Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU trompet kuning ditiup salah seorang steward dari menara pengawas pertandingan, kuda-kuda pacu dari boks start dilepas dan melesat kencang di lintasan. Sorak-sorai penonton yang memenuhi tribun dan pinggir lintasan riuh menyemangati kuda-kuda jagoannya yang sedang berpacu dalam pertandingan Kejuaraan Pacuan Kuda Lebaran Cup 2019 di arena pacuan Kubu Gadang, Payakumbuh, Sumatera Barat, Ahad, 16 Juni lalu.
Kejuaraan balap kuda tahunan yang digelar dua hari, 16-17 Juni lalu, itu diikuti 50 kuda pacu besar dari beberapa daerah di Sumatera Barat dan Riau. Di gelanggang pacuan, aneka warna bendera tiap daerah yang wakilnya ikut bertanding terlihat berkibar-kibar. Merah warna bendera Agam, kuning Batusangkar, hijau Padang Panjang, kuning-hijau Pariaman, biru Payakumbuh-Lima Puluh Kota, putih-kuning-biru Sawahlunto, kuning-biru Padang, dan kuning-merah Solok.
Menurut ketua pelaksana lomba balap kuda Datuk Paduko Boso Nan Kuniang, jumlah peserta kali ini tidak sebanyak kontestan kejuaraan sebelumnya yang digelar di tempat yang sama pada Februari lalu. Penyebabnya, sekitar 20 kuda pacu dari Sumatera Barat sedang mengikuti kejuaraan nasional di Salatiga, Jawa Tengah. “Yang bertanding sekarang kuda-kuda pacu yang sebagian besar belum pernah ikut kejurnas,” kata Datuk Paduko Boso.
Meski begitu, hal itu tak mengurangi kemeriahan adu lari kuda tersebut. Makin siang, warga yang datang makin banyak, dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Selain memenuhi tribun, banyak dari mereka yang berkerumun di pinggir lintasan balap. Para penonton itu berasal dari Payakumbuh dan daerah sekitarnya, seperti Bukittinggi, Padang Panjang, dan Batusangkar, juga perantau. Pemirsa lelaki tampak mengenakan topi koboi yang banyak dijual di pinggir lintasan.
Gairah Pacuan Kuda Minang/Tempo/Febriyanti
Antusiasme penonton kentara karena masyarakat di Ranah Minang memang sudah lama akrab dengan pacuan kuda. Di antara para spektator itu juga ada beberapa yang menjadikan pertandingan tersebut sebagai ajang taruhan. Setiap kali kuda berpacu, sejumlah pejudi gelap yang memegang buku panduan balap kuda itu berteriak gembira, dan ada yang merasa frustrasi ketika kuda sampai di garis finis.
Kejuaraan Pacuan Kuda Lebaran Cup itu diawali dengan balap kuda bogi, balap kuda tradisional di Sumatera Barat. Kuda bogi adalah kuda yang membawa bendi atau dokar kecil dengan hanya satu penumpang. Setelah itu, pertandingan dilanjutkan dengan balap kuda kelas pemula hingga kelas derby—kelas pacuan kuda paling bergengsi.
Menurut Aldias Sastra, Wakil Ketua Komisi Pacuan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi), ada kalender tahunan dari Pordasi untuk balap kuda di Ranah Minang. Setahun sekali di enam daerah di Sumatera Barat digelar kejuaraan pacuan kuda. “Khusus di Bukittinggi dan Payakumbuh dua kali setahun,” ujarnya.
Walau pacuan kuda di Sumatera Barat sudah berkiblat ke standar balap kuda nasional, Aldias mengungkapkan, lomba tradisional tetap dihidupkan oleh Pordasi. “Seperti pacu kuda bogi, yang memakai bendi, dan pacu kuda bebas, itu masih kami adakan,” tuturnya. “Hal ini untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang punya kuda biasa. Kalau untuk kuda pacu, tentu mereka sangat berat memeliharanya karena makanannya saja impor.”
Aldias menyebutkan pacuan kuda di Sumatera Barat juga mempunyai multiefek, di antaranya pada peternakan kuda masyarakat, kehidupan perawat kuda dan joki, juga pariwisata. “Di Sumatera Barat, pacuan kuda sejak dulu menjadi tradisi. Seperti di Batusangkar, setiap kali ada pacuan kuda, selalu ada pasar malam selama seminggu, juga pertandingan sepak bola. Orang-orang datang ke gelanggang pacuan untuk bertemu, muda-mudi juga datang untuk mencari jodoh,” ucapnya.
Gairah Pacuan Kuda Minang/Tempo/Febriyanti
SAAT ini terdapat puluhan kuda pacu di Sumatera Barat. Kuda-kuda balap yang ikut dalam kejuaraan di Payakumbuh kali ini merupakan hasil kawin silang dengan kuda impor dari Australia. Perawakannya besar dan kekar. Menurut Datuk Paduko Boso Nan Kuniang, pemiliknya adalah orang kaya yang punya hobi berkuda. “Mereka mengeluarkan biaya cukup besar untuk merawat kuda-kuda pacu itu,” ujarnya.
Keistimewaan kuda balap itu juga terlihat dari kandang-kandangnya yang berada di sekitar gelanggang pertandingan. Kandangnya bersih. Ada yang menggunakan kipas angin, bahkan ada yang dilengkapi penyejuk udara. Makanan kuda pun lebih banyak berasal dari luar negeri.
Erizal Chaniago, salah satu pemilik kuda dari Payakumbuh yang mengikuti pacuan di kelas derby, menyebutkan biaya perawatan seekor kuda pacu dalam sebulan berkisar Rp 8-10 juta. Biaya sebesar itu digunakan untuk makanan serta gaji perawat, joki, dan pelatih. “Kandangnya harus bagus, makanannya juga 90 persen impor, hanya rumput yang tidak. Malah kalau di Jakarta rumput pun diimpor,” kata Erizal, yang juga calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pemilihan Umum 2019 dari Partai Gerindra dan memiliki beberapa kuda balap di Payakumbuh, Manado, serta Jawa.
Menurut dia, makanan kuda pacu itu diimpor karena proteinnya sudah ditakar. “Untuk pacuan itu kan butuh energi banyak, makannya 28-30 megakalori per hari. Satu mega sama dengan 1.000 kalori per hari,” tutur Erizal, yang memiliki hobi berkuda sejak kecil karena orang tuanya juga menggemari kuda. Dengan perlakuan seperti itu, kuda jantan Salido Juo miliknya menjadi pemenang dalam pertandingan derby di gelanggang Kubu Gadang pada 16 Juni lalu.
Tradisi pacuan kuda di Ranah Minang boleh dibilang berlangsung sejak ratusan tahun silam. Lomba balap kuda di Sumatera Barat diperkirakan marak sejak era kolonial Belanda, walaupun sebelumnya kuda sudah ada di daerah ini. Thomas Dias adalah orang Barat pertama yang berhasil melakukan perjalanan ke pedalaman Sumatera Barat dan menemui Sultan Pagaruyung pada pertengahan 1684. Ia pegawai Vereenigde Oostindische Compagnie yang diutus Gubernur Jenderal Malaka Cornelis van Quaelbergen.
Dalam catatannya, “Naar Midden Sumatra in 1684”, Dias menulis bahwa Sultan Pagaruyung merasa berkewajiban menjadi teman baik Yang Mulia Gubernur Jenderal Malaka. “Untuk membuktikan betapa beliau menjunjung tinggi persahabatan itu, beliau menyerahkan satu dari dua kuda milik negara kepada Yang Mulia Gubernur sebagai ungkapan persahabatan,” ucap Dias dalam catatannya.
Adapun William Marsden dalam bukunya yang terkenal, The History of Sumatra (1784), menulis tentang kebiasaan Sultan Minangkabau memberikan hadiah sepasang kuda putih kepada utusan raja atau penguasa. Tapi pacuan kuda di Sumatera Barat boleh dibilang dikenalkan oleh Belanda.
Gairah Pacuan Kuda Minang/Tempo/Febriyanti
Menurut Suryadi, pengajar di Faculteit der Geesteswetenschappen Leiden Institute for Area Studies SAS Indonesië pada Universiteit Leiden, Belanda, akar pacuan kuda saat ini paling tidak sudah ada di Sumatera Barat pada dekade terakhir abad ke-19 atau awal sekali abad ke-20. Orang yang berjasa memperkenalkan sport yang dianggap agak elitis ini adalah Louis Constant Westenenk, Asisten Residen Oud Agam (Agam Tua).
Westenenk jugalah yang membawa tradisi pasar malam tahunan ke Fort de Kock, Bukittinggi, yang kemudian menular ke kota-kota lain, seperti Padang, Solok, dan Batusangkar, dalam bentuk pasar keramaian (fancy fair). “Westenenk pula yang memperkenalkan tradisi penyelenggaraan pacuan kuda yang dikelola secara profesional,” kata Suryadi.
Menurut Suryadi, jelas ada peran Belanda (Westenenk) dalam pembangunan lapangan-lapangan pacuan kuda di sana, walau mungkin tanahnya disediakan masyarakat. “Kalau saya tidak salah, pacuan kuda yang tertua adalah yang ada di Fort de Kock,” ujarnya. “Tradisi pacuan kuda ini pada masa itu hanya ada di Fort de Kock, Padang Panjang, Payakumbuh, dan Fort van der Capellen (Batusangkar), tidak pernah dilakukan di wilayah Padang.”
Suryadi menjelaskan, lomba balap kuda disukai karena dianggap sebagai jenis olahraga yang bergengsi. Di arena pacuan kudalah orang-orang besar, elite-elite lokal, baik Belanda maupun pribumi, seperti tuanku laras, demang, dan jaksa landraad, bertemu. Hal ini tentu tidak lepas dari citra kuda yang asosiatif dengan kegagahan.
Akibat pengembangan tradisi pacuan kuda ini, tutur Suryadi, banyak elite lokal yang kemudian memiliki kuda pacuan dan bogi, semacam hobi baru yang dianggap bergengsi. Ada juga yang punya bendi yang sangat bagus. Kuda, bogi, dan bendi (yang biasanya diberi aksesori berwarna-warni, dominan merah) menjadi lambang gengsi dan status sosial para elite tradisional serta intelektual pribumi.
Hal ini masih bisa dilihat di Minangkabau sampai 1970-an. Para datuk atau penghulu kala itu memiliki bogi atau bendi. Ibaratnya, tuanku demang, tuanku laras, dan lainnya, “Yang memiliki kuda dan bendi-bogi pada masa itu samalah dengan yang memiliki mobil Alphard sekarang. Kuda, bogi, dan bendi itu dirawat bujang-bujang yang dimiliki elite-elite- lokal tersebut. Karena itu, pacuan kuda ada dua macam, yaitu pacuan kuda yang ditunggangi joki dan lomba bendi-bogi,” tutur Suryadi.
Pada masa lalu, menurut Suryadi, di arena pacuan kuda terlihat sekali perbedaan status sosial antara rakyat dan elite tradisional serta Eropa. Para elite duduk di bangku stadion yang sudah disediakan, sementara orang biasa kebanyakan berdiri saja di sisi lintasan pacuan. Arena itu sekaligus menjadi ajang interaksi sosial, bahkan tempat bertemu bagi pasangan muda yang sedang kasmaran.- Hal ini seperti terefleksikan dalam banyak roman berlatar Minangkabau yang terbit pada 1920-1930-an, misalnya Melati van Agam karya Swan Pen dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck ciptaan Buya Hamka.
Awalnya, orang-orang Belanda mungkin mengadakan lomba balap kuda itu untuk menyalurkan hobi sekaligus memperlihatkan gengsi dan status sosial mereka. Namun lama-lama kegiatan tersebut menjadi sarana hiburan bagi masyarakat.
Dalam perkembangannya, pacuan kuda juga dikaitkan dengan politik. “Saya pernah membaca, rapat-rapat dilakukan orang komunis selepas pacuan kuda karena mudah menarik minat orang banyak yang kebetulan sudah berkumpul di lapangan pacuan,” ujar Suryadi.
Gairah Pacuan Kuda Minang/Tempo/Febriyanti
GELANGGANG Kubu Gadang di Payakumbuh telah hampir seratus tahun rutin menyelenggarakan pacuan kuda. Arena ini dibangun pada zaman kolonial Belanda setelah dua nagari, yaitu Nagari Kubu Gadang dan Nagari Tiakar, menyerahkan tanah mereka untuk dibangun gelanggang. Seperti di wilayah tempat lomba balap kuda lain di Sumatera Barat, nagari yang berada di dekat gelanggang pacuan kuda tumbuh menjadi kawasan peternak kuda pacu.
Sejak dulu Payakumbuh dikenal sebagai salah satu tempat penghasil bibit kuda terbaik di Indonesia. Di sana peternakan kuda pacu ada sejak zaman Belanda. Kini ratusan keluarga punya peternakan kuda skala kecil untuk menghasilkan bibit kuda balap. Ada pula warga yang bekerja menjadi perawat kuda pacu. Pada tahun ini, terdapat 15 kuda pacu dari Payakumbuh yang terjual keluar Sumatera Barat.
Peternak kuda dan pemilik kuda pacu di Payakumbuh, Dion Fernandes, 32 tahun, menerangkan, keunggulan kuda pacu dari Payakumbuh adalah bibitnya pada zaman Belanda berasal dari Australia, Selandia Baru, dan Pakistan. Kuda-kuda itu kemudian dinamakan kuda jenis sandel Arab. Untuk menciptakan kuda pacu, kuda sandel Arab betina dari Sumatera Barat dikawinkan dengan kuda jantan impor trobert, seperti dari Australia. Hasilnya adalah kuda jenis G1 (generasi pertama).
Dion menambahkan, kuda betina G1 yang dikawinkan dengan kuda jantan dari Australia menghasilkan G2, dan seterusnya. Hingga saat ini, Dion mempunyai kuda pacu dari G1 hingga G6. “Kalau kuda G1 dikawinkan dengan G1, akan kembali ke jenis kuda sandel Arab, dan sifat-sifatnya pun kembali ke semula, jadi harus tetap dikawinkan dengan kuda jantan dari Australia,” katanya.
Gairah Pacuan Kuda Minang/Tempo/Febriyanti
Dion beternak kuda pacu dengan mengawinkan kuda betina di peternakannya dengan kuda jantan Australia di Biaro, Bukittinggi. Biayanya Rp 3,5-7 juta sekali kawin, yang kadang bisa diulang hingga kuda bunting. Hasil persilangan itu kemudian dia jual.
Kuda jantan berusia 6-10 bulan dijual Rp 50-60 juta, sementara bibit kuda pacu betina bisa laku Rp 100-150 juta. Setiap bulan ia rata-rata menjual empat anak kuda pacu. “Itu kuda pacu yang masih kosong, belum dilatih. Kalau yang sudah juara, bisa sampai Rp 250 juta per ekor,” ujar Dion. “Kuda betina lebih mahal karena setelah dijadikan kuda pacu masih bisa menjadi kuda induk. Sedangkan kuda jantan hanya bisa menjadi kuda pacu.”
Dion menyebutkan mahalnya harga kuda pacu disebabkan oleh biaya perawatan dan kawin yang cukup tinggi. Kuda yang ia jual punya surat lengkap dan bersertifikat. Silsilahnya pun jelas. Untuk pakan, tutur Dion, bisa juga digunakan makanan lokal. Kuda balap milik Dion lebih banyak diberi makanan lokal seperti padi ketimbang oat, juga jagung, gabah, tepung tulang, rumput, dan kacang hijau. “Hasilnya juga bisa menjadi kuda bagus, juara, dan biaya untuk perawatan kuda pacu bisa ditekan menjadi Rp 6,5 juta per bulan untuk satu kuda,” katanya.
FEBRIANTI (PAYAKUMBUH)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo