos untuk dimanfaatkan sebagai pupuk di kebun masing-masing. Lalu, hasil panen masing-masing dibagikan atau dibarter dengan hasil kebun tetangga mereka yang lain. "Akhirnya jadi bisa akrab dan saling mengenal dengan tetangga," kata Rara dalam diskusi daring yang digelar Auriga, Rabu lalu.

Interaksi sosial itu pun akhirnya membangun kepercayaan di antara sesama warga. "Ini penting karena biasanya masyarakat perkotaan kan tidak saling mengenal dengan tetangganya, sehingga bisa saling peduli." Hubungan antarwarga yang erat itu, menurut Rara, akhirnya menciptakan ketahanan di tengah kondisi pandemi.

Masih dari Bogor, inisiatif gerakan menanam dan mengajak warga berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari diinisiasi sejumlah anak muda yang mendirikan Bogor Rise Against Corona (Borac). Gerakan sosial ini dibentuk sebagai respons terhadap menurunnya pendapatan masyarakat akibat pandemi corona. Mulanya para anak muda yang berasal dari berbagai komunitas di Kota Hujan itu sekadar mengumpulkan donasi untuk membelikan kebutuhan pokok yang dibagikan kepada masyarakat. Namun belakangan gerakan ini meluas dan mengkampanyekan gerakan berkebun di lahan perkotaan. "Karena kami ingin ini jadi gerakan berkelanjutan," kata Richard Nando, Ketua Borac.

Anak-anak muda yang bergabung di Borac punya beragam latar belakang: komunitas papan luncur, komunitas sepeda BMX, komunitas fotografi dan desain grafis, pencinta alam, dan media komunitas. Sejak dibentuk pada akhir Mei lalu, Borac menjalankan sejumlah program, seperti donasi paket bahan pokok, makanan untuk berbuka puasa, paket Lebaran, dan program menanam kembali. Lewat program menanam kembali, Borac melakukan pembenihan beberapa jenis sayur dan cabai untuk kemudian dibagikan kepada warga.

Mereka memanfaatkan lahan milik salah satu anggota yang terletak di belakang kampus Universitas Pakuan Bogor untuk kebun percontohan dan lokasi pembenihan. Para anggota Borac merancang kebun dan lokasi pembenihan dengan desain menarik. Di bagian tengah, mereka membentuk pot tanaman sehingga menyerupai lambang "peace". Menurut Richard, hal ini disengaja agar menarik minat masyarakat terutama anak muda ikut berkebun. "Kita kasih contoh bahwa berkebun itu tidak harus monoton," ujarnya.

Richard menjelaskan, lewat program ini nantinya warga akan mendapat benih cabai dan pendampingan perkebunan secara organik. "Jadi, diajari cara menanam, merawat, dan membuat pupuknya." Hasil panennya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di komunitas, atau dijual. Mereka juga sudah bekerja sama dengan industri saus sambal, industri itu mau menerima hasil panen warga. Dengan begitu, kata Richard, warga yang kehilangan pemasukan akibat pandemi bisa kembali bangkit dan berdaya.

Pekan depan, Borac akan mulai membagikan benih cabai ke warga di 12 kecamatan di Kota dan Kabupaten Bogor. Dari setiap komunitas warga, dipilih local heroes yang diharapkan bisa memberi contoh dan mengajak warga lain untuk terlibat dalam gerakan menanam kembali. Semuanya, kata dia, dijalankan oleh para anggota sambil belajar bersama. Sebab, di antara mayoritas anggota komunitas tidak ada yang berlatar belakang petani ataupun sarjana pertanian. "Ini kerja kolaborasi." PRAGA UTAMA


Gairah Berkebun Masyarakat Urban

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus