SANDIWARA Para Binatang berpentas melalui seni rupa. Melalui tangan perupa Bandung Aminuddin T.H. Siregar, novel Animal Farm karya George Orwell hidup dalam alam realitas sosial Indonesia. Inilah tema salah satu karya finalis Indonesian Art Awards, dengan judul Binatangisme, yang menggambarkan dunia politik sebagai habitat binatang buas yang ganas, yang sewaktu-waktu siap menerkam siapa saja dan apa saja. Dunia politik adalah tempat mereka yang kuat dan cerdik menjadi pemenangnya dengan muslihat atau cara apa saja. Dalam makna lebih dangkal, peristiwa politik menjadi muatan utama pada umumnya karya finalis Indonesian Art Awards.
Pameran yang berlangsung hingga 20 Oktober mendatang di Galeri Nasional, Jakarta, ini akhirnya seperti sebuah advokasi, membela mereka yang diterkam atau menjadi korban pertarungan besar itu. Karya yang tampil kebanyakan menyajikan suara yang lantang berteriak tentang keadilan. Menunggu keadilan, dalam realitas, memang masih sangat panjang. Perupa Hadi Soesanto—salah satu dari lima besar finalis—melukiskan hal ini secara simbolis dalam karyanya Waiting (Forever?). Seorang ibu digambarkan tampak tabah menanti keadilan yang tak kunjung tiba, hingga tumpukan bata tempat dia duduk berlumut; mayat korban kekerasan aparat keamanan telah tinggal tumpukan kerangka dan daftar korban sudah tak terhitung lagi; toh dia tetap tak memperoleh apa-apa.
Karya dalam pameran ini tampaknya menempatkan militerisme sebagai pangkal kehancuran di negeri ini: politik, ekonomi, dan budaya. Itulah sebabnya sepatu lars, peluru, senapan, pistol, kawat berduri, tameng, helm, pakaian loreng, dan pangkat menjadi ikon yang muncul berulang-ulang dalam pameran ini sebagai simbol penindasan.
Perupa Ristyo Eko Hartanto, misalnya—karyanya pun masuk dalam lima besar dan kini tengah dipertandingkan di tingkat ASEAN di Kuala Lumpur—dengan sinis menggambarkan kebengisan itu dalam karya berjudul Permainan untuk Rakyat Indonesia dalam bentuk karikatural. Karya mix media ini menggunakan teknologi sederhana. Sesosok orang yang digambarkan seperti tentara, apabila salah satu tombolnya ditekan, bergerak menginjak-injakkan kakinya ke atas kepala seorang wanita yang telentang di bawahnya. Inilah sebuah ironi dari seseorang yang kuat, yang seharusnya melindungi, yang ternyata justru mengangkangi kehidupan rakyat. Sosok yang seharusnya menjaga keamanan justru terus-menerus membangun rasa tak aman.
Benarkah praktek kekejaman di jagat Indonesia sedahsyat representasi Eko? Atau jangan-jangan kenyataannya lebih dari itu? Itu sebuah rekaan ganasnya militerisme dan atau rasa keberpihakan Eko pada mereka yang kerap menghadapi kebrutalan tentara.
Terlepas dari kecenderungan para perupa mengikuti situasi sosial masa kini—seperti sebuah trend—setidaknya pameran ini memperlihatkan bahwa para perupa memiliki perhatian pada realitas sosial dan memihak pada pihak yang kalah, yaitu rakyat kebanyakan.
Gambaran perlawanan terhadap kekuasaan sesungguhnya bukan soal baru dalam seni rupa modern Indonesia. Di era 1980-an dan awal 1990-an ini, perupa seperti Semsar Siahaan, Agus Suwage, Agung Kurniawan, Hanoera Hosea, Tisna Sanjaya, Moelyono, Dadang Christanto, dan Arahmaiani menunjukkan kecenderungan tersebut dalam karya mereka.
Namun, dalam pameran ini, tentu saja dengan beberapa perkecualian, kekerasan serta realitas sosial dan politik disajikan dengan bahasa yang cukup verbal. Di masa awal karir Semsar Siahaan dan rekan seangkatannya, estetika dan tema bisa melebur dan menjadikan karya-karyanya mampu menembus ruang dan waktu. Mungkin, mungkin saja, para perupa ini akan membutuhkan apa yang dinamakan ruang dan waktu untuk merenung lebih lama.
Asikin Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini