Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRAZILIO Gibran Harum belum sepenuhnya pulih. Bocah tiga tahun korban gagal ginjal akut akibat mengkonsumsi obat batuk sirop tercemar itu hingga kini masih belum mampu mendengar. “Sampai sekarang jadinya dia belum bisa bicara,” kata Filo Menandaun, ibu Brazilio, saat dihubungi Tempo pada Ahad, 11 Agustus 2024.
Dua tahun lalu, Brazilio dirawat selama empat bulan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Bersama anak-anak lain, ia dirawat di ruangan khusus di RSCM. Saat itu kondisinya antara hidup dan mati. Banyak anak korban obat sirop meninggal meski dirawat secara intensif.
Kondisi Brazilio akhirnya membaik. Ia keluar dari RSCM pada Februari 2023. Namun anak itu sempat buta dan lumpuh. Hingga Maret 2024, dari rumahnya di Prumpung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Filo mengantar Brazilio tiga kali dalam sepekan ke rumah sakit. Meski belum bisa mendengar, Brazilio sudah dapat melihat dan bergerak ke sana-kemari.
Brazilio menderita gagal ginjal akut akibat mengkonsumsi obat batuk produksi PT Afi Farma. Pada 1 November 2023, Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, memvonis empat petinggi Afi Farma dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Obat batuk sirop yang diproduksi perusahaan itu terbukti mengandung cemaran etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) melebihi batas.
Meski petinggi Afi Farma telah divonis, keluarga penderita gagal ginjal akut masih mencari keadilan. Bersama 39 keluarga lain, Filo mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Jakarta Pusat pada 15 Desember 2022. Mereka mewakili 326 anak yang menjadi korban gagal ginjal akut. Mereka menuntut kompensasi serta mendorong perbaikan sistem kesehatan nasional.
Besaran kompensasi yang diminta adalah Rp 3 miliar untuk korban kelas satu, yaitu keluarga anak yang meninggal. Adapun untuk korban kelas dua, yaitu anak yang hidup, mereka menuntut kompensasi Rp 2 miliar. “Angka itu sudah kami turunkan jauh sampai batas paling bawah dengan menghitung indeks usia produktif,” ujar pengacara keluarga korban, Tegar Putuhena.
Biaya perawatan anak penderita gagal ginjal akut ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan. Namun keluarga korban masih harus menanggung biaya lain. Filo, misalnya, harus membeli vitamin untuk tumbuh kembang otak dan membayar biaya transportasi berobat dari kantongnya sendiri.
Filo mengeluarkan hingga Rp 2 juta tiap pekan hanya untuk biaya transportasi ke RSCM. “Saya harus berutang ke sana-sini,” katanya. Sejak Maret 2024, Filo tak lagi mengantar Brazilio ke RSCM karena putranya itu tak lagi menjalani hemodialisis atau cuci darah. Ia berharap kompensasi bisa membantu menutup kebutuhan Brazilio hingga dewasa.
Keluarga penderita gagal ginjal akut yang lain masih hidup dalam kekhawatiran. Dampak obat sirop tercemar membuat kondisi anak-anak itu berubah setiap waktu. Sejak Desember 2022, ada dua anak yang meninggal. “Terakhir bulan Juni 2024,” ucap Rizki Agri, ayah salah satu pasien gagal ginjal akut, Faraska, 7 tahun.
Para keluarga korban pun menyayangkan sikap pemerintah yang tak responsif. Upaya mediasi antara pemerintah dan keluarga korban yang digelar pada Januari-Maret 2023 tak membuahkan hasil. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ataupun Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan saat itu, Penny Lukito, tak pernah datang dan hanya mengirim perwakilan lembaga.
Tegar Putuhena, pengacara keluarga korban, mengatakan kliennya berharap para pejabat yang digugat datang dan berdialog. “Minimal mereka datang dan minta maaf karena kasus ini sampai terjadi secara massal,” tuturnya. Alih-alih memberi solusi, pemerintah hanya memberikan santunan Rp 60 juta per anak. Pembahasan kompensasi pun tak melibatkan keluarga korban.
Keluarga korban kini menggantungkan harapan pada palu hakim. Namun pembacaan putusan pada Kamis, 1 Agustus 2024, ditunda. Hari itu keluarga korban berkumpul di daerah Tebet, Jakarta Selatan, untuk menonton pembacaan putusan secara daring. Situs e-Court menyebutkan sidang ditunda karena satu hakim anggota sedang menjalani umrah dan majelis belum bermusyawarah.
“Kami kecewa, marah, dan merasa dipermainkan. Padahal kami sudah menunggu begitu lama,” kata Nedy Amardianto, ayah dari anak penderita gagal ginjal, Aisha Kharisma Noandinarianto, kepada Tempo, Ahad, 11 Agustus 2024. Aisha meninggal setelah sebulan dirawat di RSCM.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, tak berkomentar panjang saat dimintai tanggapan tentang gugatan keluarga korban obat batuk sirop tercemar. “Sudah ada kuasa hukum,” ujarnya, singkat. Adapun pelaksana tugas Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Lucia Andalusia, tak merespons pesan tertulis ataupun panggilan telepon Tempo.
Di tengah tak adanya titik terang keluarga korban, kasus gagal ginjal anak kembali mencuat di berbagai daerah. Di Jawa Tengah, tercatat 438 anak menjalani cuci darah sepanjang Januari-Juli 2024. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang berdasar pada laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia mencatat, jumlah itu lebih dari setengah total kasus tahun 2023 yang sebanyak 776 anak.
Salah satu anak yang menjalani cuci darah adalah Sifa Nur Azizah. Anak 17 tahun asal Blora, Jawa Tengah, itu mengidap gagal ginjal kronis sejak Mei 2024. Setiap pekan, ia dan orang tuanya menempuh perjalanan sekitar 120 kilometer untuk menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi, Kota Semarang.
Gejala penyakit Sifa muncul sejak Januari 2024. Saat itu ia muntah-muntah. Makin lama kondisinya makin memburuk. Sifa kerap mengalami sesak napas di sekolah dan sakit perut luar biasa. “Dicek semua ternyata gagal ginjal kronis,” kata Abdul Aziz, orang tua Sifa, saat ditemui Tempo, Jumat, 9 Agustus 2024.
Di Kota Semarang, jumlah orang yang menjalani cuci darah juga terus meningkat. Saat ini grup WhatsApp “Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Kota Semarang” atau KPCDI memiliki lebih dari seratus anggota. “Setiap hari ada saja yang masuk grup,” tutur perwakilan KPCDI Semarang, Muhammad Atoirahman.
Gejala serupa muncul di Jawa Timur. Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya, ada delapan-sepuluh anak menjalani cuci darah setiap pekan. Salah satunya Michelle, 12 tahun, pasien asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Dalam dua tahun terakhir, Michelle rutin seminggu dua kali menjalani cuci darah ditemani ibunya.
Michelle harus pindah ke Surabaya dan bersekolah secara daring. Ibu Michelle, Mely, juga memilih tinggal di rumah singgah agar bisa menemani putrinya. “Michelle sering nanya kapan bisa kembali bersekolah. Saya hanya bilang sabar,” ujar Mely kepada Tempo, Sabtu, 10 Agustus 2024.
Direktur Utama RSCM Supriyanto mengatakan unit cuci darah anak di rumah sakitnya terus ketambahan pasien gagal ginjal. Namun ia menolak menyebutkan datanya. Ia menyatakan penambahan pasien bisa berarti anak dengan gangguan ginjal kronis tertolong dan harapan hidupnya meningkat. “Jumlah pasien anak yang menjalani cuci darah meningkat tiap tahun,” kata Supriyanto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Hussein Abri Dongoran, Erwan Hermawan, Adinda Jasmine, Jamal A. Nashr dari Semarang Hanaa Septiana dari Surabaya, dan Fachri Hamzah dari Padang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sisa Harapan di Palu Pengadilan"