Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Catatan Si Boy dan Suap Rudi

Komisi Pemberantasan Korupsi menelisik aliran suap mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. Pengusaha Boy Thohir disebut-sebut ikut "menyetor" US$ 700 ribu—tanda terima kasih proyek gas Panca Amara Utama.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FEBRI Prasetyadi Soeparta baru kembali ke Hotel Mandarin Orchard setelah makan malam di kawasan pertokoan Takashimaya, Singapura. Hari itu Jumat, 19 Juli 2013. Sekitar pukul 22.00 waktu setempat, seseorang menelepon dan memintanya turun. Persis di depan lift lobi, Deviardi telah menunggu.

Keduanya lantas naik menuju kamar hotel di lantai 28. "Pada saat itulah Febri menyerahkan uang US$ 700 ribu—setara dengan Rp 8,1 miliar—untuk diberikan kepada Pak Rudi," kata Deviardi, seperti tertulis di dokumen pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Rudi yang dimaksud adalah Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini, yang resmi menjadi tersangka kasus pencucian uang pada Kamis pekan lalu.

Pekan lalu, Tempo memperoleh salinan lengkap dokumen pemeriksaan tersebut. Di situ muncul nama Boy Thohir, bos perusahaan batu bara nasional PT Adaro Energy Tbk. Adapun Febri dikenal sebagai orang dekat Boy. Sebuah tulisan di situs www.pertamina-ep.com pernah mencatat nama Febri sebagai Assistance to Director Presiden Direktur PT Adaro Indonesia. Dalam dokumen ini, hubungan keduanya terkuak lebih jelas.

Adapun Deviardi adalah "tangan kanan" Rudi. Keduanya ditangkap penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi di rumah dinas Rudi di Jalan Brawijaya VIII Nomor 30, Jakarta Selatan, karena menerima uang suap. Bersama mereka, diciduk Komisaris Kernel Oil Pte Ltd Indonesia Simon Gunawan Tanjaya.

Operasi tangkap tangan itu menemukan barang bukti uang senilai US$ 400 ribu dan sepeda motor besar merek BMW. KPK juga menyita US$ 200 ribu dari kantor Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno.

Deviardi dan Rudi telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara suap. Rudi juga dikenai jerat baru sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang. "Penyidik menemukan indikasi dan bukti permulaan yang cukup," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.

n n n

MENDAPAT titipan uang dari Febri, Deviardi segera kembali ke Hotel Fullerton, tempat dia menginap. Di hotel bintang lima itu, dua jam sebelumnya Rudi menginap dan makan malam bersama bos Kernel Oil Singapura, Widodo Ratanachaitong.

Dalam keterangan kepada penyidik pada 16 Agustus lalu, Deviardi mengatakan Rudi singgah di Negeri Singa dan menginap di Fullerton setelah melakukan lawatan dinas bersama direksi Bank Mandiri ke Hong Kong. Saat itu, Rudi menjabat komisaris bank dengan aset terbesar di Indonesia ini.

Setiba di kamar nomor 669, Deviardi didatangi Widodo. Keduanya berbincang sebentar. "Widodo bercerita soal obrolannya dengan Rudi saat makan malam tadi," ucap Deviardi kepada penyidik KPK. Sesaat kemudian, Rudi menelepon—meminta Deviardi datang ke kamarnya. Di situlah dia menyampaikan ahwal pemberian uang US$ 700 ribu dari Febri.

Dokumen ini juga mencatat pengakuan Deviardi bahwa Rudi langsung merespons kabar tersebut. "Kalau bisa uang itu saya terima pekan depan," katanya. "US$ 300 ribu dulu." Deviardi bingung bagaimana membawa pulang duit tunai sebanyak itu ke Tanah Air. Dia meminta bantuan Widodo "menerbangkan" uang itu ke Jakarta melalui rekening Kernel Oil di Bank Mandiri.

Widodo meminta Simon, Manajer Operasional Kernel di Jakarta, mencairkan dana dua kali. Pertama US$ 300 ribu pada 25 Juli 2013. Kedua US$ 400 ribu pada 13 Agustus 2013, yang berujung pada penangkapan KPK.

Kuasa hukum Rudi, Rusydi Abu Bakar, membantah kabar bahwa kliennya menginap di Fullerton. "Memang ada kamar yang dipesan oleh Deviardi, tapi Rudi tidak tidur di sana. Rudi menginap di Mandarin." Meski Rudi berada di hotel yang sama dengan Febri, Rusydi menampik adanya pertemuan antara Rudi dan Febri. "Tidak ketemu."

Kehadiran kliennya di Singapura, menurut Rusydi, atas permintaan Widodo. "Rudi datang dari Hong Kong, transit di Singapura. Sekalian saja ketemuan. Hanya makan malam." Rusydi tak bisa memastikan siapa saja yang bersantap bareng Rudi saat itu. Sejauh ini, menurut kliennya, di Singapura Rudi hanya bertemu dengan Widodo dan Deviardi. Mereka berbincang mengenai e-procurement tender di SKK Migas.

Pengacara Widodo, Rudy Alfonso, membenarkan adanya pertemuan Fullerton. Tapi ia tak paham materi yang dibicarakan. "Deviardi mengatur pertemuan itu. Bicara hal teknis, saya tidak tahu."

Deviardi, lewat pengacaranya, Effendi Saman, membenarkan keterangannya kepada penyidik KPK. "Deviardi hanya kurir. Segala tindakannya atas perintah Rudi."

n n n

RUDI bukannya tak tahu akan ada kiriman tanda terima kasih dari Febri. Hal itu terkuak dalam dokumen pemeriksaan Deviardi. Petikannya antara lain pada 16 Agustus lalu, saat bertemu di lapangan golf Pondok Indah, Rudi memerintahkan Deviardi membuat janji dengan Febri di Singapura. Ia berpesan: di sana Febri akan menyerahkan uang untuk diberikan kepada Rudi.

Dalam keterangan kepada penyidik pada 14 Agustus, Rudi mengakui menyuruh Deviardi mengambil uang dari Febri. "Terkait dengan apa pastinya, saya tidak tahu. Namun Febri pernah bercerita bahwa seorang kolega yang melaksanakan proyek gas PAU sudah selesai sekarang. Beliau ingin mengucapkan terima kasih," katanya seperti tertulis dalam dokumen pemeriksaan. PAU merujuk pada Panca Amara Utama.

Menurut Rudi, Deviardi tak menyebutkan jumlah uang yang diterima. Anehnya, dia merespons laporan Deviardi dengan mengatakan, "Bagaimana caranya, Senin nanti di Jakarta, saya butuh US$ 300 ribu."

Belakangan, Rudi mengubah keterangan. Pada pemeriksaan 8 Oktober, dia menarik pernyataan pernah memerintahkan Deviardi mengambil uang dari Febri. Tak ada penjelasan mengapa tiba-tiba ia mengganti keterangannya menjadi "tidak pernah".

Sumber Tempo mengatakan Febri membutuhkan Rudi untuk memuluskan negosiasi jual-beli gas bumi di Luwuk, Blok Matindok Tomori, Sulawesi Tengah. Ladang gas yang berada di wilayah kerja Senoro-Toili ini dioperasikan JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi.

Ini juga ditegaskan Febri saat menja­lani pemeriksaan di KPK. "Sampai saat ini belum ada kesepakatan dan persetujuan SKK Migas," ujarnya. Dia mengaku sebagai konsultan PT Panca Amara Utama, perusahaan yang sedang berunding dengan JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi soal pasokan gas.

Pria 67 tahun itu menyebut posisinya sebagai Direktur PT Zerotech Nusantara, yang bergerak di bidang minyak dan gas. Perusahaan ini menyuplai tenaga kerja ke JOB Pertamina-Medco Tomori Sulawesi. Situs Kementerian Energi pada Maret 2011 mencatat Zerotech sebagai perusahaan jasa penunjang migas—sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2008 tentang bidang usaha jasa nonkonstruksi.

Panca Amara amat membutuhkan pasokan gas untuk pabrik amoniaknya. Perusahaan petrokimia ini akan membangun pabrik berkapasitas 700 ribu metrik ton dengan investasi sebesar US$ 750 juta (sekitar Rp 8,6 triliun). Sepertiga kebutuhan dana akan disuntik perusahaan induk, yakni PT Surya Esa Perkasa Tbk, yang mengakuisisi Panca Amara pada 2011. Surya Esa mengakuisisi Panca Amara pada 2011. Boy Thohir tercatat sebagai presiden direktur di Surya Esa sekaligus Panca Amara.

Menurut Sekretaris Perusahaan Surya Esa, Kanishk Laroya, delapan tahun lalu Panca Amara mendapatkan komitmen alokasi gas sebesar 130 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Pokok-pokok perjanjian jual-beli gas telah diteken perseroan dengan JOB Pertamina-Medco Tomori pada 2005. Kemudian jatah gas berkurang menjadi 55 mmscfd berdasarkan surat Menteri Energi Nomor 5943, yang terbit pada September 2010.

Perkembangannya, menurut Deputi Pengendalian Komersial SKK Migas Wi­dhyawan Prawiraatmadja, gas dari Lapangan Senoro yang dikelola JOB Pertamina-Medco dan Lapangan Matindok yang dioperasikan Pertamina diberikan kepada dua perusahaan domestik. Mereka adalah Panca Amara, yang mendapat 55 mmscfd, dan PLN (25 mmscfd). Alokasi ekspor—melalui kilang LNG—sebesar 345 mmscfd.

Kini fakta berubah lagi. Perusahaan setrum pelat merah cuma kebagian 5 mmscfd. Itu pun harus membeli melalui badan usaha milik daerah Banggai. Pa­sokan ke kilang LNG paling aman, perjanjian jual-beli gas telah diteken. Adapun gas untuk Panca Amara masih dirundingkan antara penjual dan pembeli, dimediasi SKK Migas. Widhyawan mengatakan harga gas akan menggunakan formula yang dikaitkan dengan harga amoniak, dengan batas bawah tertentu.

Nah, masalah gas untuk Panca Amara yang tak kunjung kelar sejak 2010 inilah yang dicoba diurus Febri. Ia berusaha mendekati Rudi Rubiandini. Makanya Febri girang ketika Rudi mengajaknya bertemu. Berdasarkan keterangan Febri kepada KPK, pada 15 Juli 2013, Rudi menelepon dan memintanya datang ke lapangan golf Pondok Indah. Secepat kilat ia meluncur ke kawasan elite di Jakarta Selatan itu. Di sana telah berkumpul delapan orang, termasuk Rudi dan Deviardi.

Perkenalan Febri dengan Rudi memang bermula di lapangan golf pada Februari 2013. Saat itu, ada Kementerian ESDM Tournament di Permata Sentul, Bogor. Lantas Rudi mempertemukan Febri dengan Deviardi, akhir Juni 2013, dalam acara golf Ikatan Alumni Teknik Minyak Indonesia di Highland Sentul, Bogor. Rudi memperkenalkan Febri sebagai orang kepercayaan Boy Thohir. Deviardi lantas menyimpan kontak Febri di telepon selulernya sebagai "Febri Batubara".

Sumber yang pernah menangani masalah ini bercerita tentang alotnya pengalokasian gas Donggi-Senoro. "Tarik-ulurnya kencang." Semula persoalannya adalah bagian untuk ekspor dan domestik. Jusuf Kalla—saat itu wakil presiden—menolak seluruh gas diekspor dalam bentuk LNG.

Dia ngotot harus ada jatah domestik. Perdebatan berlanjut ke era Wakil Presiden Boediono. Akhirnya diputuskan alokasi untuk dalam negeri sebanyak 25-30 persen. Pembagian domestik pun lama. Belum lagi negosiasi dengan produsen, yang memakan waktu.

Febri belum bisa dimintai komentar hingga tulisan ini diterbitkan. Tempo menyambangi rumahnya di Jalan Imam Bonjol Nomor 46, Menteng, Jakarta Pusat— seperti tertulis di dokumen KPK—tapi dia tak berada di sana. Abdul, penjaga rumah, mengatakan Febri tidak tinggal di situ sejak tiga bulan lalu. "Ini rumah kakaknya," kata Abdul. Ia tak tahu di mana Febri tinggal sekarang. "Saya hanya berurusan sama kakaknya," dia meneruskan.

Dalam keterangannya kepada KPK, Febri membantah pernah memberikan uang kepada Deviardi dan Rudi. Ia juga mengatakan tak pernah mendapatkan proyek dari SKK Migas.

Boy Thohir juga membantah pernah memerintahkan pemberian uang kepada Rudi Rubiandini. "Apakah itu lewat Febri ataupun Deviardi," ujarnya. "Saya tidak kenal Deviardi," Boy menegaskan. Pengusaha ini memastikan soal perizinan proyek Panca Amara Utama sudah beres di era Kepala BP Migas R. Priyono, bukan di era Rudi. "Kalau soal uang itu sudah jelas siapa pemiliknya," kata Boy. "Kan, dikirim lewat Bank Mandiri."

Sebaliknya, Rudy Alfonso, kuasa hukum Widodo, berkukuh uang yang ditransfer lewat rekening Kernel Oil adalah titipan Deviardi. Jadi siapa pemilik sebenarnya? Soal ini, Rudy Alfonso menjawab, "Nanti akan terbuka di pengadilan."

Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Iqbal Muhtarom, Rusman Paraqbueq, Bambang Harymurti


KUASA YANG BESAR
  • Pemberian suap kepada Rudi Rubiandini tak lepas dari kewenangan yang besar dalam pengelolaan sektor minyak dan gas Indonesia.
  • Menunjuk pemenang tender minyak mentah dan kondensat bagian negara yang diajukan Kepala Divisi Penjualan Minyak.
  • Menyetujui rencana kerja dan anggaran kontraktor minyak dan gas bumi setiap tahun.
  • Memberi pertimbangan besaran alokasi gas bumi untuk domestik dan luar negeri kepada Menteri ESDM.
  • Memberi persetujuan perjanjian jual-beli antara penjual (kontraktor) dan pembeli gas bumi.
  • Memberi persetujuan rencana pengembangan lapangan minyak dan gas bumi.
    MENGALIR SAMPAI JAUH
  • Uang yang dihimpun Deviardi dipakai untuk beragam keperluan, dari kebutuhan pribadi sampai tunjangan hari raya politikus Senayan.
  • US$ 140 ribu untuk keperluan pribadi Rudi Rubiandini.
  • US$ 200 ribu untuk THR diberikan kepada Ketua Komisi Energi DPR Sutan Bathoegana.
  • US$ 60 ribu untuk Khairiansyah Salman, tenaga ahli Badan Pemeriksa Keuangan.
  • US$ 11.200 untuk membeli jam Rolex buat istri Rudi.
  • Rp 639,4 juta dibelikan mobil Camry Hybrid di Cilandak Auto 2000.
  • Rp 100 juta diberikan ke Vini, anak Rudi.
  • Rp 405.051.500 ditransfer ke anak Rudi, sebagai ongkos event organizer pernikahan.
  • Rp 690 juta untuk membeli mobil Volvo di Sunter, Jakarta Utara.
  • Rp 700 juta diberikan ke kakak Rudi.
  • Rp 2 miliar buat membeli tanah di Jalan Haji Ramli, Saharjo, Jakarta Selatan.

    "Semua yang dilakukan Ardi atas perintah Rudi."
    –Effendi Saman, pengacara Deviardi

    "Tidak benar Rudi yang memerintahkan Ardi."
    –Rusydi Abu Bakar, pengacara Rudi Rubiandini

    "Sumber yang tidak jelas dijadikan berita. Itu wilayah gelap dan saya enggak maulah yang gelap-gelap."
    –Sutan Bathoegana

    "Saya tidak pernah menerima uang sebagaimana yang disebutkan Saudara Deviardi."
    –Khairiansyah Salman

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus