Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOSIL tengkorak kepala manusia purba asal Sangiran ”terdampar” di Amerika Serikat. Dipajang di etalase toko barang antik Maxilla & Mandible Ltd., New York, sejak Maret lalu, tak ada yang tergesa membeli fosil dari cagar budaya yang terletak di dekat Kota Solo itu. Padahal, penawaran senilai US$ 400 ribu sudah melayang ke sejumlah museum dunia, termasuk ke Jepang. Untung, Prof. Teuku Jacob, ahli antropologi Universitas Gadjah Mada, memergoki keberadaan benda berharga itu dan segera melayangkan surat ke pemilik toko tersebut agar bersedia mengembalikan si tengkorak ke pihak yang berhak: pemerintah Indonesia. Fosil itu diberi nama Sambungmacan III—merujuk nama desa tempat penemuan.
Henry Galiano, pemilik Maxilla, tak berkutik. Ia merelakan si tengkorak kembali ke empunya, tanpa ganti rugi. Sebuah upacara kecil serah terima barang pun digelar di toko Maxilla, akhir Agustus lalu. Prof. Jacob mewakili pemerintah Indonesia menerima penyerahan itu dari tangan Galiano. Acara itu disaksikan beberapa pejabat Kedutaan Besar RI di Washington dan Konsulat Jenderal di New York. Berapa kerugian yang menampar Galiano akibat pengembalian fosil itu? Galiano tak mau menyebutnya. ”Saya memang rugi. Tapi, demi ilmu pengetahuan, saya rela menyerahkannya ke Indonesia,” kata Galiano kepada TEMPO.
Galiano memang peka menyangkut nilai fosil Sambungmacan III itu. Samuel Marquez dan Dong Broadfield, ahli antropologi dari Universitas Kedokteran Mount Sinai, New York, memastikan bahwa itu fosil Homo erectus—nenek moyang manusia. Kepurbaannya belum diketahui, tapi mereka menduga Sambungmacan III lebih tua dari Homo erectus tertua yang selama ini diketahui—berusia 1,65 juta tahun—yang pernah ditemukan di Sangiran (Sragen) dan Trinil (Solo).
Pada 1894, ilmuwan Belanda, Eugene Dubois, menemukan fosil manusia purba Pithecanthropus erectus. Sedangkan ahli antropologi asal Belanda, Ralph Von Koenigswald, memperoleh fosil manusia purba Pithecanthropus II-III pada 1937. Fosil Pithecanthropus berikutnya ditemukan oleh para ilmuwan Indonesia, antara lain Prof. T. Jacob.
Temuan-temuan Pithecanthropus itu penting untuk menyelidiki evolusi manusia seperti yang dipercayai penemu teori evolusi, Charles Darwin. Menurut teori ini, seperti yang diajukan ilmuwan Jerman, Ernst Haeckel, penerus ide Darwin, manusia pada awalnya muncul dalam suatu bentuk primitif yang disebut Homo primigenius. Manusia jenis ini digambarkan secara fisik mirip monyet dan tanpa artikulasi bahasa. Manusia Pithecanthropus adalah mata rantai yang menghubungkan ke Homo primigenius itu. Bila tengkorak Sambungmacan III yang sempat terdampar ke New York itu lebih tua dari Pithecanthropus, fosil itu—belum tentu ditemukan dalam seratus tahun—sangatlah berharga. Pantaslah ia dijual seharga ratusan ribu dolar.
Namun, bagaimana tengkorak Sambungmacan III bisa terdampar di New York, itu hanya salah satu dari sejumlah kasus penjualan fosil yang diketahui. Berdasarkan riset dan laporan, sejumlah kasus penjualan fosil pernah digagalkan oleh aparat kepolisian dan petugas Museum Situs Prasejarah Sangiran. Kasus pertama menyangkut fosil gading gajah pada April 1981. Atmowiyono dan Sunarno, dua warga kawasan Sangiran, menemukan fosil berupa gading gajah sepanjang 4 meter dan rahang gajah seberat 2 kuintal. Ada rencana, fosil itu akan dijual ke seorang penadah seharga Rp 700 ribu—untung, sempat digagalkan.
Kasus berikutnya menyangkut turis. Pada 25 November 1991, aparat Kepolisian Resor Kota Sragen menggagalkan rencana Rattana Nahonrial dan Yanuman Bunyo, dua turis asal Thailand, untuk membeli segepok fosil dari Marsiman, warga Desa Sangiran. Tak jelas kelanjutan kasus itu, tapi polisi menyita beberapa fosil berupa rahang badak berukuran 60 x 30 sentimeter dan dua moncong mulut babi berukuran masing-masing 25 sentimeter. Kasus yang membuat aparat kepolisian mengelus dada adalah rencana penjualan fosil gajah pada 1992. Dariyo, warga kawasan Sangiran, menemukan fosil binatang purba seberat puluhan kilogram. Sebelum fosil itu jatuh ke tangan seorang tengkulak yang telah sanggup membelinya seharga Rp 350 ribu, aparat kepolisian setempat keburu mengendus rencana itu. Setelah menyitanya, aparat menyerahkannya ke Museum Situs Prasejarah Sangiran.
Yang paling menghebohkan adalah kasus Prof. Donald E. Tyler, ahli antropologi ragawi dari Universitas Idaho, Amerika Serikat. Tyler dan asistennya, Ir. Bambang Prihanto Jatmiko, mengaku menemukan sejumlah fosil di kawasan Sangiran. Pengakuan yang disampaikan dalam konferensi pers di Hotel Ambarukmo, Yogyakarta, 8 Oktober 1993, itu ternyata isapan jempol belaka. Sugimin, 34 tahun, warga asal Sragen, mementahkan pengakuan Tyler. Bahkan, Sugimin mengklaim fosil di tangan ahli asing itu temuannya. Tim Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah akhirnya turun tangan untuk mencari fakta sebenarnya. Kesimpulannya, keterangan Sugimin benar.
Sugimin menemukan fosil itu ketika sedang memangkas bukit untuk perluasan rumah milik seseorang pada September 1993. Fosil itu dijual oleh Sukimin, teman Sugimin, kepada Subur, pedagang fosil asal Sragen, seharga Rp 425 ribu. Subur kemudian menjualnya ke Tyler dan Bambang. Dalam kasus itu, Tyler terpaksa berurusan dengan aparat Kepolisian Wilayah Surakarta. Kepada polisi, Tyler mengaku membeli fosil itu dari seseorang di rumah Subur dengan harga Rp 3,8 juta.
Ada kasus yang menjadi santapan berita koran. Direktorat Jenderal Bea Cukai Yogyakarta pernah menggagalkan penyelundupan fosil Sangiran sebanyak 42 buah oleh seorang pedagang seni di Yogya pada November 1993. Fosil itu akan dikirim ke Amerika Serikat. Tapi ada juga kasus yang luput dari sorotan pers. Museum Prasejarah Sangiran pada pertengahan 1995 menyita fosil fragmen gading gajah dari tangan Subur, pedagang fosil asal Sragen itu. Dia membeli fosil itu dari penemunya, Sodikromo, seharga Rp 325 ribu. Setali tiga uang kasus yang melibatkan fosil rahang gajah seharga Rp 75 ribu pada Januari 1998.
Di luar sejumlah kasus tersebut, bisnis ilegal fosil di Indonesia masih berlangsung di sana-sini hingga kini. Banyak warga kawasan situs Sangiran yang mendulang rezeki dari fosil itu—mereka mengenalnya sebagai balung buto (tulang manusia raksasa)—sejak 15 tahun lalu. Namun, jumlah fosil yang bisa digali, juga omzet bisnisnya, sulit dideteksi. Penduduk kawasan Sangiran cenderung mengunci mulut bila dimintai informasi menyangkut bisnis fosil. Selain takut terhadap tindakan aparat, penduduk setempat yang menyaksikan temuan fosil juga terciprat kocek dari penemunya. Air susu kan tidak mungkin dibalas dengan air tuba, begitu kurang-lebih alasannya.
Namun, secara kasar, jumlah peredaran fosil dan omzetnya di bursa gelap Desa Krikilan bisa diacu dari data Balai Penelitian Arkeologi Yogya. Laporan pada Januari 1995 menunjukkan sejumlah 620 fosil berupa fragmen beredar di bursa gelap. Omzetnya di tangan pertama mencapai Rp 62 juta, sedangkan di bursa tengkulak lokal mencapai Rp 1 miliar lebih. Tentu angka yang lebih fantastis bisa muncul di bursa internasional. Bayangkan, bila fosil Sambungmacan III—sebuah saja—dijual di AS seharga US$ 400 ribu, lalu berapa harga 620 buah fosil?
Banyakkah warga sekitar Sangiran yang tergiur pada bisnis ini? Menurut riset Bambang Sulistyanto untuk program strata-2 di Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada 1999, sebagian besar warga Desa Krikilan di dekat Museum Prasejarah Sangiran terlibat kegiatan perburuan dan bisnis fosil. Jumlah penduduk desa seluas hampir 450 hektare itu sekitar 3.500 jiwa atau 712 kepala keluarga. Berdasarkan riset, eksploitasi fosil oleh warga itu disebabkan oleh desakan kebutuhan ekonomi. Maklum, tingkat pendidikan mereka rata-rata hanya lulusan sekolah dasar. Dengan bekal pendidikan yang pas-pasan, sebagian besar mata pencaharian mereka buruh tani dan pemilik sawah.
Warga yang menemukan fosil semestinya menyerahkan temuan itu kepada pemerintah. Begitulah pesan salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Namun, bisnis fosil gelap—sebenarnya tidak seberapa—memang menggiurkan bagi warga desa yang terlalu miskin, sementara imbalan jasa yang diberikan pemerintah bagi penemu fosil kurang menggairahkan. Temuan fragmen gigi gajah pada 1994 dihargai Rp 10 ribu. Imbalan paling gede yang pernah tercatat, senilai Rp 225 ribu, diberikan untuk temuan dua tengkorak banteng pada 1996. Ganti rugi dari pemerintah itu jauh di bawah harga yang dipatok para penadah dan tengkulak. Para pedagang fosil itu rata-rata berani membayar Rp 400 ribu hingga Rp 500 ribu untuk sebuah fosil semacam tengkorak banteng tersebut.
Kawasan situs Sangiran seluas lebih dari 59 kilometer persegi itu memang kaya akan fosil. Riset Bambang berjudul Studi tentang Pemaknaan Benda Cagar Budaya Sangiran menunjukkan, sejak 1936 hingga 1997, Sangiran menghasilkan 41 temuan fosil utama manusia purba. ”Frekuensi penemuan fosil situs Sangiran sangat tinggi,” kata Bambang kepada TEMPO.
Data lain datang dari Drs. Tri Hatmadji. Menurut Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah itu, jumlah fosil secara keseluruhan hampir 14 ribu buah. Benda-benda itu berupa fosil manusia, binatang darat, binatang laut, kayu, dan polen (serbuk sari bunga). Sedangkan temuan benda cagar budaya nonfosil, seperti kapak, bola batu, dan alat serpih, sebanyak 170 buah.
Walau menjadi gudang fosil, situs Sangiran tak lalu boleh didulang untuk kepentingan pribadi dan bisnis. Tapi, dalam praktek, sayangnya, UU Cagar Budaya ibarat macan kertas. Mereka yang terlibat dalam kasus jual-beli fosil, seperti Tyler dan Subur, toh lolos dari jerat hukum. Kasus Galiano? Setali tiga uang. Kepala Kepolisian Resor Sragen Letnan Kolonel Siswaluyo menyatakan bahwa pihaknya hingga kini masih menyelidiki kasus itu. Namun, kemungkinan besar kasus tersebut akan bernasib sama dengan kasus lain: menguap. Pasalnya, polisi kesulitan mengusut kasus yang terjadi pada 1997 itu.
Bisnis fosil memang menggoda iman. Selain tersebar di berbagai negara, konsumennya kebanyakan ilmuwan yang memburu benda purbakala untuk kepentingan riset ilmiah. Karena biaya dinomorduakan, bisnis fosil cenderung berlimpah dolar. Orang Jepang pernah membeli fosil ikan berumur 60 juta tahun di sebuah pameran di Tucson, AS, pada 1982. Fosil bernama Xiphtinus Audax sepanjang lima meter itu dilego seharga US$ 25 ribu. Dengan kurs dolar Rp 7.000, harga itu setara dengan Rp 175 juta. Wajar bila mafia barang antik, salah satunya fosil purba, pun muncul. Dr. Boedihartono, paleoantropolog Universitas Indonesia, membenarkan keberadaan mafia itu. Jaringan mereka, menurut Boedihartono, berupa organisasi tanpa bentuk. Namun, Galiano tidak melihat keberadaan jaringan penyelundupan dalam bisnis fosil. ”Mereka bekerja secara perorangan,” kata lelaki separuh baya itu. Salah satu mata rantai bisnis fosil adalah para turis.
Ancaman masih membayangi masa depan situs Sangiran. Sudah saatnya pemerintah Indonesia melancarkan gerakan perlindungan terhadap cagar budaya secara lebih serius. Membiarkan perburuan fosil secara liar adalah isyarat apresiasi yang rendah terhadap riset ilmiah, khususnya menyangkut bidang antropologi. Pemerintah baru diharapkan memiliki kepekaan terhadap kemilau indah sains, walaupun ia terbungkus oleh benda lapuk yang sama sekali tidak seksi bernama fosil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo