Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mitos Kooperatif dan Sepeda M.H Thamrin

JJ Rizal menyoroti mitos strategi kooperatif dan nonkooperatif dalam politik. Gerakan M.H. Thamrin di dalam sistem tetap efektif.

18 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOHAMMAD Hoesni Thamrin punya sepeda. Simplex mereknya. Ia mengayuh sepedanya di sebuah dunia yang terbagi dan berkelompok persis piramida. Di puncaknya orang Eropa, lalu orang Cina. Yang paling bawah inlander atau pribumi yang tinggal di kampung-kampung—kawasan terbesar yang dihuni beragam suku yang kumuh, padat, miskin, dan terus-menerus dimanipulasi hak-haknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersepeda sejak kanak-kanak membuat M.H Thamrin punya peta sosial-budaya dunia kolonial yang diskriminatif. Dia mampu memproyeksikan masalah itu ke dalam suatu imajinasi kebudayaan tentang masyarakat yang berkeadilan. Inilah yang mendorong dia meninggalkan Koning Willem III Gymnasium, sekolah menengah pertama untuk anak-anak golongan Eropa di Batavia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan itu didorong pula oleh aktivitas ayahnya, Thamrin Mohammad Tabrie, Ketua Sarekat Priyayi. Tabrie adalah fasilitator Tirto Adhi Soerjo untuk mengajak kaum priayi terjun memimpin gerakan sosial dalam membawa aspirasi wong cilik. Thamrin mengikuti langkah Tirto, yang meninggalkan sekolah kedokteran STOVIA agar lebih leluasa mengisi ruang percakapan emansipatoris yang memungkinkan transformasi sosial berkeadilan bagi si miskin dan bebas dari dominasi bangsa lain.

Persahabatan ayahnya dengan Tirto mengajari Thamrin menjadi trait d’union, penghubung antara yang berjuang di dalam sistem dan di luar sistem. Thamrin bukan menolak asal-usul Indo-Eropanya, melainkan karena unsur Politik Etis yang memproyeksikan para priayi memasuki “dunia Belanda” dan menyokong superioritas kulit putih serta politik kerja sama dengan Belanda. Kondisi intelektual dan ambisi politik inilah yang hidup dalam pikiran Thamrin ketika pada 27 Oktober 1919 dia menjadi anggota Gemeenteraad atau Dewan Kota Batavia.

Van der Zee, Sekretaris Dewan Kota, mencatat kemampuan Thamrin berbicara dan berdebat membela wong cilik yang menimbulkan rasa hormat dan kagum. Pieter F. Dahler dari Indische Sociaal-Democratische Vereeniging atau ISDV mengakui bahwa ia belum pernah mendengar keadaan penduduk pribumi di kampung-kampung yang diuraikan begitu jelas, menyedihkan, dan lengkap dokumennya. Thamrin siap dengan referensi untuk memproduksi gagasan sosialnya agar menjadi bahan perbincangan dan perumusan kebijakan Pemerintah Kota Batavia, dari soal penerangan jalan, air bersih di kampung-kampung, sampai nasib kusir, sopir, dan pedagang kaki lima serta bantuan bagi gelandangan, pengemis, anak telantar, dan sekolah perempuan pribumi. Untuk mengadvokasi nasib kampung dan kaum miskin kota, Thamrin ikut membentuk Perhimpoenan Kaoem Betawi.

Pada 1921, Dewan mendukung idenya agar pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar 100 ribu gulden untuk perbaikan kampung. Namun, di masa sidang Dewan pada 1923, program itu hanya mendapat 30 ribu gulden. Tak naik-naik dan dikorupsi pula. Dia terus berbicara. Akhirnya, pada 1926, pemerintah setuju mencarikan dana sebanyak 2,5 juta gulden. Lebih ironis nasib Bandjir Kanaal, program penanggulangan banjir di kota itu. Dananya dipotong. Pengusaha perkebunan teh bahkan merusak kawasan hijau di selatan Batavia sehingga banjir setiap tahun makin besar melanda.

Meskipun tak semua usaha Thamrin sukses, kaum pribumi miskin merasakan bahwa di Dewan ada upaya untuk meringankan beban mereka. Thamrin juga menyusun rumusan bahwa wong cilik tak hanya ada di desa, perkebunan, dan pabrik, tapi juga di kampung-kampung kota. Ia tidak merumuskan ideologi kerakyatan seperti Marhaen ala Sukarno dan Murba Tan Malaka. Namun ia membawa tuntutan-tuntutan, yang sebenarnya adalah agenda ideologi wong cilik Sukarno dan kelompok nonkooperatif lain, ke Dewan.

Horizon politik Thamrin meluas seiring dengan kemunculan faksi radikal di antara kelompok nonkooperatif dan berpuncak pada pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 1926. Keadilan untuk koloni kian diabaikan. Politik pemenjaraan dan pembuangan menguat. Percakapan emansipatoris surut. Upaya politik transformasi mandek. Dalam situasi inilah Thamrin makin meyakini bahwa berjuang di dalam sistem adalah suatu “politics of hope” karena mengandung kemungkinan yang lebih baik dan menjauhkan rakyat dari political fatigue, ketiadaan peluang perubahan.

Pada 16 Mei 1927, Thamrin memasuki Volksraad atau Dewan Rakyat. Sukarno menaruh hormat kepadanya karena ia mematahkan citra Volksraad, yang oleh Semaoen, kawan kosnya, diejek sebagai “komedi omong”, bahwa kekuatan konservatif akan membikin siapa pun yang masuk sistem itu menjadi badut. Sukarno melihat Volksraad telah berubah menjadi arena politik baru pergerakan bersama kehadiran Thamrin.

Pelan-pelan Thamrin pun terlibat di dalam hampir semua peristiwa penting yang dialami Sukarno sebagai tokoh sentral nonkooperatif. Thamrin hadir saat Sukarno diadili di Bandung, kala dijebloskan ke penjara, dan menjemputnya ketika dibebaskan. Ia juga memprotes saat Sukarno dibuang ke Ende.

Kedekatan ini membuat pembelahan kooperatif dan nonkooperatif terasa fiktif. Keduanya senapas dalam perjuangan. Kedekatan itu juga menggambarkan sifat radikal gerakan tidak pudar, meskipun direpresi setelah pemberontakan PKI. Pengasingan para tokoh pergerakan ke Boven Digoel mungkin berhasil meredam gerakan kiri radikal, tapi gerakan nasionalis yang dipimpin Sukarno dan Hatta terus berjalan.

Thamrin mengubah Volksraad menjadi garda terdepan oposisi di dalam sistem. Keradikalannya terbaca dalam sembilan pidato dan dua mosi pada tahun pertama di lembaga itu. Ia ke Sumatera Timur untuk menghentikan poenale sanctie yang menindas buruh tembakau Deli, membatasi kebrutalan polisi, menolak hak istimewa politik pembuangan gubernur jenderal, dan menghapus kamp Boven Digoel. Ia menuntut pula pengesahan penggunaan bahasa Indonesia dan istilah bangsa Indonesia serta membela sekolah partikelir, yang hendak dimatikan melalui Ordonansi Sekolah Liar.

Tokoh-tokoh pergerakan juga menghormati Thamrin karena, alih-alih makin kaya sebagai wakil rakyat, ia justru habis-habisan mewakafkan kekayaannya sampai tiris untuk emansipasi dan transformasi berkeadilan. Ia membeli dan membebaskan gedung di Jalan Kenari untuk dimanfaatkan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Ia juga merogoh koceknya untuk membangun stadion sepak bola buat Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), cikal bakal Persija Jakarta.

Seiring dengan makin kerasnya sikap pemerintah kolonial terhadap kaum pergerakan, Thamrin menyimpulkan bahwa Belanda telah menyia-nyiakan kesempatan untuk berhubungan baik dengan Indonesia. Cara mengubah semua itu satu saja: Indonesia merdeka.

Pada 1930-an, Thamrin tak lagi menuntut perluasan peran pribumi, tapi Indonesia merdeka. Polisi Belanda mulai mengekernya. Kekuasaan defensif di Volksraad dihadapinya melalui pidato yang membikin “darah tukang lobi anti-Indonesia merdeka seperti Fruin dan Zentgraaff mendidih”.

Ia kian getol membangun aliansi-aliansi di dalam ataupun di luar Volksraad, seperti Fraksi Nasional, Fraksi Parindra, dan Gabungan Politik Indonesia, yang melanjutkan PPPKI. Bahkan ia bersama Sam Ratulangi menjajaki aliansi dengan Amerika Serikat. Akhirnya ia dan Douwes Dekker membangun aliansi dengan Jepang.

Di tengah keyakinan Thamrin bahwa arah kontestasi kekuatan mondial akan berpihak kepada pergerakan, polisi menuduhnya sebagai “pengkhianat tingkat tinggi”. Thamrin kemudian dijadikan tahanan rumah sampai meninggal pada 1941.

Setelah Indonesia merdeka, Presiden Sukarno merancang makam Thamrin di Karet Bivak. Dia memilih sendiri batu-batunya yang ia bawa dari sungai di Bogor. Ia beralasan bahwa “batu asli itu lambang kekuatan alam, tak lekang oleh panas tak lapuk karena hujan, demikian semangat Thamrin membela kebenaran, tahan tak lenyap ditelan zaman”.

Kelirulah bila menganggap bahwa perjuangan politik di dalam sistem, seperti yang dijalankan Thamrin, tidak ampuh dan tidak terhormat ketimbang mereka yang berpolitik di luar sistem. Di luar dan di dalam sistem sama ampuh dan terhormatnya selama mengabdi kepada keadilan hidup bersama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus