Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gaji yang Mengusik Keadilan

Gaji petinggi BPPN jauh lebih besar dari gaji presiden dan wakil presiden. Patutkah negara mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk pesangon karyawan BPPN?

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang berbeda di kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sepanjang pekan lalu. Karyawan tak sepenuhnya bekerja seperti biasa. Di pojok-pojok kantor, mereka asyik berbisik-bisik membicarakan daftar gaji para bos mereka, seperti yang dipampangkan Koran Tempo pada edisi Senin pekan lalu. Sebagian dari mereka tampak telah memfotokopi berita "panas" itu dan membagikannya kepada sesama teman. Malah ada yang jail, sengaja menempelnya di papan pengumuman yang ada di setiap lantai.

Aksi para karyawan yang malah getol menyebarluaskan daftar gaji itu sejatinya bertolak belakang dengan perintah Deputi Ketua BPPN, Junianto Tri Prijono. Begitu warta tak sedap (bagi kuping para petinggi BPPN) itu tersiar, Junianto langsung meminta seluruh pegawai ikut menyingsingkan lengan guna melacak sang pembocor data. Hasilnya?

Sebagian besar staf BPPN tak ambil peduli. "Buat apa ikut-ikutan melacak? BPPN kan hampir bubar," ujar seorang karyawan, "Lagi pula, toh kami jadi tahu betapa tingginya gaji pimpinan."

Nauzubillah-nya gaji petinggi BPPN bisa ditengok dari rincian berikut. Menurut data per Maret 2003, Syafruddin Temenggung, sang ketua, sebenarnya "hanya" bergaji pokok Rp 75 juta. Tapi, tiap akhir bulan di slip gajinya total jenderal tercatat jumlah bersih (setelah dipotong pajak) sekitar Rp 130 juta. Soalnya, di luar gaji pokok, Syaf ternyata masih menikmati puluhan juta rupiah lain dari berbagai jenis tunjangan, seperti tunjangan kendaraan Rp 25 juta, tunjangan kredit perumahan rakyat Rp 30 juta, dan berbagai tetek-bengek lain semacam tunjangan handphone, sopir, bahan bakar, dan lainnya. Untuk dicatat, pada Maret 2003 itu Syaf juga masih mengantongi tunjangan cuti sebesar Rp 130 juta.

Gelimang serupa juga bisa dilihat di daftar gaji Wakil Ketua BPPN Sri Slamet Sumantri, para deputi ketua, kepala divisi, dan petinggi BPPN lainnya.

Mata publik pun terbeliak. Apalagi lantas tersiar kabar, menjelang tutup klinik 27 Februari mendatang, lembaga penyehatan perbankan ini tengah menyiapkan "megapesangon"—buntut dari begitu "wah"-nya upah para petinggi BPPN. Jumlahnya selangit: mencapai Rp 500 miliar alias setengah triliun rupiah.

Kepala Divisi Komunikasi BPPN, Rohan Hafas, menerangkan pembayaran pesangon sebesar itu mengikuti keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Di sana diputuskan pesangon dibayar sebesar satu kali dari yang ditetapkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "KKSK minta kami dibayar seminimal mungkin," kata Rohan.

Sesuai dengan Pasal 156 Ayat 2 undang-undang itu, bila masa kerja karyawan BPPN 2-3 tahun, mereka berhak mendapat pesangon sebesar tiga bulan upah. Jumlah itu masih harus ditambah uang penghargaan masa kerja. Pasal yang sama menyebutkan karyawan yang masa kerjanya 3-6 tahun berhak mendapat dua bulan upah tambahan. Ada lagi hak cuti yang dalam kontrak kerja dihitung sebesar satu bulan gaji. Jadi, bila masa kerja karyawan rata-rata tiga tahun, mereka berhak mendapat pesangon sebesar enam bulan gaji.

Anehnya, belakangan Direktur Keuangan BPPN Harry Sukadis "meralat" pesangon senilai setengah triliun itu. Menurut dia, realisasi pesangon untuk 1.600 pegawai tetap dan 900 karyawan kontrak mungkin hanya sekitar Rp 300 miliar. Katakanlah angka ini yang benar, itu berarti setiap karyawan jika dipukul rata akan mengantongi sekitar Rp 120 juta.

Tingginya gaji yang dinikmati karyawan BPPN tak lepas dari wewenang Ketua BPPN, yang relatif otonom dalam menentukan hak dan kewajiban pegawai. Hal itu diatur dalam Pasal 5 Ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 17/1999. Jadi, ibaratnya Ketua BPPN bisa menggaji dirinya sendiri.

Meski demikian, sesungguhnya wewenang yang besar itu bukan tanpa kendali sama sekali. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat 2 peraturan tersebut, penggunaan anggaran BPPN didasarkan pada rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) setelah mendapat persetujuan menteri. Sebelum itu, RKAT tersebut juga harus lolos pertimbangan Komite Kebijakan Sektor Keuangan.

Konon, Ketua BPPN terdahulu menetapkan standar gaji yang tinggi agar bisa menarik para profesional papan atas. Menurut catatan TEMPO, di masa-masa awal pendiriannya, pimpinan BPPN memang diisi oleh eksekutif yang pernah bekerja di perusahaan besar dan cukup punya nama di dunia bisnis. Tercatat, misalnya, nama Rini Soewandi yang pernah menjadi Wakil Ketua BPPN, juga Glenn Yusuf dan Edwin Gerungan yang pernah menjadi Ketua BPPN. Itu pun gaji dan fasilitas mereka di kantor lama, kabarnya, masih lebih tinggi ketimbang di BPPN.

Namun, kenyataan saat ini menunjukkan jajaran pimpinan BPPN diisi orang yang sebelumnya bekerja di perusahaan, bank, dan sekuritas papan menengah-bawah. Itu pun posisi mereka bukan di level direksi, melainkan cuma pejabat kelas menengah (lihat infografik).

Tak mengherankan jika gaji dan fasilitas yang begitu tinggi buat mereka saat ini dinilai berlebihan. "Gaji mereka itu over-valued," kata seorang bekas petinggi BPPN.

Belum lagi hampir semua petinggi BPPN masih "berdwifungsi": menduduki kursi empuk sebagai komisaris di berbagai perusahaan dengan gaji dan fasilitas yang juga bergelimang uang. Syafruddin sendiri, misalnya, menjadi komisaris di Pertamina. Adapun Sumantri Slamet menjadi Wakil Komisaris Utama Bank Internasional Indonesia (lihat infografik).

Dengan "sekoci" di luar BPPN itu, bila kelak kantor mereka tutup, para petinggi itu jelas tak bakal kehilangan pekerjaan sama sekali. Apalagi hampir dipastikan sebagian besar pimpinan dan karyawan BPPN akan terus dipekerjakan di Perusahaan Pengelola Aset, yang akan meneruskan fungsi BPPN setelah tutup praktek akhir Februari mendatang.

Berangkat dari kenyataan itu, tak salah jika muncul pertanyaan: perlukah mereka tetap mendapat pesangon?

Ada banyak alasan, memang, yang membuat orang mencemooh pesangon besar di kantor dokter perbankan itu. Di tengah situasi yang masih diliputi keprihatinan—pengangguran membengkak dan kemiskinan meruyak—pemberian pesangon dalam jumlah besar dilihat jauh dari bijak. Dalam bahasa anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Rizal Djalil, keputusan itu "mempertontonkan kemewahan di tengah orang susah".

Sejumlah menteri pun sampai angkat suara gara-gara silang pendapat soal ini. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwa Wea, ikut mengutarakan kekesalannya atas keputusan tersebut. Seraya membandingkan dengan pesangon ribuan karyawan PT Dirgantara Indonesia yang baru terkena PHK, Jacob telak-telak menyatakan pesangon karyawan BPPN jelas di luar batas.

Di PT Dirgantara Indonesia, karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun dan jumlahnya 6.500 orang cuma memperoleh pesangon total Rp 400 miliar. Sedangkan pegawai BPPN, yang jumlahnya hanya 2.500 orang dan baru bekerja rata-rata tiga tahun, mendapat pesangon Rp 350 miliar.

Alhasil, kata Jacob, "ini bisa menimbulkan kecemburuan di sektor lain." Ia menyatakan melihat ketidakadilan. Pemberian pesangon yang melebihi ketentuan memang tidak dilarang. Tapi ia berjanji, bila jumlahnya terlalu besar, kantornya akan ikut campur tangan.

Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menyoroti persoalan ini dari sisi prestasi kerja. Ia menunjuk rendahnya tingkat pengembalian dana negara alias recovery rate. BPPN mengelola aset senilai Rp 650 triliun, tapi hingga akhir tahun lalu baru menyetorkan Rp 163 triliun ke kas negara. Jadi, tingkat pengembaliannya cuma 25 persen. Alhasil, dari segi itu, Kwik menganggap pesangon yang begitu besar tak sebanding dengan kinerja BPPN yang memble.

Kwik bahkan lantang menyatakan agar audit investigasi digelar terhadap lembaga tersebut sebelum tutup. "DPR dan Menteri Keuangan harus melakukan pengawasan, karena itu menyangkut uang negara," ujarnya berapi-api.

Di Senayan, gayung Kwik langsung bersambut. "DPR akan segera meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigatif yang komprehensif atas BPPN," kata Rizal Djalil.

Adapun Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, yang juga merupakan atasan langsung BPPN, sudah meminta agar jumlah pesangon itu diturunkan. "Seharusnya pada tingkat yang wajar. Jangan terlalu besar. Mereka harus sadar bahwa kita sedang berada di kondisi krisis begini," kata Laksamana.

Menurut Laksamana, karyawan BPPN harus bisa fleksibel karena, sebagai profesional, nantinya setelah BPPN bubar mereka masih bisa bekerja di tempat lain. "Karyawan BPPN," tuturnya, "harusnya tahu BPPN tak akan berdiri selamanya."

Lain lagi penilaian Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra. Menurut dia, gaji dan pesangon karyawan BPPN jelas kelewat besar. "Lebih besar dari gaji presiden, wakil presiden, dan para menteri," ujar Yusril, yang pernah mengeluh gajinya sebagai anggota kabinet, yang hanya Rp 19 juta sebulan, kelewat kecil dibanding tanggung jawabnya. Padahal, katanya, para pejabat negara seperti dia menyandang beban tugas yang tak kalah berat dibanding tugas para pejabat BPPN.

Ihwal besaran pesangon, Syafruddin Temenggung tak mau banyak berkomentar. "Pokoknya akan disesuaikan dengan peraturan ketenagakerjaan. Kalau bisa, yang terendah dari yang ada di peraturan itu," ujarnya ketika ditemui usai rapat KKSK di Departemen Keuangan, Jumat pekan lalu.

Namun, soal gaji dan fasilitas yang luar biasa itu menurut dia sudah sewajarnya dinikmati karyawan BPPN. Dalam sebuah wawancara dengan majalah ini, ia pernah mengatakan alasannya sederhana saja, "Karena aset yang dikelola besar, gajinya pun jadi besar."

Syaf, yang belakangan tampak semakin percaya diri, bahkan lalu menantang Menteri Yusril. "Kalau Yusril cemburu, saya tantang dia untuk jadi Ketua BPPN. Nanti saya yang akan keluar," ujarnya.

Sebagai salah satu anggota KKSK, Menteri Yusril mungkin perlu segera menjawab tantangan Syaf. Tentu tak perlu dengan menggantikan kedudukan Syaf sebagai Ketua BPPN, tapi dengan memutuskan nilai pesangon yang wajar, yang tak mengusik rasa keadilan khalayak ramai.

Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto


Sedapnya Jadi Petinggi BPPN

Syafruddin A.Temenggung

  • Ketua

  • 130 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Deputi V Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Peningkatan Kerjasama Ekonomi Internasional
  • Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris Pertamina

    Dasa Sutantio

  • Staf Ahli Ketua
  • 66,8 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Managing Director Investment Banking PT Bank Tiara

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Indomobil Sukses Internasional Tbk.

    Harry Arief Soepardi Sukadis

  • Direktur Keuangan
  • 66,8 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Manajer Akunting dan Divisi Kontrol PT Semen Cibinong

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Bank Danamon Tbk.

    Robertus Blitea

  • Direktur Hukum
  • 66,8 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Corporate Secretary di Nexus Group & Profilindo Finance

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Bank Lippo Tbk.

    Jusak Kazan

  • Deputi Ketua Bidang Sistem, Prosedur, dan Kepatuhan
  • 111 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Senior Credit Officer Bank PDFCI

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Chandra Asri

    I Nyoman Sender

  • Deputi Ketua Bidang Restrukturisasi Perbankan
  • 111 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Dirut PT BNI Multi Finance

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Bank Danamon Tbk.

    Junianto Tri Prijono

  • Deputi Ketua Bidang Dukungan Kerja dan Administrasi
  • 111 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Partner Penasihat Keuangan Deloitte Touche Tohmatsu (DTT)

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Bank Lippo Tbk.

    Mohammad Syahrial

  • Deputi Ketua Bidang Aset Manajemen Kredit
  • 111 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Vice President Research, PT Pentasena Arthasentosa Securities

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Bank Mandiri Tbk.

    Taufik Mapaenre Maroef

  • Deputi Ketua Bidang Aset Manajemen Investasi
  • 111 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Kepala Riset Seksi Perundangan, Biro Hukum dan Perundangan, Kantor Sekretariat Negara RI

    Posisi lain di luar BPPN

  • Komisaris PT Bumi Serpong Damai

    Sumantri Slamet Iman Santoso

  • Wakil Ketua
  • 123 juta rupiah per bulan

    Pekerjaan sebelum di BPPN

  • Presiden Direktur PT Kustodian Depositori Efek Indonesia (KDEI)

    Posisi lain di luar BPPN

  • Wakil Komisaris Utama PT Bank Internasional Indonesia Tbk.

    Sumber: Riset TEMPO

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus