Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kamila, Yang Tampak dan Tak Tampak

Film Sekala Niskala diangkat ke panggung teater oleh sutradara Kamila Andini. Duka seorang anak yang meratapi kehilangan saudara kembar dan kembali menemukan kebahagiaan di alam niskala.

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SET mengesankan sebuah pohon besar dan lebat dengan juntaian sulur-sulur yang sam-pai menyentuh tanah. Sua-sa-na remang-remang diper-ta-hankan terus oleh penata cahaya sejak awal sampai akhir pertunjukan. Dari sulur-sulur itu, keluar-masuk “anak-anak” dan anak-anak. Mereka bermain-main, bersenandung bersama. Tubuh mereka kadang terbelit akar-akar, hilang “masuk ke kedalaman”, lalu muncul lagi. Juntaian sulur-sulur itu seperti sebuah sumber bagi mereka: anak-anak yang tampak dan tak tampak.  

Pertunjukan teater tari The Seen and Unseen karya Kamila Andini di Teater Salihara, Jakarta, 15-16 Juni lalu, ini mula-nya menampilkan sebuah adegan kela-hiran. Penonton mendengar suara anak-anak menirukan kerik jangkrik ber-sahutan, kokok ayam, gonggongan an-jing, lenguh babi, dan bunyi hewan lain. Adegan kelahiran sepasang kembar bun-cing (kembar laki-laki dan perempuan) disajikan. Suasana panggung samar-samar meng-arah-kan penonton ke imaji bahwa peris-tiwa itu terjadi pada malam gerhana bulan. Koreografi ditata menampilkan sim-bol keduanya menari bersama sejak dalam rahim. Sebuah tembang magis Bali dilantunkan untuk menopang adegan.

Kelahiran anak kembar itu disuguhkan diiringi dengan kelahiran empat saudara gaib mereka. Dalam tradisi kerohanian Bali, empat saudara itu dipercaya sebagai catur sanak atau kanda pat. Keempatnya selalu menyertai kehidupan kita sejak da-lam kandungan, lahir, hidup, sampai mati. Empat saudara di alam niskala tersebut sejatinya selalu mendampingi kita, men-jaga kita. Pemikiran kosmis seperti itu juga ada dalam tradisi jawa. Khazanah kebatinan Jawa mengenal sedulur papat—empat sedulur yang senantiasa menyertai kita semenjak dalam kandungan: kakang kawah (air ketuban), adi ari-ari (ari-ari), getih (darah), dan puser (pusar).   

Keyakinan mistis “sedulur papat” ini yang menjadi sumber estetis Kamila. Per-tunjukan yang bakal diteruskan di Singapura dan Australia ini merupakan adaptasi dari film Sekala Niskala, yang juga disutradarai Kamila. Kamila jeli melihat bahwa konsep mistis itu bisa menjadi titik tolak film dan teater yang berbau surealis. Inti utama yang ia sodorkan adalah kisah sepasang anak kembar perempuan dan laki-laki bernama Tantri dan Tantra.

Suatu hari, Tantra mengalami kelum-puhan saraf sampai hilang kesadaran. Tantra di ambang dunia kematian. Tantri merasa demikian pedih. Dengan daya intuitif anak-anaknya yang masih murni, Tantri “menghidupkan kembali” Tantra, mengajaknya bermain, bersenda-gurau di alam lain—dunia empat saudara gaib mereka. Perbatasan dan ulang-alik dunia metafisik dengan dunia nyata anak-anak dan “anak-anak” ini menjadi kekuatan dramaturgi.

Mengalihwahanakan film ke teater bu-kan perkara mudah. Dalam film, adegan dunia metafisis Tantri dan dunia nyata Tantri-Tantra—berkat penyuntingan—bisa terlihat jelas. Tapi justru di sini tan-tangan-nya bila film ini dipindahkan ke panggung teater. Di jagat perteateran kita, Arifin C. Noer (almarhum), misalnya, terkenal mampu menyuguhkan tontonan peristiwa di panggung yang sesungguhnya adalah peristiwa yang hanya ada dalam benak tokoh-tokohnya—bukan peristiwa nyata. Kapai-kapai, contohnya, penuh permainan yang riil dan hanya ada dalam pikiran sang tokoh. Malam itu, dengan suasana yang selalu menjurus ke temaram, kita melihat koreografer Ida Ayu Wayan Arya Satyani membuat semua adegan baik di dunia nyata ataupun khayal cenderung lebih menghablur. Batas antara yang tampak dan tak tampak: puitis.

Koreografi menggambarkan Tantri-Tan-tra selalu bersama bak kuning dan putih telur. Tantri (diperankan Ni Kadek Thaly Titi Kasih) dan Tantra (Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena) sering ber-gumul menjalin lingkaran. Kadang gerak mereka diiringi gumaman dan ocehan lepas mereka sendiri, kadang langkah keduanya begitu sunyi. Kaki-kaki mereka mengendap-endap, berjingkat tanpa bu--nyi. Bagian yang menarik adalah bagai-mana mereka menjelajahi ruang semba-ri bermain dengan telur-telur yang ber-jatuhan dari atas.

Saat adegan Tantri ditinggalkan “pergi” Tantra, titik dramaturgi semestinya men-curi perhatian. Bahasa gerak Tantri tam-pak emosional ketika ia berusaha mem-ba--ngunkan Tantra di dunia sekala. Ia meng--gerung, menari, mengutarakan kema-rah-an dan kesedihannya. Tantri kemudian me-nolak berduka. Ida Ayu Wayan Arya Satyani, yang akrab dipanggil Dayu Ani, ber-usaha menggambarkan bagaimana Tantri “menghidupkan” kembarannya di dunia  niskala, jagat yang dihuni empat pen-jaga gaib itu (diperankan I Made Mani-puspaka, I Wayan Amrita, Ni Kadek Dwi-pa-yani, Ni Komang Trisnadewi). Di jagat nis-kala, mereka tak henti bermain dan bertukar cerita.

Pementasan The Seen and Unseen karya Kamila Andini dan Ida Ayu Wayan Arya Satyani dalam pembukaan Helatari Salihara di Teater Salihara, Jakarta, 15 Juni 2019. TEMPO/Nurdiansah

Pemilihan Dayu Ani sebagai koreografer cukup tepat. Sejak kecil, ia dan adik-adik-nya, Ida Ayu Wayan Prihandari dan Ida Made Adnya Gentorang  (yang menjadi asisten koreografer pementasan ini), ter-tempa dalam kelompok musik-tari Bajra Sandhi (Komunitas Bumi Bajra) yang didirikan ayah mereka, Ida Wayan Granoka, ahli aksara Bali yang dikenal intens mengajarkan musik yoga kepada anak-anak. Dayu Ani tentu mampu me-nangkap energi dan selera suasana “surealis” yang hendak ditonjolkan Kamila.

Malam itu, ekspresi gerak anak-anak yang Dayu Ani ciptakan tampak lebih banyak diambil dari gerak keseharian. Inspirasi gerak keseharian anak-anak yang dipakai Dayu misalnya berpelukan dan sekadar menoleh. Ia berpegang pada kearifan lokal nguda bayu, yakni per-jalanan napas pada tubuh. “Semua diberi napas agar setiap gerakan menjadi bertenaga,” kata pengajar di Departemen Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Denpasar, Bali, ini. Sedangkan dari tradisi Bali ia menyerap gerak-gerak nonrealis yang menghubungkan manusia dengan semesta, seperti sanghyang, ngonying, nglegong, dan mamendet. Berbagai gerak itu diperagakan para bocah penari dari Komunitas Bumi Bajra dengan halus dan rapi. Adegan Tantri menjumpai Dewi Bulan pujaannya, yang muncul dengan bingkai lingkaran sinar rembulan yang lembut seperti halo, juga tak klise.

Pertunjukan teater tari The Seen and Unseen dipersiapkan Kamila dan asisten produser yang juga suaminya, Ifa Isfan-syah, sejak April 2018. Kolaborasi lintas negara dengan penata suara Yasuhiro Morinaga, penata cahaya Jenny Hector asal Australia, penata set artistik Euygeene The, dan dramaturg Adena Jacobs ini bisa disebut sebagai tontonan yang mengambil sisi-sisi magis dari alam inner anak-anak. Sesuatu yang jarang sekali dieksplorasi selama ini.

Bila saja dibuat pengadeganan yang lebih jelas Tantri-Tantra di dunia nyata dan Tantri-Tantra di alam intuitif, mungkin itu lebih memudahkan penonton yang sebe-lumnya tak menyaksikan versi film The Seen and Unseen. Sebab, dua dunia itu selama pertunjukan cenderung disajikan silih berganti seolah-olah tak ada beda. Tapi agaknya itu sebuah pilihan estetis agar seluruh suasana terasa menyatu. Lebur. Sugestif.

Duh, atma jiwan ingsun, kapanggiha jiwa ingsun, saronron rohange arsa. Duh, eman warnanta rari…. Duh, atma jiwaku, bertemulah kembali, bersama-sama me-nanggung risiko dalam kehidupan. Duh, aku sangat merindukanmu….

SENO JOKO SUYONO, ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus