Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ilmu Kebal Baru ala BPPN

Para mantan pejabat BPPN akan dibebaskan dari segala bentuk tuntutan hukum, baik perdata maupun pidana. Padahal pemerintah tidak berwenang memberikan hak dekriminalisasi.

1 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa pun ingin menjalani purnatugas dengan tenang. Tapi, siapa pula yang bisa mengelak jika gugatan justru melayang ketika kekuasaan sudah tak lagi di tangan?

Bayangan pensiun yang damai bersama anak-cucu bisa sirna seketika dan berganti dengan stres berkepanjangan karena harus berurusan dengan aparat hukum. Dan kenyataannya, tak sedikit di antara mereka yang dahulu berkuasa akhirnya masuk bui.

Persoalan inilah yang kini menghantui pikiran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjelang penutupannya 27 Februari mendatang.

Para pejabat di lembaga itu tentu tak ingin seperti senior mereka, mantan Ketua BPPN I Putu Gede Ary Suta, yang kini harus bolak-balik ke kantor polisi untuk diperiksa karena tuduhan penyelewengan penggunaan Rekening 502. Walau belum tentu terbukti bersalah, tetap saja itu akan merepotkan.

Boleh jadi ketakutan itu pula yang membuat para personel BPPN merancang sebuah draf keputusan untuk ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. Isinya, jaminan pembebasan dan pelepasan (acquit et de charge) bagi seluruh awak BPPN dan lembaga terkait dari ancaman tuntutan dan gugatan hukum dalam bentuk apa pun.

"Kalau tidak begitu, sampai kapan pun kami bisa dikejar-kejar terus. Padahal tugas sudah selesai," kata Deputi Ketua BPPN, I Nyoman Sender, seusai rapat di Departemen Keuangan pada Jumat lalu.

Sebenarnya, kata Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, kekebalan dari tuntutan, atau juga dikenal dengan istilah indemnity, itu bukan merupakan hal yang baru. Sebab, dalam Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2000, soal ini sudah dicantumkan sebagai hak bagi para pejabat dan karyawan BPPN.

Tentu yang dimaksud Syafruddin tak lain dari Pasal 64 A peraturan itu. Menurut Syaf—begitu ia biasa disapa—peraturan itu juga memberikan hak indemnity dari sisi perdata. "Tapi tak seorang pun bisa dibebaskan jika melakukan tindak pidana."

Mungkin Syaf lupa bahwa bunyi pasal yang dimaksudkannya itu sama sekali berbeda secara substansial dengan klausul dalam draf yang sedang disusun anak buahnya.

Selain itu, peraturan yang keluar semasa BPPN dipimpin Cacuk Sudarijanto itu tidak memberikan indemnity. Yang ada hanyalah pemberian jaminan perlindungan hukum dari pemerintah apabila para pejabat BPPN, Menteri Keuangan, dan para anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) digugat sehubungan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan sesuai dengan kewenangannya. Itu pun dengan syarat, "...sepanjang dilakukan dengan itikad baik...."

Sedangkan dokumen rancangan keputusan presiden setebal lima halaman yang diperoleh TEMPO menyebutkan bahwa para mantan pejabat BPPN dibebaskan dari segala bentuk tuntutan atau gugatan hukum, baik perdata maupun pidana. Pasal lain dalam draf ini juga menyebut bahwa segala tindakan BPPN dianggap sah, dengan adanya keputusan pengakhiran masa tugasnya.

Jika nantinya keputusan ini tembus hingga ditandatangani Presiden Megawati, berarti pemerintah telah memberikan keistimewaan hukum kepada para mantan awak BPPN. Sebuah keputusan yang menurut praktisi hukum Luhut M.P. Pangaribuan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar persamaan di muka hukum. "Akibatnya akan terjadi dekriminalisasi," ujarnya.

Kendati demikian, Luhut menilai, tetap saja "ilmu kebal" ala BPPN tersebut tak akan mampu berlaku efektif karena keputusan presiden tidak bisa menegasi atau meniadakan hukum pidana dan perdata yang diatur undang-undang. "Bukan kewenangan pemerintah memberi hak dekriminalisasi. Kekebalan hanya akan efektif jika diberikan undang-undang juga," kata pakar hukum Universitas Indonesia itu.

Orang-orang di sekitar Syaf sendiri tampaknya tidak satu suara. Nyatanya, ada seorang pejabat BPPN yang memiliki pikiran sama dengan Luhut. Dia menilai isi draf tersebut lebih mirip olok-olok. "Jadi, seolah-olah kami akan diberi kekebalan, tapi sebenarnya tidak ada gunanya."

Jadi, indemnity itu ibarat perisai plastik bagi sebuah batalion yang dikirim ke medan tempur. "Ini pekerjaan orang bingung karena saking takutnya," ujarnya.

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus