PAK Hakim, tolong kasih tahu polisi. Kuping saya ini bukan kerupuk!" Begitu ujar Tap Cung, 40, di Pengadilan Negeri Bangil, Jawa Timur. Petani berbadan tinggi tegap berkulit gelap itu merasa perlu berkata begitu karena sebelah telinganya robek digigit Gito, petugas dari Polsek Purwodadi. Pak Polisi gregetan karena Tap Cung menyangkal keras tuduhan membunuh tetangganya, bernama Mustajab, malam tahun baru 1984. "Sampeyan kok enak saja menuduh orang. Mana buktinya?" ujar si tertuduh. Istrinya, Samiatun, dan kedua anaknya, Dulbakri dan Sudarto, ikut diperiksa dan ditahan karena tuduhan terlibat. Penyekapan itu didasarkan pada laporan Saehan. Menurut Saehan, malam itu Tap Cung sekeluarga menghantam korban dengan linggis sampai tewas. Ia, yang kebetulan lewat, dimintai tolong Sudarto: disuruh memegangi korban yang sudah menjadi mayat dan mendudukkannya di sepeda motor. Mayat lalu dibuang ke Sungai Wrati yang deras dan berbatu-batu. Esok harinya, di sebuah batu di sungai itu, kok ada tulisan dengan cat merah. Bunyinya, "Saya pembunuhnya. Tertanda: Saehan". Saehan kelabakan, tentu saja. Buru-buru ia melapor ke polisi, dan Tap Cung sekeluarga ditangkap. Tapi, di pengadilan, ternyata ceritanya lain sama sekali. Para saksi (orang-orang lain) menyatakan bahwa malam itu Tap Cung ikut siskamling. Sebuah bukti pun tak ada yang menguatkan tuduhan kepada orang itu. Maka, meski jaksa ngotot menuntut hukuman 15 tahun, Tap Cung dan istri serta seorang anaknya divonis bebas murni baru-baru ini - meski Tap Cung sudah telanjur ditahan sembilan bulan, tanpa ganti rugi apa pun. Lalu siapa pelaku pembunuhan? Lah, tanyalah pada batu di sungai itu. Benda itu bicara benar: Saehan. Ya, dia. Saehan dibantu Sudarto. "Polisi kok sampai main gigit segala!" ujar Tap Cung seusai vonis. Majelis hakim tersenyum kecut. Tahu mengapa sampai gigitan itu terjadi? Karena Tap Cung tuli!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini