Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Nasionalisme di Tapal Batas

Rumah Merah Putih mengusung nasionalisme anak-anak di perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Para bocah pemeran asal NTT bermain apik.

22 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pevita Pearce dan Yama Carlos dalam Rumah Merah Putih. Alenia Picture

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"AKU Anton Soedarsono, mama Kupang, bapak Malang, saya Indonesia!” Lantang suara An-ton kepada kawan-kawan seper-mainannya di Belu, Nusa Tenggara Timur. Bila diucapkan bocah sekolah dasar yang tinggal di kota besar seperti Jakarta, kalimat itu bisa mengun-dang tawa karena terkesan terlalu serius dan nasionalis banget.

Tapi Anton tinggal di kampung yang jauh dari bising telepon seluler dan klak-son kendaraan bermotor. Gaya itu biasa digunakan anak seumurnya saat mengenalkan diri. Termasuk dua kawan Anton, Farel Amaral (diperankan Petrick Rumlaklak) dan Oscar Lopez (Amori de Purivicacao). Bila pun akhirnya Farel dan Oscar menertawakan Anton, itu karena nama belakangnya yang sangat Jawa, bukan lantaran keindonesiaannya yang menyala-nyala.

Film Rumah Merah Putih garapan pasang-an suami-istri Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen itu bertutur tentang kesehari-an anak-anak Indonesia di perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Ren-cananya, film ini menjadi sulung dari trilogi soal perbatasan yang sedang disiapkan Alenia Pictures. Setelah menyorot NTT, Ale—sapaan Ari Sihasale—akan merambah perbatasan di Kalimantan dan Papua. Ketiganya sama-sama melihat urusan batas negara dan nasionalisme dari kacamata bocah.

Menurut Ale, cerita dari perbatasan mena-rik minat rumah produksinya setelah vakum lima tahun. Film terakhir mereka adalah Leher Angsa (2013), yang seperti de-lapan film Alenia Pictures lain, berkutat di dunia anak-anak dan pendidikan. Judul Rumah Merah Putih merepresentasikan se-jumlah hal. Tak hanya menyimbolkan ben-dera Indonesia, judul tersebut menun-jukkan akar konflik dalam plot film yang digarap Jeremias Nyangoen (Denias, Senan-dung di Atas Awan) ini. Farel dikisahkan ka-lang-kabut lantaran jatah cat merah dan putih yang diambilnya dari kantor kelu-rahan hilang. Padahal cat itu mesti digunakan warga di rumah mereka untuk memeriahkan peringatan Hari Kemerde-kaan Indonesia.

Takut kena amuk bapaknya (Yama Carlos), Farel akhirnya berusaha menda-patkan cat baru secepatnya. Ia ditemani Oscar, yang di Belu tinggal bersama Tante Maria (Pevita Pearce, dengan kulit keling dan rambut keriting setengah pirang). Usaha keras dua bocah ini, yang bahkan sampai ke Atambua demi berburu cat merah-putih, terasa seru. Dialognya sarat guyonan kocak khas anak-anak.

Ekspresi mereka pun natural, terutama Amori. Anak 13 tahun ini memerankan Oscar, yang tengil tapi cerdas. Saking bening-nya peranan Amori, denyut film seperti berhenti sejenak saat Oscar sakit dan tak lagi ceriwis seperti sebelumnya. Bahkan ia lebih layak disebut sebagai pemeran utama ketimbang Pevita, yang perannya dalam film ini tak begitu me-nonjol. Menurut asisten produser Nia Zul-karnaen, Alenia menjaring kandidat pe-me-ran tokoh anak-anak di tiga daerah di NTT: Silawan, Atambua, dan Kupang. Jangankan berperan dan mengikuti seleksi film, sebagian bocah yang terpilih bahkan sebelumnya tak pernah melihat kamera.

Peran para bocah itu tak cuma bermain,- tapi juga urun kisah kepada Jeremias ten-tang keseharian mereka di sekolah dan lingkungan rumah. “Bahan baku cerita ini kami gali dari mereka,” kata Jeremias. Amori mengklaim, guru di sekolahnya memang saban hari mencekoki para siswa dengan nasionalisme. “Doktrinasi” itu tak hanya dilakukan lewat pelajaran, tapi juga salam. “Memang diajarkan begitu,” ujarnya.

Perkara nasionalisme dalam Rumah Merah Putih lalu bergeser dari urusan cat. Oscar sakit, tapi di Belu tak ada tenaga medis yang mumpuni. Maria pun galau hen-dak memeriksakan Oscar ke Dili—ibu kota Timor Leste—atau Kupang. Timor Leste atau Indonesia. Eksplorasi konflik ini sebenarnya menarik, tapi beberapa adegan cenderung dipanjang-panjangkan. Kese-dih-an orang-orang atas rencana kepergian Oscar, misalnya, berlebihan. Padahal ia belum tentu lama di Timor Leste, dan tak lantas di sana berganti kewarganegaraan.

ISMA SAVITRI

 


 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alenia Picture

 

Rumah Merah Putih

Sutradara : Ari Sihasale

Penulis naskah : Jeremias Nyangoen

Aktor : Petrick Rumlaklak, Amori de Purivicacao, Pevita Pearce, Yama Carlos

Produksi : Alenia Pictures

Rilis : 20 Juni 2019

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus